Liputan6.com, Jakarta Murah meriah. Boleh jadi ini alasan terbesar masyarakat lebih memilih 'berobat' ke tukang gigi ketimbang dokter gigi di puskesmas, klinik, maupun rumah sakit.
Menurut data yang dikutip dari laman resmi Kementerian Kesehatan RI, harga gigi palsu di dokter gigi berbahan fleksi sekitar Rp1 juta, sementara yang berbahan akrilik sekitar Rp600 ribu.
Advertisement
Sementara di tukang gigi yang membuka kios di pinggir jalan sampai di ruko, gigi palsu dibanderol sekitar Rp200 ribu/gigi, bahkan hanya Rp1 juta/set gigi.
Bagi yang peduli terhadap pentingnya kesehatan gigi, Anda pasti memprioritaskan untuk konsultasi langsung dengan dokter gigi atau lebih aman lagi dengan dokter spesialis prostodonsia. Ironisnya, tidak semua orang berpikiran sama.
Kalau ada tukang gigi yang bagus, mengapa harus repot dan buang-buang uang ke dokter gigi? Tak heran, para tukang gigi pun banyak membuka 'klinik gigi'.
Merebaknya bola panas ini membuat Kemenkes kembali lantang bersuara soal maraknya pembuatan dan pemasangan gigi tiruan lepasan oleh para tukang gigi. Peraturan soal pekerjaan tukang gigi dituangkan dalam Permenkes nomor 39 tahun 2014 Pasal 6.
Disebutkan bahwa pekerjaan tukang gigi hanya membuat dan memasang gigi tiruan lepasan sebagian atau penuh. Lalu, bahannya terbuat dari bahan heat curing acrylic sesuai ketentuan dan persyaratan kesehatan dengan tidak menutupi sisa akar gigi.
Kemenkes menjabarkan bahwa untuk pemasangan kawat gigi yang promonya banyak dipasang oleh tukang gigi, sesungguhnya harus dilakukan dokter gigi yang kompeten. Ada rontgen gigi terlebih dahulu, kemudian pencetakan struktur gigi, pencabutan gigi, dan pemasangan kawat. Setelah itu diperlukan penggantian karet sekitar dua minggu sekali.
Melihat fenomena berkembang seputar tukang gigi yang dengan bebas membuka kios, juga mendapat perhatian khusus spesialis prostodonsia, drg. Donna Pratiwi Sp. Prosto.
"Contoh dalam pembuatan gigi tiruan saja. Dokter gigi juga memiliki ruang lingkup kompetensi. Ada dokter gigi umum dan dokter gigi spesialis gigi tiruan atau prostodontis. Ada keterbatasan kemampuan, pengetahuan, dan ketrampilan antara dokter gigi umum dan Prostodontis yang disebut cakupan bidang kompetensi," lontar Donna saat dihubungi Health-Liputan6.com, Selasa (27/2/2018).
Simak juga video menarik berikut :
Pembuatan Gigi Bukan Perkara Sembarangan
Kemenkes juga mengingatkan agar masyarakat mulai cerdas dan kritis untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Caranya dengan pergi ke dokter gigi yang kompeten ketika melakukan cabut maupun pasang kawat gigi.
"Masyarakat diimbau tidak sembarangan memilih dokter gigi. Lalu, pemeriksaan, pemasangan, atau pencabutan gigi lebih baik dilakukan oleh ahlinya baik di Puskesmas atau di rumah sakit," pesan Kemenkes.
Demikian juga yang diungkap oleh Donna. Ia menyatakan baik dokter gigi umum maupun spesialis prostodontis tidak akan pernah menyerahkan proses pembuatannya kepada tukang gigi.
"Ada laboratorium khusus dengan teknisi terpercaya dengan pendidikan serta pelatihan khusus dan resmi untuk pembuatan gigi. Sehingga sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh tukang gigi," papar prostodontis jebolan Universitas Indonesia tersebut.
Advertisement
Butuh Ketegasan Hukum Soal Tukang Gigi
Penulis buku Gigi Sehat, Merawat Gigi Sehari-Hari dan Gigi Sehat dan Cantik ini menerangkan banyak lagi contoh malapraktik yang dilakukan tukang gigi. Mulai dari pemasangan kawat gigi, penambalan, dan pencabutan gigi.
"Selama belum ada hukum yang ditegakkan, hal ini tentunya akan semakin merajalela di kalangan masyarakat yang kurang dalam pengetahuan dan kewaspadaan tentang kesehatan gigi secara khususnya. Dalam hal ini sangat diperlukan ketegasan dan kepedulian pemerintah dalam menegakkan hukum berikut eksekusi sanksinya," harap dokter kelahiran Jakarta 29 September 1976 tersebut.
Tentu saja butuh diimbangi gencarnya pemberitaan atau informasi yang tepat sasaran mengenai kesehatan gigi, baik dalam penanganan, perawatan, maupun kompetensi tenaga medisnya.
"Edukasi ini perlu agar masyarakat kita akan sangat terang dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang seharusnya, tepat, dan sebaik-baiknya," pesan Donna.