Liputan6.com, Jakarta Perkonomian dan keungan syariah di Indonesia mempunyai masa depan cerah dan berpotensi menjadi lokomotif ekonomi nasional.
Hal itu dikemukakan oleh Direktur Bank BJB Syariah, Indra Falatehan. Ia mengatakan Indonesia sebagai negara muslim menjadi pasar yang potensial bagi industri perbankan syariah.
Advertisement
"Indonesia memiliki potensi besar karena meningkatnya kesadaran masyarakat untuk beragama terutama Muslim. Industri keuangan syariah semakin hari akan semakin baik. Namun secara market share ini yang menjadi masalah karena kami melawan sesuatu yang bergerak," ujar Direktur bank bjb syariah Indra Falatehan di Bandung, dalam keterangan pers, Senin (19/2/2018).
Saat ini, geliat ekonomi syariah di Indonesia memperlihatkan tren positif. Hal itu dilihat dari data Otoritas Jasa Keungan (OJK) yang mencatat hingga akhir tahun 2017, peyaluran biaya perbankan syariah tumbuh mencapai 15,75 persen secara tahunan.
Hal itu bisa dilaht dari pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) mencapai 20,54%. Bahkan dari sisi aset, perbankan syariah menunjukan peningkatan yang cukup signifikan yakni mencapai 19,79%. Angka tersebut berada di atas tingkat pertumbuhan aset perbankan konvensional yang hanya sebesar 11,20%.
Sebaliknya secara garis besar, perkembangan ekonomi syariah di Indonesia belum sesuai dengan harapan dan potensi yang ada. Hal tersebut tercermin dari market share keuangan syariah Indonesia yang masih relatif kecil yakni hanya berkisar pada angka 5%.
Angka tersebut berada jauh di bawah negara mayoritas muslim lainnya seperti Uni Emirat Arab dengan 19,6%, Malaysia yang mencapai 23,8% serta Arab Saudi 51,1%.
Bicara mayoritas, Indonesia sendiri merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Artinya, pemeluk Islam di Indonesia mewakili nyaris 11% dari total populasi Muslim dunia. Sebuah potensi yang seharusnya dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi syariah nasional.
Maka dari itu, Indra mengatakan salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi syariah adalah melakukan konversi antara perbankan syariah dengan konvensional.
Perlu diketahui, pendirian Bank BJB syariah diawali dengan pembentukan Divisi/Unit Usaha Syariah oleh PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk pada tanggal 20 Mei 2000.
Hal itu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Jawa Barat yang mulai tumbuh keinginannya untuk menggunakan jasa perbankan syariah pada saat itu.
Berjalannya waktu, dalam sepuluh tahun operasional Divisi/Unit Usaha syariah, manajemen PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk berpandangan bahwa untuk mempercepat pertumbuhan usaha syariah serta mendukung program Bank Indonesia yang menghendaki peningkatan share perbankan syariah, maka dengan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk. diputuskan untuk menjadikan Divisi/Unit Usaha Syariah menjadi Bank Umum Syariah.
Langkah serupa kemudian diikuti oleh beberapa BPD lain, salah satunya Bank Aceh yang melakukan konversi menuju syariah pada tahun 2016 lalu. Konversi tersebut terbukti baik karena kini dapat meningkatkan pertumbuhan laba Bank Aceh.
"Tahun ini ada Bank NTB yang akan konversi dengan syariah. Saya lihat (konversi) paling mungkin dilakukan. Namun perlu adanya dorongan besar dari pemerintah," ujar Indra.
Pada 2018, Bank BJB Syariah menargetkan penyaluran kredit sebesar Rp5,4 triliun. Optimisme tersebut lahir berkat adanya potensi pasar syariah di Jawa Barat yang dinilai begitu besar.
Terlebih, Jabar menjadi daerah dengan basis jamaah haji terbesar di Indonesia. Bahkan angka pemberangkatan haji serta umroh terus memperlihatkan tren peningkatan dari tahun ke tahun. Celah tersebut sebenarnya dapat dimanfaatkan oleh bank syariah.
Sementara di level nasional, ekonomi syariah diprediksi akan mengalami pertumbuhan signifikan di tahun 2018. Penyebabnya, karena terjadi kelebihan likuiditas yang dialami oleh perbankan.
"Itu akan meningkatkan perkembangan ekonomi syariah terutama di funding. Namun penyaluran dan pendanaan masih akan melihat dari apa yang terjadi di triwulan satu tahun 2018," ujar Ekonom Universitas Pasundan Acuviarta Kartabi.
Selain itu, sistem syariah berperan besar dalam laju ekonomi Indonesia terkait perkembangan sektor riil. Hal ini disebabkan sebagai sistem syariah menolak adanya bunga bank atau riba. Sehingga dana yang dikelola akan dimanfaatkan pada sektor riil. Ini mendorong adanya investasi luar negeri terutama negara Timur Tengah.
"Saya optimis perbankan syariah akan membaik sejalan dengan peningkatan ekonomi Indonesia. Potensi Indonesia sangat kuat kalau melihat pertumbuhan DPK. Meski lambat tapi terus terjadi peningkatan," ujar Acuviarta.
Konsep mengenai ekonomi syariah sebenarnya telah hadir dan mulai diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia sejak hampir tiga dekade lalu. Tepatnya ketika perbankan syariah pertama yakni Bank Muamalat berdiri pada tahun 1991.
Lalu konsep syariah mulai membuka mata masyarakat Indonesia pada tahun 1998. Ketika itu, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang membuat banyak perusahaan mesti gulung tikar. Beberapa kalangan meyakini bahwa krisis terjadi lantaran konsep ekonomi konvensional begitu mengutamakan sistem bunga sebagai instrumen profit.
Sementara ekonomi syariah sangat berbeda dengan konsep kapitalis maupun komunis. Pasalnya ekonomi syariah berpihak pada keadilan serta menolak segala bentuk perilaku seperti riba maupun spekulasi yang tidak pasti.
Fase pencerahan ekonomi syariah kemudian hadir ditandai dengan diberlakukannya UU Nomor 10 Tahun 1998 mengenai arahan pemerintah kepada bank konvensional untuk membuka divisi atau melakukan konvergensi dengan sistem perbankan syariah.
Terbaru, pemerintah membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang dipimpin oleh Presiden Indonesia Joko Widodo pada tahun 2016. KNKS bertujuan mengembangkan potensi serta menjawab tantangan ekonomi syariah di Indonesia.
(*)