Liputan6.com, Denpasar Ketua Yayasan Sekolah Tinggi Informatika dan Komputer (STIMIK) Primakara Denpasar, I Made Artana memaparkan data mengejutkan. Menurutnya, saat ini Indonesia tengah darurat tenaga profesional di bidang programmer. Saat ini, ia menjelaskan, semua pihak baik swasta maupun pemerintah tengah berkonsentrasi terhadap pembentukan star-up.
“Bagaimana agar star-up atau usaha rintisan ini bisa hidup, gitu ya. Tapi ada satu kesenjangan, kita kekurangan programmer dalam jumlah yang banyak. Kita ini darurat, kekurangan programmer. Jadi, kita dalam kondisi darurat,” kata Artana di sela seminar bertema ‘Code Your Future’, Jumat (2/3/2018).
Advertisement
Menurutnya, ada tiga bidang penting dalam membangun usaha rintisan digital yakni programmer, hustler dan hipster. Kalau programmer-nya kurang meski dua lainnya banyak, tentu usaha rintisan digital itu tidak akan bisa berjalan.
"Sama kayak restoran, ada tukang masak, tukang saji dan marketing. Kalau tukang saji dan marketing-nya siap, tapi tukang masaknya tidak ada, tidak bisa jalan. Pak Menteri Kominfo merancang acara ini untuk memotivasi anak-anak muda untuk belajar programming," papar dia.
Di Bali, ia melanjutkan, ada banyak perusahaan rintisan yang membutuhkan programmer. Saat ini, jumlah startup di Bali berjumlah ratusan. Artinya, dibutuhkan ratusan pula pekerja di bidang programmer setiap tahunnya.
"Kalau di Indonesia tentu jumlahnya mencapai puluhan ribu,” papar dia.
"Di Jakarta kita ambil contoh, orang-orang IT itu sudah dipenuhi oleh orang India. India memiliki sangat banyak programmer. Kita di Indonesia meluluskan puluhan sampai ratusan ribu mahasiswa IT. Tapi, yang memilih menjadi programmer itu tidak banyak. Padahal kampus-kampus IT itu sebenarnya melahirkan programmer," tambah Artana.
Kejar Target Programmer
Untuk mencetak programmer memang membutuhkan waktu. Tak secepat kilat Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dari India soal tenaga kerja di bidang programmer. STIMIK Primakara berupaya mengejar ketertinggalan tersebut dengan mencetak programmer dalam jumlah banyak dengan kualitas seperti yang diinginkan.
"Dari beberapa tahun lalu kita upayakan itu. Penguatan di dosen, sertifikasi dan kampanye ke mahasiswa. Kenapa kampanye ke mahasiswa, karena opini yang terbentuk di masyarakat itu programming itu sulit," katanya.
Artana tak menampik jika ilmu programming itu memang lumayan rumit. Namun, ia mencontohkan belajar programming ibarat permainan Lego.
"Betul sulit, tapi sangat gampang dipelajari. Sama halnya seperti main Lego. Bentuk yang kompleks itu terdiri dari hal-hal sederhana yang disambung-sambung. Sepanjang mereka bisa buat yang kecil-kecil lalu bisa menyambungkannya, jadilah sesuatu yang kompleks itu. Tembok yang besar itu terdiri dari batu bata yang kecil. Kita harus menyusunnya satu-per satu untuk menghasilkan tembok," tutur Artana.
Advertisement