Liputan6.com, Jakarta Kementerian Pertanian (Kementan) tengah mengembangkan jenis sapi baru di Indonesia yaitu Belgian Blue melalui mekanisme transfer embrio (TE) dan inseminasi buatan (IB). Pengembangan sapi asal Belgia tersebut diharapkan bisa membantu memenuhi kebutuhan daging sapi di dalam negeri.
Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak Kementan, Sugiyono mengatakan, program pengembangan sapi tersebut telah diuji coba pada 2017 dan mulai difokuskan pengembangannya pada 2018 ini.
Baca Juga
Advertisement
"Kita sudah uji coba 2017, dilaksanakan 2018 oleh BET (Balai Embrio Ternak) Cipelang dan di 11 UPT Kementan, jadi tidak keluar dulu. Masih di UPT-UPT kita. Baru mulai dilaksanakan dan lahirnya 9 bulan kemudian," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Jumat (2/3/2018).
Untuk bisa menjalankan program tersebut, pada tahun ini Kementan melalui BET Cipelang mengimpor 1.000 sperma dan 900 embrio Belgian Blue. Untuk sperma harganya sebesar Rp 450 ribu per dosis atau suntikan dan embrio hampir mencapai Rp 11 juta per embrio.
"Impor 2017 sebenarnya sudah ada. (Tahun ini) Impor 900 embrio, spermanya lebih dari itu," kata dia.Menurut Sugiyono, dari pengembangan yang dilakukan saat ini diharapkan ada 1.000 kelahiran anak sapi Belgian Blue pada tahun depan. Sebab, proses TE dan IB hingga menghasilkan anak membutuhkan waktu 9 bulan.
"(Target) 1.000 kelahiran di 2019. Ini baru mulai dilaksanakan dan lahirnya 9 bulan kemudian," tandas dia.
Pengembangan Sapi Belgian Blue Tak Cocok pada Peternak Lokal
Pengembangan sapi Belgian Blue melalui skema transfer embrio (TE) dan inseminasi buatan (IB) oleh Kementerian Pertanian (Kementan) dinilai tidak bisa diaplikasikan pada peternak lokal. Sebab, jenis sapi yang dikembangbiakan di peternakan lokal merupakan sapi dengan bobot yang kecil.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Rochadi Tawaf mengatakan, di seluruh dunia, pengembangan sapi di tingkat peternak melalui mekanisme TE dan IB masih menggunakan sapi jenis Limosin dan Simental. Sedangkan dengan jenis Belgian Blue belum pernah dilakukan.
"Kalau kata ahli genetik, jika Belgian Blue itu sapi jenis unggul yang bisa dijadikan alternatif sumber daging secara maksimal, tapi di dunia itu tidak dipakai. Yang dipakai itu Limosin dan Simental. Jadi Belgian Blue ini masih skala laboratorium, belum skala komersial. Kalau bisa skala komersial, kenapa tidak diterapkan di dunia," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Rabu (28/2/2018).
Oleh sebab itu, lanjut dia, jika memang pengembangan jenis sapi tersebut dilakukan agar bisa diaplikasikan di peternak rakyat, maka harus memperhatikan sejumlah hal. Seperti soal pakan ternak yang dibutuhkan untuk sapi jenis Belgian Blue.
"Oleh sebab sekarang masih skala laboratorium. Sebab kalau diproduksi massal, apakah dia masuk dengan manajemen peternakan rakyat. Apakah peternakan rakyat bisa memberikan pakan seperti di laboratorium. Kita tahun kan pakan di kita kualitasnya rendah, beda dengan di barat. Kalau di barat rumputnya mengandung leguminosa yang tinggi, kita tidak. Karena curah hujan tinggi sehingga kualitas hijauannya rendah," kata dia.
Selain itu, kata Rochadi, dalam mengembangkan sektor peternakan di dalam negeri, pemerintah harus mengajak serta peternak lokal di dalamnya. Dengan demikian, pengembangan sektor peternakan bisa diterapkan di peternak.
"Jangan sampai dikasih ke rakyat mati semua sapinya. Karena memang sapi yang hitech, memerlukan sentuhan teknologi, pendekatan teknologi. Tidak bisa sapi hasil produk teknologi dipelihara rakyat jelata yang banyak diberikan protein di bawah 10 persen, dia harus 17 persen. Hal-hal seperti ini harus jadi pertimbangan," tandas dia.
Advertisement