Liputan6.com, Jakarta - Bareskrim Polri membongkar jaringan kelompok penyebar ujaran kebencian serta penyebar berita hoax di media sosial. Ada enam orang yang diciduk karena kerap menyebar ujaran kebencian dan hoax.
Keenamnya tergabung dalam kelompok Muslim Cyber Army (MCA). Peran mereka diduga sebagai admin grup penebar berita bohong. Polisi mengklaim, anggota MCA ada sekitar 177 orang.
Advertisement
Lantas, apa yang menyebabkan seseorang mau ikut dalam kelompok penyebar kebencian dan berita hoax tersebut?
Kabag Psikolog Baharkam Mabes Polri AKBP Dilia Tri Rahayu Setyaningrum menjelaskan dengan kecenderungan angka pengangguran di Indonesia yang cukup tinggi, tergabungnya banyak individu ke dalam kelompok ini akan makin besar.
"Karena bagaimanapun dasar mereka melakukan itu karena mereka mendapat suatu keuntungan dari keadaan yang tidak stabil," kata Dilia, Rabu (28/2/2018) malam.
Indonesia, dinilai pasar yang pas. "Mengingat jumlah penduduknya yang besar," ia menambahkan.
Polisi wanita (polwan) yang kini menjabat sebagai Kabag Psikolog Polda Jambi ini melanjutkan, jika ditarik ke belakang, melihat dari bahasanya saja, Muslim Cyber Army (MCA), sudah ada kata "Army" di dalamnya.
"Itu menandakan kelompok tersebut melabel dirinya sebagai semacam kekuatan angkatan untuk tujuan agar terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Kemudian berakibat pada ketidakseimbangan pada suatu hal," bebernya.
"Dengan kata lain, kelompok ini terbentuk dengan tujuan tertentu," tegas wanita yang pernah menjadi pengajar di Universitas Bhayangkara ini.
Meskipun demikian, kata Dilia, hingga kini motif sebenarnya terbentuknya kelompok MCA masih diselidiki polisi. "Berbeda dengan Saracen. Itu jelas motif ekonomi," ujarnya.
Tidak Bergerak Sendiri
Selayaknya kelompok yang bertujuan, kata Dilia, sudah barang tentu membutuhkan sumber daya manusia. "SDM itu direkrut dengan cara tertentu dan karakter per orangan tertentu," ia menambahkan.
"Akhirnya setelah direkrut, mereka disamakan persepsinya melalui 'Group think'. Pikiran kelompok dengan tujuan tertentu inilah yang membuat mereka semakin kuat menyebar isu, fitnah lewat berita-berita hoax dalam skala lebih besar," bebernya.
Dilia menegaskan, anggota kelompok penyebar kebencian dan berita hoax cenderung tidak akan berani secara psikologis jika bergerak sendirian. "Karena kecenderungan jika tidak dipecah pikiran kelompok atau 'grup think' tadi," tegasnya.
"Maka caranya mereka saling menguatkan satu sama lain. Makin ada yang berani melakukan pemberitaan yang gila, makin yang lain terdorong untuk membuat sensasi berita lebih gila lagi dan seterusnya," tandasnya lulusan Profesi Kekhususan Klinis Dewasa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini.
Reporter: Henny Rachma Sari
Sumber: Merdeka.com
Advertisement