Liputan6.com, New York - Dewan Keamanan PBB telah meloloskan resolusi gencatan senjata selama 30 hari di Suriah, demi membuka jalan bagi masuknya bantuan kemanusiaan terhadap warga sipil yang terdampak konflik bersenjata di sana -- terutama bagi kawasan Ghouta Timur, Damaskus yang pekan lalu menjadi sasaran rangkaian bombardir dan serangan udara, mengakibatkan ratusan korban jiwa.
Resolusi itu diloloskan di Markas PBB New York pada Sabtu 24 Februari 2018 waktu setempat dan efektif sesegera mungkin tanpa penundaan -- memaksa pihak-pihak yang berkonflik di kawasan untuk menghentikan sementara aktivitas bersenjata mereka. Demikian seperti dikutip dari Telegraph (25/2/2018).
Baca Juga
Advertisement
Pihak-pihak yang terdampak resolusi gencatan senjata itu meliputi pasukan pemerintah dan pro Presiden Suriah Bashar Al Assad (didukung Rusia) dan pasukan oposisi/pemberontak, salah satunya seperti Syrian Democratic Forces (yang beberapa di antara faksinya didukung oleh Amerika Serikat).
Namun, gencatan senjata itu tidak berlaku bagi operasi militer penumpasan kelompok teroris terafiliasi IS, Al Qaeda, Front Al Nusra, dan lain-lain yang beroperasi di Suriah.
Rusia Tidak Menggunakan Hak Veto
Seperti dikutip dari Telegraph, lolosnya resolusi itu merupakan sebuah kesuksesan diplomatis bagi negara-negara Barat, salah satunya Amerika Serikat.
Karena, mereka berhasil membuat Rusia -- sekutu rezim Presiden Suriah Bashar Al Assad -- untuk tak menggunakan hak vetonya pada resolusi tersebut, seperti yang biasa Moskow lakukan pada sidang resolusi DK PBB sebelumnya.
Meski begitu, Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley tetap menyalahkan Rusia atas keterlambatan DK PBB dalam meloloskan resolusi tersebut -- yang mundur selama beberapa hari dari jadwal yang ditentukan sebelumnya, yakni pada Kamis 22 Februari 2018.
Ia kemudian mengatakan, "Pada akhirnya, butuh tiga hari bagi DK PBB untuk meloloskan resolusi itu. Dan, selama itu, sudah berapa ibu yang anaknya harus tewas akibat bombardir tersebut?"
Haley juga skeptis bahwa rezim Al Assad akan secara penuh patuh pada resolusi gencatan senjata 30 hari tersebut. Oleh karenanya, sang Dubes AS untuk PBB itu menekan Rusia -- selaku sekutu Al Assad -- agar mampu 'mendisplinkan' Suriah terhadap resolusi tersebut.
Gencatan Senjata Tak Berlaku bagi Operasi Penumpasan Teroris
Terlepas dari hal tersebut, gencatan senjata 30 hari itu tidak berlaku untuk operasi militer penumpasan grup teroris terafiliasi ISIS, Al Qaeda, dan Front Al Nusra. Dan, hal itu membuat khawatir sejumlah pihak.
Seperti dikutip dari Telegraph, baik Rusia dan Suriah selalu menuduh bahwa sejumlah kelompok pasukan pemberontak Suriah memiliki afiliasi dengan Al Qaeda.
Sehingga diprediksi, mereka akan menggunakan dasar argumentasi itu untuk terus melakukan serangan udara dan bombardir selama resolusi gencatan senjata 30 hari berlangsung.
"Rusia menggunakan celah ini dalam kesepakatan sebelumnya untuk terus melakukan pemboman tanpa pandang bulu," kata Elizabeth Tsurkov, seorang analis dari Forum for Regional Thinking, sebuah firma think-tank Israel.
Seorang diplomat Barat juga mengaku khawatir bahwa pengecualian gencatan senjata pada Al Qaeda mungkin akan membuat resolusi tersebut "tidak berharga". Namun ia masih berharap bahwa Rusia menggunakan perikemanusiaannya untuk setidaknya mengurangi kekerasan di Ghouta Timur.
Sementara itu, seorang pria di Ghouta Timur yang diwawancarai Telegraph mengatakan, "Kami bahagia atas resolusi gencatan senjata itu."
Namun ia melanjutkan, "Tapi kami tidak mempercayai rezim (Al Assad) dan sekutu-sekutunya (Rusia)."
Menurut BBC, mengutip laporan aktivis pemantau di Suriah mengatakan, serangan udara masih belangsung di kawasan Ghouta ketika resolusi itu telah diloloskan.
Hingga hari ini, korban jiwa di Ghouta telah mencapai sekitar 450 - 500 orang.
Advertisement
Total Korban Capai Ribuan Orang
Sebagai latar belakang, diketahui sejak Minggu 18 Februari lalu, militer rezim Presiden Suriah Bashar Al Assad melakukan serangan artileri dan bombardir udara di Ghouta Timur, kawasan suburban yang disebut sebagai kantong militan pemberontak.
Akibatnya, serangan itu menewaskan sekitar 450 - 500 orang. Sebagian besar korban -- menurut perhitungan komunitas internasional dan firma pemantau The Syrian Observatory for Human Rights -- merupakan warga sipil non-kombatan.
Jika ditambah dengan yang terluka, total korban serangan yang berlangsung sejak 18 Februari itu mencapai sekitar ribuan orang dan membuat seluruh fasilitas dan tenaga medis di kawasan kewalahan, tulis The Washington Post mengutip The Syrian American Medical Society.
Banyaknya korban jiwa di Ghouta Timur menjadikan peristiwa itu sebagai yang paling berdarah sepanjang Perang Saudara Suriah yang telah berlangsung selama tujuh tahun.
Saksikan juga video pilihan berikut ini: