2 Alasan Ahok Ajukan Peninjauan Kembali

Pengadilan Negeri Jakarta Utara selesai menggelar sidang PK Ahok.

oleh Rita AyuningtyasMuhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 26 Feb 2018, 12:22 WIB
Gubernur DKI Jakarta, Basuki T Purnama berbincang dengan bakal calon kepala daerah Aceh Barat, Fuad Hadi saat sidang lanjutan Uji Materi Pasal 70 ayat 3 UU Pilkada mengenai cuti selama kampanye di MK, Jakarta, Senin (5/9). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Negeri Jakarta Utara selesai menggelar sidang PK Ahok. Memori peninjauan kembali (PK) perkara penistaan agama yang menjerat pria bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama itu akan dikaji kelengkapannya oleh majelis hakim sebelum diajukan ke Mahkamah Agung (MA).

Pengacara Ahok, Josefina Agatha Syukur, mengatakan ada dua alasan yang dipakai untuk mengajukan PK. Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur tiga dasar pengajuan PK, yakni adanya keadaan baru, adanya putusan yang saling bertentangan, dan adanya putusan yang memperlihatkan adanya suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata.

"Yang kami gunakan adalah salah satunya kekhilafan hakim, kemudian juga ada alasan mengenai putusan terkait Buni Yani," kata Josefina usai sidang PK Ahok di bekas kantor PN Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakarta, Senin (26/2/2018).

1. Bertentangan dengan Putusan Buni Yani

Menurut Josefina, pada vonis Ahok, ada beberapa hal yang kontradiktif dengan putusan perkara ITE, Buni Yani. Terlabih, dalam pertimbangan putusannya.

"Bukan soal vonis lebih ringan, tetapi materi pertimbangannya. Pertimbangan kalau di majelis hakim kalau di putusan ini kan jelas dikatakan bahwa kasus Ahok tidak ada hubungan dengan kasus Buni Yani. Namun kalau kami melihat dalam putusan itu sendiri sebenarnya dasar Buni Yani ditetapkan sebagai tersangka kemudian dipidana karena mengedit apa yang sudah ada dalam video Pak Ahok," Josefina menjelaskan.

Pengacara sekaligus adik Ahok, Fifi Lety Indra menuturkan, pidato Ahok baru menjadi masalah setelah Buni Yani mengunggah video yang disertai dengan caption yang tidak sesuai dengan perkataan mantan Gubernur DKI Jakarta itu. Sebelumnya, tidak ada yang marah atau tersinggung, termasuk para penduduk Kepulauan Seribu.

"Mungkin kita bisa refresh memori kita balik pada waktu sidang dahulu tahun lalu. Pada waktu sidang banyak sekali saksi pelapor yang isinya sama. Jangan lupa, tidak ada satupun penduduk Kepulauan Seribu yang melapor. Tidak ada yang merasa tersingung atau pun marah. Harusnya ini jadi pertimbangan juga itu baru marah dan tersinggung sesudah ada editan si bapak sana (Buni Yani)," kata Fifi usai sidang PK Ahok.


2. Kekhilafan Hakim

Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama usai jalani sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (25/7). Sidang kasus suap proyek reklamasi untuk berkas terdakwa mantan Dirut PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Josefina mengatakan pihaknya mencantumkan banyak poin dari alasan kekhilafan hakim. Hampir seluruh pertimbangan dijadikan alasan untuk pengajuan PK ini. Dia mencontohkan keterangan dari ahli yang tidak masuk dalam pertimbangan majelis hakim memutus perkara Ahok.

"Itu salah satu alasan kekeliruan yang nyata. Di samping itu masih banyak. Ada sekitar 6-7 poin," kata Josefina.

Soal kekhilafan hakim, Fifi menambahkan, putusan penahanan langsung Ahok. Padahal, selama sidang selalu hadir walaupun tidak ditahan. Selama sidang, Ahok tak pernah terlambat dan selalu kooperatif.

Hal itu, tidak dijadikan pertimbangan majelis hakim yang memeriksa perkara Ahok.

"Salah satu dasar penahanan kan takut mengulangi perbuatannya. Itu tidak diuraikan mengapa Pak Ahok harus ditahan seketika padahal pada saat itu Pak Ahok langsung menyatakan banding. Teman wartawan bisa bandingkan dengan kasus yang satunya (Buni Yani) pasti," ujar Fifi.

Selain itu, dia menilai ada kejanggalan dari para pelapor. Keterangan para pelapor saat membuat surat laporan di kepolisian, sama. Mereka pun mengatasnamakan seluruh umat Islam di Indonesia. Padahal, kata dia, kakak angkat Ahok yang muslim Nana Riwayatie tidak pernah merasa tersinggung.

Terlebih, ucap Fifi, tak ada satu pun pelapor yang merupakan penduduk asli Kepulauan Seribu.

"Wartawan semua ikut pada waktu Pak Ahok ada di Kepulauan Seribu. Logikanya kita, orang marah dan tersinggung seketika itu juga kalau kita menyinggung agama orang lain, orang yang ada di sana langsung bereaksi. Apalagi yang hadir di Kepulauan Seribu banyak sekali orang-orang pandai, tokoh masyarakat, dan juga dihadiri teman-teman wartawan dan itu disiarkan pidato full Pak Ahok, tidak ada protes, tidak ada marah-marah, tidak ada yang peduli," kata Fifi.

"Semuanya adem ayem. Sembilan hari sesudah itu baru ada posting-an si bapak satunya (Buni Yani). Kemudian terbukti ada putusan pengadilan bahwa posting-an itu memang adalah tindak pidana. Apa yang terjadi? Sesudah sembilan hari ada posting-an itu baru terjadi peristiwa-peristiwa itu yang saling bergulir. Itu tidak dipertimbangkan sama sekali. Ini pertentangan yang kami lihat," lanjut dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya