Menristekdikti: Hasil Survei, 23 Persen Pelajar Siap Tegakkan Khilafah

Guna menekan radikalisme, Menristekdikti ingin pelajaran agama terutama Islam di kampus, tidak diberikan di awal semester.

oleh Anendya Niervana diperbarui 01 Mar 2018, 08:43 WIB
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) menggelar acara Refleksi Akhir Tahun 2015, Jakarta, Senin (28/12/2015). Menristekdikti, Mohamad Nasir memaparkan pencapaian program selama 2015. (Liputan6.com/Faisal R Syam)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengungkapkan hasil riset bersama LIPI, UI, dan sejumlah peneliti sosial lainnya tentang radikalisme dan wawasan kebangsaan pada pelajar dan mahasiswa.

Hasilnya, 23 persen pelajar dan mahasiswa siap menegakan khilafah.

"Ternyata pelajar kita siap berjihad untuk menegakkan khilafah. Di kelompok mahasiswa menduduki 23,4 persen pada akhir tahun 2017. Tingkat SMA tinggi juga 23,3 persen," ungkap Nasir di acara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Jakarta Pusat, Rabu, 28 Februari 2018.

Namun, berdasarkan survei yang menggunakan metode random sampling itu, terjadi trend penurunan jumlah responden yang tetap menginginkan khilafah dan meninggalkan NKRI.

Hasil yang sama juga terjadi saat responden memilih khilafah dan NKRI. Keduanya berada dikisaran angka 17 hingga 18 persen.

Berdasarkan survei ini, Nasir melihat ada peluang untuk terus menekan angka potensi radikalisme di kalangan pelajar. Dia ingin bisa menciptakan karakter mahasiswa yang unggul ketika bersinggungan dengan masalah radikalisme.

"Pertama yang kami lakukan adalah penguatan tridarma perguruan tinggi secara bersama," ucap Nasir.

Karena itu, dia ingin pelajaran agama terutama Islam di kampus, tidak diberikan di awal semester.

"Saya coba di 2016, 2017, minta matkul (mata kuliah) agama geser di semester akhir," kata Nasir.

Lalu, dia meminta mahasiswa di kampus percobaan tersebut untuk memetakan permasalahan bangsa selama semester 1 hingga 6. Kemudian barulah pelajaran agama diberikan.

"Ada pergeseran yang cukup positif dan drastis luar biasa," ucap Nasir optimistis.

Selain itu, Nasir mencanangkan program kegiatan mahasiswa yang mengandung dasar umum pendidikan karakter kebangsaan. Dalam hal ini, Nasir akan menyertakan pendampingan oleh rektor terhadap semua kegiatan mahasiswa agar tidak melewati nilai-nilai kebangsaan.

"UKM-UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) harus ada pendamping dosen, harus ada kendali di bawah rektor," harap Nasir.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 


Program Antiradikalisme

Menteri Ristek Dikti, Muhammad Nasir bersama hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya saat deklarasi kebangsaan melawan radikalisme di UKI, Jakarta, Selasa (19/9). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Mantan Rektor Universitas Diponegoro (UNDIP) ini juga akan mengembangkan program antiradikalisme kepada pelajar dari aspek literasi. Menurutnya, data yang selama ini berlimpah dan dibarengi dengan perkembangan teknologi yang pesat, belum dimanfaatkan dengan baik.

Menurut alumnus UNDIP dan UGM ini, penyebab munculnya radikalisme salah satunya pada saat revolusi industri keempat tahun 2000-an, yang ditandai dengan kemajuan teknologi, informasi, dan transportasi.

Akibatnya, peningkatan pertumbuhan ekonomi dan daya demokrasi serta daya bersaing menjadi tak terbantahkan. Akhirnya semangat gotong royong dan solidaritas antar warga menjadi luntur yang berganti dengan intoleransi.

Ke depan, Nasir ingin literasi melalui data dan teknologi bisa menjadi tonggak penggerak anti radikalisme. Hal ini kemudian diharapkan dapat berjalan berirangan dengan gerakan mahasiswa yang akan mempertajam karakter kebangsaan.

Sampai saat ini pun, Nasir mengaku masih terus melakukan upaya anti radikalisme melalui deklarasi dan juga wawasan kebangsaan bersama Kepala BNPT Suhardi Alius. Bahkan, dia juga kerap melakukan giat anti narkoba dan korupsi.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya