Liputan6.com, Malang - Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyebut industri pertahanan dan alat utama sistem persenjataan (alutsista) Indonesia kalah jauh dibanding negara lain. Industri pertahanan harus dikembangkan sebagai daya tangkal terhadap ancaman keamanan dan kedaulatan negara.
Selain sebagai deterrence atau daya tangkal, pengembangan industri pertahanan juga menaikkan nilai tawar negara. Pernyataan itu disampaikan Panglima TNI Hadi Tjahjanto saat orasi ilmiah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Jawa Timur.
Advertisement
"Daya tangkal itu harus bisa dirasakan musuh kita dalam konteks militer. Itu dapat dicapai apabila kita memiliki militer yang kuat berdasarkan profesionalisme prajurit, alutsista yang dimiliki serta taktik dan strategi yang digunakan," urai Hadi, Sabtu (24/2/2018).
Menurutnya, untuk memperkokoh alutsista Indonesia bisa dengan membeli dan membuat sendiri. Membeli paling mudah sekaligus jalan pintas untuk mendapat alutsista yang mutahir. Kelemahannya, bisa kena embargo dan senjata yang dibeli sudah tertinggal secara teknologi.
Apalagi negara produsen senjata yang tergabung dalam NATO hanya akan menjual senjata yang berusia lebih dari 10 tahun pada negara non-NATO. Jika pengadaannya butuh waktu lima tahun, maka alutsista yang didapat secara teknologi sudah tertinggal 15 tahun.
Opsi berikutnya, membuat sendiri dengan cara membangun kemampuan, menguasai teknologi hingga bisa memproduksi senjata sendiri. Pilihan inilah yang sudah seharusnya dilakukan oleh Indonesia agar punya nilai tawar di mata negara lain.
"Daya tangkal sesungguhnya bukan dilihat dari seberapa banyak kita membeli, tapi lebih diukur dari seberapa hebat kita memiliki kemampuan mengembangkan alutsista," ujar Hadi.
Ia mencontohkan lima negara produsen senjata terbesar di dunia yakni Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Prancis dan Jerman yang memiliki posisi tawar tertinggi dalam politik global. Selain kelima negara itu, ada beberapa negara lain yang mulai mengembangkan industri pertahanannya.
India memproduksi sendiri kapal induknya yang pengerjaannya selesai tahun ini. Korea Utara bikin panas semenanjung Korea karena membuat hulu ledak nuklir dan rudal balistik. Australia memiliki kapal induk untuk helikopter berkemampuan amphibi, perusak antiudara dengan teknologi setara milik Amerika Serikat.
Singapura berhasil membuat kendaraan angkut infanteri Bronco dan dikirim ke Inggris dan Thailand. Negeri singa itu juga menjual kapal angkut darat ke Thailand hingga helikopter ringan ke Afrika.
"Negara-negara itu memiliki industri pertahanan yang mumpuni, menjadikan mereka disegani. Kemampuan membangun peralatan militer secara mandiri akan meningkatkan nilai tawar negara," ucap Panglima TNI.
Tantangan Industri Pertahanan
Selain itu, agar sukses membangun industri pertahanan, menurut Panglima TNI harus ada kolaborasi antara pelaku industri pertahanan, pemerintah (militer) dan akademisi. Seluruh pihak saling melengkapi dalam sebuah pola yang disebut military industrial complex atau hubungan kolaboratif.
"Ini harus dilihat dari sudut pandang positif demi kemajuan negara di sektor teknologi pertahanan untuk perkuatan teknologi pertahanan. Negara maju menerapkan model seperti itu," kata Hadi.
Dunia akademis memiliki peran strategis, terutama penelitian terkait manajemen maupun industri pertahanan. Mampu menghasilkan teknologi berkualitas untuk mendukung pertahanan nasional. Apalagi Indonesia dengan luas wilayah daratan, perairan dan udara butuh pengamanan dan sistem pertahanan yang memadai.
"Indonesia membutuhkan alutsista modern dengan prajurit profesional dan terlatih. Efektifitas pertahanan dipengaruhi kemampuan negara menyiapkan alutsista secara mandiri untuk membangun kekuatan militer yang tangguh dan kuat," papar Hadi.
Industri pertahanan dalam negeri memiliki peluang untuk mengembangkan diri. Meningkatkan kapasitas dan menghasilkan teknologi berkualitas. TNI sudah mencanangkan program minimun essential force pada 2010. Juga ada UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
"Itu jadi peluang bagi industri dalam negeri untuk berkembang. Tapi sayangnya meski piranti lunak untuk mendukung itu sudah ada, tetap ada beberapa permasalahan," ungkap Hadi.
Persoalan itu seperti perkembangan teknologi yang sangat cepat sehingga membutuhkan alutsista atau teknologi terkini. Ketidakmampuan industri pertahanan memenuhi target pengerjaan sesuai waktu yang ditetapkan.
"Juga terbatasnya anggaran TNI untuk pengadaan alutsista yang disiasati dengan membeli alutsista dengan mekanisme pinjaman luar negeri," tegas Hadi.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement