Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melanjutkan kenaikan pada pekan ini. Saham-saham berkapitalisasi menopang penguatan IHSG sepekan.
Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Sabtu (24/2/2018), IHSG naik 0,43 persen pada periode 19 Februari-23 Februari 2018. IHSG menguat dari posisi 6.591,58 menjadi 6.619,80 selama sepekan. Namun penguatan IHSG pada pekan ini tak sebesar pekan lalu yang naik 1,32 persen.
Penguatan IHSG didorong saham-saham masuk indeks LQ45 yang naik 0,07 persen selama sepekan. Sementara itu, saham-saham kapitalisasi kecil mendaki 1,05 persen. Investor asing masih melakukan aksi jual di pasar saham. Tercatat aksi jual investor asing mencapai US$ 20 juta.
Di pasar obligasi, indeks BINDO melemah 0,61 persen selama sepekan. Imbal hasil surat utang pemerintah bertenor 10 tahun berada di posisi 6,6 persen. Rupiah pun melemah terhadap dolar Amerika Serikat di kisaran 13.660. Investor asing melakukan aksi beli US$ 40 juta.
Baca Juga
Advertisement
Vice President Sales and Marketing Distribution, PT Ashmore Assets Management Indonesia, Lydia Toisuta mengatakan, ada sejumlah faktor baik internal dan eksternal pengaruhi pasar keuangan pada pekan ini.
Dari internal, pemerintah Indonesia menghentikan sementara proyek infrastruktur terutama proyek jalan layang di seluruh Indonesia. Penghentian sementara itu dilakukan usai rapat tiga menteri antara Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri BUMN Rini Soemarno, dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Dari faktor ekternal, Lydia menuturkan, salah satunya rilis risalah pertemuan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve pada Januari 2018 pengaruhi pasar keuangan.
The Federal Reserve melihat ada kenaikan pertumbuhan ekonomi, dan diikuti inflasi.Hal ini akan membuat the Federal Reserve untuk meningkatkan suku bunga secara bertahap. Pejabat the Federal Reserve menyatakan, pertumbuhan ekonomi itu didukung ada reformasi pajak, kenaikan belanja konsumen.
Selain itu, ada kemungkinan merevisi proyeksi ekonomi dari target pertemuan pada Desember 2017.Pasar pun bereaksi terhadap risalah the Federal Reserve sehingga membuat bursa saham sempat bergejolak. Imbal hasil surat berharga pemerintah AS bertenor 10 tahun mencatatkan level tertinggi dalam empat tahun.Kemudian, penjualan rumah di AS pun cenderung melambat.
Penjualan rumah melemah 3,2 3,2 persen pada Januari 2018. Penjualan rumah untuk keluarga kecil turun 3,8 persen dari periode Desember merosot dua persen. Dari Jepang, indeks harga konsumen naik 1,4 persen pada Januari 2018. Sedangkan pasar memperkirakan 1,3 persen. Angka itu tertinggi sejak Maret 2015. Kenaikan inflasi didorong dari harga makanan tambah mahal.
Seperti diketahui, IHSG naik 1,32 persen pada periode 10 Februari-15 Februari dari posisi 6.505,52 menjadi 6.591,58.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Selanjutnya
Lalu apa yang dicermati ke depan?
Lydia menuturkan, meski Indonesia memiliki fundamental ekonomi baik dan cadangan devisa yang bagus, pihaknya cenderung hati-hati pada pekan ini. Apalagi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mendekati Rp 13.700.
"Kami melihat intervensi BI pada pekan lalu sedikit menenangkan pasar. Namun kenyataan posisi investor asing di obligasi pemerintah Indonesia besar. Kami melihat tekanan jual dapat pengaruhi mata uang dalam jangka menengah," ujar dia.
Namun ia menuturkan, kalau ada dana investor asing masuk ke pasar obligasi Indonesia pada pekan ini usai alami aksi jual US$ 521 juta pada pekan lalu.Lydia mengatakan, kemungkinan ada tekanan jual di pasar obligasi jika volatilitas surat berharga pemerintah AS tetap ada.
"Imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun mungkin merupakan obligasi dengan imbal hasil terendah di antara emerging market. Namun dengan inflasi relatif mudah dikelola, kami melihat ada kembali permintaan terutama saat stabilitas pasar global tercapai," ujar Lydia.
Di sisi lain, pihaknya juga melihat pasar saham Indonesia masih menarik meski volatilitasnya tinggi. Namun kepemilikan investor asing di pasar saham masih rendah ketimbang obligasi. Jadi tekanan jualnya tidak terlalu besar.
"Pada pekan ini saham cenderung terbatas menguat karena kebijakan di sektor konstrumsi. Sedangkan indeks masih defensif. Kami melihat secara fundamental masih ada pertumbuhan di pasar Indonesia," ujar Lydia.
Sedangkan dari faktor eksternal, Lydia imbal hasil surat berharga dan saham AS menjadi perhatian pasar. Apalagi imbal hasil surat berharga pemerintah AS bertenor 10 tahun naik signifikan menjadi 2,9 persen. Level itu tertinggi dalam empat tahun.
"Kenaikan itu didorong komentar Federal Open Market Committee (FOMC) yang optimistis terhadap prospek ekonomi sehingga kenaikan suku bunga lanjutan akan meningkat," kata dia.
Di sisi lain, Lydia melihat ada isu yang perlu dicermati yaitu penawaran obligasi oleh Kementerian Keuangan AS. Pemerintah AS akan rilis surat utang US$ 441 miliar pada kuartal I 2018. Hingga kini sudah melelang US$ 279 miliar.
"Permintaan masih tetap baik dibandingkan negara maju lainnya. Kementerian Keuangan AS memberikan imbal hasil menarik bagi investor dari Jepang, China dan Eropa," ujar dia.Pihaknya juga melihat the Federal Reserve akan menunggu sejumlah data lagi sebelum menaikkan suku bunga lebih cepat. Berdasarkan konsensus ada kemungkinan kenaikan suku bunga lebih dari tiga kali pada 2018. Data inflasi dan lonjakan upah pun menjadi perhatian untuk mempertimbangkan kenaikan suku bunga tersebut.
Advertisement