Potret: Kesatria Berkuda Tanah Sumba

Bergiliran memasuki arena, saling melempar lembing sepanjang 2 meter. Inilah Pasola, tradisi pertarungan para kesatria berkuda di wilayah Sumba Barat dan Sumba Barat Daya.

oleh Raden Trimutia Hatta diperbarui 26 Feb 2018, 10:47 WIB

Liputan6.com, Sumba - Derap kaki kuda memecah keheningan padang rumput. Bergiliran memasuki arena, saling melempar lembing sepanjang 2 meter. Inilah Pasola, tradisi pertarungan para kesatria berkuda di wilayah Sumba Barat dan Sumba Barat Daya.

Teriakan penonton menambah kegairahan para peserta, gairah yang tak jarang menyulut emosi. Peran para Rato, yakni yang merupakan pemimpin adat masyarakat Sumba meredam spirit para kesatria. Luapan adrenalin itu reda seketika.

Seperti ditayangkan Potret SCTV, Senin (26/2/2018), Milla Ate dan kelompoknya dari kampung Waikahumbu, pulang membawa kebanggaan sebagai penerus tradisi penganut Marapu, keyakinan sebagian besar masyarakat Sumba.

Bagi Milla dan masyarakat Sumba, Pasola menjadi momen yang terlalu berharga untuk dilewatkan. Tak jelas sejak kapan tradisi Pasola bermula. Sama halnya, seperti etnis lain di nusantara, masyarakat Sumba identik dengan tradisi lisan dan legenda.

Sementara menilik dari sisi lain, ikatan historis masyarakat Sumba dan kuda begitu lekat. Ikatan yang terbangun ribuan tahun sejak nenek moyang mereka gemar berperang antar-suku dan antar-kampung adat. Ikatan dengan kuda menjadi lebih istimewa saat Pasola, menjadi momen pergantian tahun yang sakral dan lazim jatuh pada bulan Februari hingga Maret.

Selain Pasola, terdapat tradisi Bau Nyale, yaitu tradisi menangkap cacing laut yang biasa dilakukan warga di pesisir selatan Sumba Barat Daya sebagai pembuka prosesi Pasola. Lagi-lagi, Milla tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, bergegas ia turun ke laut. Asa hanya tinggal asa, cacing yang keluar setahun sekali dan kaya protein itu belum menampakkan batang hidungnya.

Perhitungan waktu Bau Nyale, muncul di pantai berdasarkan rapat adat para Rato Nyale atau pendeta Nyale. Salah satunya Rangga Mate, Rato Nyale dari Desa Wura Homba yang dilengkapi hantaran sesaji untuk berdialog dengan roh leluhur.

Imbauan Rato atau pendeta Marapu menggema di kampung adat Waikahumbu. Ajakan menggelar prosesi sakral dalam sistem religi Marapu yang mengagungkan roh leluhur. Seluruh warga berkumpul di kubur batu pendiri kampung.

Ritual utama usai, kini saatnya warga membuktikan pengabdian terhadap arwah nenek moyang lewat meletakkan sirih pinang di altar kubur batu. Dalam kepercayaan Marapu, pemakaman di tengah kampung diyakini membuat roh leluhur selalu berkumpul dengan anak, cucu, dan keturunan.

Pesta Nyale, lalu diikuti prosesi Pasola, menjadi momen lebaran buat penganut Marapu, juga merupakan ajang seluruh warga kampung dan perantauan untuk mempererat ikatan persaudaraan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya