Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus bergerak melemah pada perdagangan Kamis ini. Penguatan dolar AS memang teradi terhadap hampir seluruh mata uang di dunia.
Mengutip Bloomberg, Kamis (1/3/2018), rupiah dibuka di angka 13.662 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 13.751 per dolar AS.
Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 13.760 per dolar AS hingga 13.817 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 1,67 persen.
Baca Juga
Advertisement
Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 13.793 per dolar AS. Patokan pada hari ini juga melemah jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 13.707 per dolar AS.
Nilai tukar dolar AS memang menguat terhadap seluruh mata uang dunia. Penguatan dolar AS lebih tinggi akibat euro melemah karena kekhawatiran akan angka inflasi.
Dolar AS menguat setelah komentar dari Gubernur Bank Sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed) Jerome Powell yang cukup optimistis terhadap pertumbuhan ekonomi di AS.
Berbeda sekali dengan AS, data inflasi yang melemah di zona euro memberi tanda-tanda bahwa Bank Sentral Eropa akan kembali memberikan stimulus sehingga membanting euro ke posisi terendah lima minggu terhadap dolar AS dan enam bulan terhadap yen Jepang.
The dollar index naik ke level tertinggi lima minggu di 90,746, karena optimisme Powell terhadap ekonomi AS menyarankan bahwa Fed akan menaikkan suku bunga empat kali di tahun ini, di atas perkiraan pasar.
"Pelaku pasar sebenarnya memperkirakan bahwa Bank Sentral Eropa akan menaikkan suku bunga di tahun ini, tetapi pada kenyataannya justru belum jelas," tutur Makoto Noji, senior analis Nikko SMBC.
Risiko Pelemahan Rupiah
Pelemahan rupiah ini membuat berbagai kalangan khawatir. Bukan tanpa alasan, setidaknya beberapa hal yang bisa berisiko jika rupiah terus melemah.
Pertama, jika pelemahan berlanjut, daya saing produk Indonesia baik domestik maupun ekspor akan mengalami pelemahan juga. Karena, saat ini beberapa sektor industri masih mengandalkan impor bahan baku dan barang modal.
"Kalau dolarnya mahal, pasti ujungnya biaya produksi akan naik, dan pada akhirnya harga barang akan lebih mahal. Sementara konsumsi domestiknya masih stagnan, maka bisa mempengaruhi profit pengusaha juga," kata Ekonom INDEF Bima Yudhistira kepada Liputan6.com.
Advertisement
Risiko Kedua
Untuk risiko kedua, Bima menuturkan, pelemahan rupiah bisa menjadi beban terhadap pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri pemerintah dan korporasi semakin membesar.
Dengan demikian risiko gagal bayar utang swasta akan naik, terlebih masih banyak perusahaan yang belum melakukan hedging atau lindung nilai.
Sedangkan risiko ketiga adalah bisa mempengaruhi penyesuaian harga BBM. Bima menuturkan, Indonesia sebagai negara net importir minyak mentah sangat sensitif terhadap pergerakan dolar AS. Jika dolar AS menguat terhadap rupiah, harga BBM akan tertekan baik yang subsidi maupun non subsidi.
"Efeknya penyesuaian harga BBM berbagai jebis diprediksi akan terus dilakukan," ujar dia.
Ia mengatakan tercatat impor minyak Indonesia sebanyak 350-500 ribu barel per hari karena produksi dalam negeri tak mencukupi konsumsi BBM.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: