Liputan6.com, Damaskus - Selang beberapa hari usai Dewan Keamanan PBB meloloskan resolusi gencatan senjata 30 hari di Suriah, -- demi membuka akses bantuan kemanusiaan bagi warga terdampak konflik bersenjata -- sejumlah laporan menyebut bahwa pertempuran masih berlangsung.
Seperti dikutip dari The Guardian (26/2/2018), pasukan rezim Presiden Suriah Bashar Al Assad melancarkan serangan darat dan udara terhadap lokasi pemberontak di Ghouta Timur, Damaskus -- sebuah pelanggaran atas mandat DK PBB.
Baca Juga
Advertisement
Bombardir artileri dan udara terbaru itu dikabarkan menewaskan hingga sekitar sembilan orang, dan melukai sekitar 31 lainnya yang kemungkinan besar berstatus warga sipil. Demikian menurut laporan firma pemantau The Syrian Observatory for Human Rights.
Namun, tak dijelaskan apakah ada korban berstatus kombatan dari bombardir tersebut.
Meski begitu, bombardir terbaru dikabarkan tak terlalu parah jika dibandingkan rangkaian serangan di kawasan yang sama sepanjang pekan lalu -- mengakibatkan hingga ribuan korban luka; sekitar 500 di antaranya tewas; serta memicu DK PBB menggelar sidang darurat dan mengeluarkan resolusi gencatan senjata.
Sementara itu, seperti dikutip dari Sky News, baku tembak juga terjadi di antara pasukan pemberontak atau oposisi Jaish Al-Islam dengan pasukan rezim Al-Assad di Ghouta Timur. Baku tembak itu menewaskan 25 pasukan pemerintah, menurut klaim Jaish Al-Islam.
Di sisi lain, tidak dijelaskan berapa banyak pasukan pemberontak atau oposisi yang tewas dalam serangan dan pertempuran itu.
Sementara itu, seorang saksi mengatakan, pertempuran baru juga terjadi di beberapa lokasi lain sejak Minggu 25 Februari itu dilakukan sebagai upaya terakhir Pasukan Rezim Presiden Suriah Bashar Al Assad untuk mengeliminasi militan pemberontak atau oposisi -- sebelum resolusi gencatan senjata 30 hari diimplementasi langsung di lapangan.
Tantangan bagi Dewan Keamanan PBB
Laporan tentang bombardir dan pertempuran terbaru itu merupakan sebuah tantangan bagi Dewan keamanan PBB yang nantinya akan melakukan pemeliharaan serta pengawasan resolusi gencatan senjata selama 30 hari di Suriah.
Di sisi lain, pertempuran baru itu juga memicu tekanan baru yang dilancarkan komunitas internasional terhadap Rusia -- negara sekutu Rezim Presiden Suriah Bashar Al Assad.
Sebelumnya, Rusia juga telah menjadi sasaran kritik, karena dianggap menghambat DK PBB untuk melakukan sidang darurat dan meloloskan resolusi gencatan senjata menyusul peristiwa di Ghouta Timur.
Kini, beberapa hari setelah resolusi itu diloloskan, Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Prancis Emmanuel Macron dikabarkan melakukan joint-telephone call dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada Minggu, 25 Februari 2018.
Seperti dikutip dari The Guardian, Merkel dan Macron dikabarkan mendesak Putin agar Rusia dapat menekan Rezim Al Assad untuk mematuhi resolusi DK PBB. Selain itu, tak ada detail lain yang dijelaskan dalam joint-telephone call tersebut.
Namun di sisi lain, gencatan senjata itu tidak berlaku untuk operasi militer penumpasan grup teroris terafiliasi ISIS, Al Qaeda, dan Front Al Nusra. Hal itu juga membuat khawatir sejumlah pihak.
Mengutip Telegraph, baik Rusia dan Suriah selalu menuduh bahwa sejumlah kelompok pasukan pemberontak Suriah memiliki afiliasi dengan Al Qaeda.
Oleh karena itu, diprediksi, mereka akan menggunakan dasar argumentasi itu untuk terus melakukan serangan udara dan bombardir selama resolusi gencatan senjata 30 hari berlangsung.
Adapun, seperti dikutip dari The Guardian, kelompok oposisi/pemberontak di Ghouta Timur, Faylaq al-Rahman and Jaish al-Islam, menyatakan siap melakukan gencatan senjata demi membuka jalan bagi bantuan kemanusiaan.
Begitupun Iran -- yang juga koalisi Pasukan Rezim Al Assad -- mengatakan siap mematuhi resolusi gencatan senjata.
Di sisi lain, Turki, yang bertempur melawan Kurdi Suriah di Afrin, Suriah Utara, menyatakan bahwa mereka tidak masuk di dalam daftar negara yang wajib mematuhi resolusi tersebut.
Sementara itu, Amerika Serikat, yang bertempur membantu pasukan oposisi Syrian Democratic Force, belum memberikan kabar apakah turut serta akan melakukan gencatan senjata.
Advertisement
Belum Jelasnya Mekanisme dan Teknis Resolusi
Terlepas dari hal itu, The Guardian menulis bahwa DK PBB sejatinya belum memaparkan lebih detail mengenai teknis pelaksanaan resolusi gencatan senjata, begitu juga dengan mekanisme akses dan penyaluran bantuan kemanusiaan ke wilayah dan masyarakat terdampak.
Sementara itu, Robert Mardini, perwakilan tertinggi Komite Palang Merah Internasional di Timur Tengah, telah mengatakan bahwa dia "terkejut" dengan tingkat kekerasan di sekitar Ghouta Timur dan meminta akses humaniter sesegera mungkin ke warga sipil yang terdampak.
Dia mengatakan kepada wartawan di Beirut bahwa badan bantuan internasional tersebut memiliki sebuah konvoi kemanusiaan yang siap. Namun, pihak berwenang Suriah belum menyetujui bagiannya.
"Skor terbunuh dalam beberapa hari terakhir, statistik mengejutkan, tapi banyak yang masih bisa diselamatkan," kata Mardini.
"Anak-anak, wanita dan pria kelelahan dan ketakutan di Ghouta Timur. Mereka berlutut, melemah karena berbulan-bulan dikepung."
Saksikan juga video pilihan berikut ini: