Tak Ingin Jadi Komoditas Politik, Menkeu Pastikan Jaga Rasio Utang

Menkeu Sri Mulyani menuturkan, pemerintah berupaya menjaga rasio utang dengan mengelola APBN dengan sehat.

oleh Bawono Yadika diperbarui 26 Feb 2018, 19:01 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani menghadiri Rapat Paripurna DPR RI di Senayan, Jakarta, Rabu (25/10). Sidang Paripurna DPR RI ini menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 menjadi Undang-Undang (UU). (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan menjaga rasio utang agar pengelolaan utang tidak menjadi komoditas politik.

"Ini semua kami lakukan dalam rangka menjaga agar pengelolaan hutang Indonesia tidak dijadikan komoditas politik, tapi merupakan suatu pengelolaan yang sifatnya profesional sesuai dengan azas-azas dengan pengelolaan keuangan yang ada di dunia ini," kata dia di Kantor Kementerian Keuangan, Senin (26/2/2018).

Sri Mulyani menuturkan, pihaknya berupaya agar menjaga rasio utang dalam keadaan baik dengan menjaga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sehat.

"APBN kita dijaga sehat, defisitnya kami usahakan sesuai dengan kebutuhan sehingga tidak melebihi dengan peraturan perundang-undangan," ujar dia.

Sri Mulyani menambahkan, pengelolaan utang ini sesuai dan berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan utang secara global.

"Jadi dalam hal ini kami lihat komposisi utangnya, berapa jatuh temponya, komposisi instrumennya, komposisi investornya, komposisi suku bunga yang fixed dan variabel, dan juga komposisi nilai mata uangnya. Kami lakukan pengelolaan secara hati-hati sesuai prinsip-prinsip pengelolaan hutang secara global," ujar dia.

Dengan pengelolaan utang, ia juga mengungkapkan pentingnya pemerintah menyampaikan semua prosesnya kepada masyarakat.

"Misal, dengan negara lain apakah hutang kita dibanding gross domestic product (GDP) sudah mengkhawatirkan, apakah jatuh temponya cukup aman, apakah dari sisi untuk membayarnya kembali cukup ada, apakah pasar dari bounce ini cukup dalam, apakah ada permintaan yang terus bisa dijaga kredibilitasnya sehingga mereka tidak khawatir. Jadi yang selama ini kami lakukan, kami sampaikan ke publik, " jelas dia.

Seperti diketahui, dalam APBN 2018, target defisit 2,19 persen atau sekitar Rp 325,9 triliun. Pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan Rp 1.618,1 triliun yang terdiri dari kepabean dan cukai Rp 194,1 triliun dan penerimaan pajak Rp 1.424 triliun.

Sedangkan penerimaan negara bukan pajak Rp 275,4 triliun. Ditambah hibah Rp 1,2 triliun.Untuk belanja pemerintah pusat ditargetkan Rp 1.454,5 triliun yang terdiri belanja kementerian/lembaga sebesar Rp 847,4 triliun dan belanja non kementerian-lembaga sebesar Rp 607,1 triliun. Transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp 766,2 triliun.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 


Defisit Anggaran Bikin RI Harus Tambah Utang

Ilustrasi uang (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, total utang pemerintah pusat tercatat hampir menembus Rp 4.000 triliun atau tepatnya Rp 3.958,66 triliun sampai dengan akhir Januari 2018. Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 29,1 persen.

Posisi utang tersebut meningkat sebesar Rp 19,96 triliun dari posisi utang pada Desember 2017 yang sebesar Rp 3.938,7 triliun.

"Penambahan utang adalah konsekuensi dari adanya kebijakan defisit anggaran," kata Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Luky Alfirman saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Rabu 21 Februari 2018.Strategi pemerintah ke depan untuk mengurangi utang pemerintah, diungkapkan Luky, adalah menjaga batas defisit selalu di bawah 3 persen dari PDB sesuai dengan Undang-Undang Keuangan Negara.

"Kita berupaya untuk terus mengurangi, baik defisit anggaran maupun keseimbangan primer (primary balance)," dia menerangkan.

Pemerintah mematok defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar Rp 325,9 triliun atau 2,19 persen dari PDB. Target defisit ini lebih rendah dibanding realisasi tahun lalu yang sebesar 2,48 persen dari PDB.

"Secara sistem dan struktur penganggaran APBN, jika defisit dan butuh pembiayaan, yang saat ini dipenuhi sebagian besar dari penerbitan Surat Utang Berharga Negara (SBN)," paparnya.

Guna menjaga fiskal tetap berkesinambungan, diakui Luky, pemerintah melihat indikator rasio utang terhadap PDB sesuai UU Keuangan Negara dengan batas tidak melebihi 60 persen dari PDB.

"Tahun ini, rasio utang kita perkirakan akan mencapai 29,1 persen atau masih jauh dari batas tersebut. Jadi masih cukup aman dan terkendali," terang Luky.

Dalam buku APBN KITA yang dirilis Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati kemarin (20/2/2018) di kantornya menyebut, utang pemerintah pusat senilai Rp 3.958,66 triliun hingga akhir Januari 2018 itu terdiri dari pinjaman sebesar Rp 752,38 triliun atau sekitar 19 persen dan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 3.206,28 triliun atau 81 persen.‎

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya