Liputan6.com, Dhaka - Pada Kamis, 1 Maret 2018, sekitar 100-200 tentara Myanmar hadir di dekat kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh yang berlokasi di tepi perbatasan Myanmar -- sebuah eskalasi atas insiden yang ternyata telah terjadi sejak beberapa hari terakhir.
Kamp yang menampung sekitar 5.000 pengungsi Rohingya itu terletak di sebuah lahan sempit di Tombru, Distrik Khagrachhari, Bangladesh tenggara -- hanya berjarak beberapa langkah dari luar pagar pembatas perbatasan Myanmar dengan Bangladesh. Demikian seperti dikutip dari BBC (2/3/2018).
Baca Juga
Advertisement
Secara spasial, lahan itu terletak di dalam wilayah kedaulatan Myanmar.
Akan tetapi, wilayah itu secara formal berstatus no man's land, sehingga baik Myanmar dan Bangladesh secara teknis saling berbagi lahan tersebut.
Ratusan Tentara Myanmar
Kehadiran tentara Myanmar di dekat lahan tersebut sejatinya hal yang lumrah, mengingat peran mereka sebagai pasukan penjaga perbatasan.
Akan tetapi, sejak beberapa hari terakhir, telah terjadi peningkatan jumlah tentara Myanmar, hingga puncaknya mencapai sekitar 100-200 personel pada Kamis, 1 Maret -- sebuah kuantitas yang tak wajar.
Ratusan tentara itu juga dilaporkan membawa persenjataan berat, seperti senapan mesin dan mortar. Demikian kata beberapa pasukan penjaga perbatasan Bangladesh.
Para tentara Myanmar juga dilaporkan membawa tangga dan alat pengeras suara untuk mengintimidasi dan mengusir pengungsi Rohingya dari lahan tersebut. Begitu kata beberapa pengungsi Rohingya yang tinggal di lokasi tersebut.
Dil Mohammaed, orang Rohingya mengatakan bahwa beberapa tentara Myanmar menggunakan alat pengeras suara untuk meneriakkan kalimat bernada mengusir.
Sementara itu, orang Rohingya lain mengatakan, "Para tentara itu membawa sekitar 14 tangga dan mengintimidasi, seakan-akan mencoba memanjat pagar pembatas, menghampiri kemah, dan memburu kami," tutur Mohammar Arif kepada Agence France-Presse.
Tanggapan Bangladesh
Di lapangan, komandan pasukan penjaga perbatasan Bangladesh telah meminta untuk mengadakan pertemuan langsung di lokasi dengan otoritas perbatasan Myanmar. Namun, pihak Myanmar selalu berkelit.
Di tataran pemerintahan, Kementerian Luar Negeri Bangladesh telah memanggil Duta Besar Myanmar untuk Bangladesh.
Pihak Kemlu Bangladesh mengatakan kepada Dubes Myanmar bahwa "penumpukan personel militer di lokasi akan menimbulkan kebingungan bagi Bangladesh dan meningkatkan eskalasi tensi di perbatasan".
Mereka juga meminta otoritas Myanmar untuk "menarik penumpukan angkatan bersenjata dan 'aset militer' dari wilayah perbatasan (yang dimaksud)".
Pada tempat terpisah, pejabat Otoritas Perbatasan Bangladesh Brigjen Mujibur Rahman mengatakan bahwa aktivitas pasukan perbatasan Myanmar di lokasi yang dimaksud merupakan sebuah pelanggaran peraturan internasional.
"Kita sudah mengirim nota protes, lisan dan tulisan ... (setelahnya) mereka telah membawa pergi persenjataan berat, seperti senapan mesin dan mortar dari area yang dimaksud," jelasnya.
Advertisement
Proses Repatriasi yang Terhambat
Laporan peristiwa itu terjadi di tengah proses repatriasi (pemulangan) pengungsi Rohingya dari Bangladesh ke Myanmar yang sedang mengalami hambatan.
Bangladesh dan Myanmar telah menyepakati proses repatriasi sejak November 2017. Namun, pada 22 Januari 2018, pemulangan harus ditunda.
Pemerintah Bangladesh beralasan, penundaan repatriasi dilakukan karena sulit untuk mendata seluruh pengungsi yang akan dipulangkan -- yang diperkirakan lebih dari setengah juta jiwa.
"Daftar nama pengungsi yang akan direpatriasi masih belum siap. Verifikasi data dan kamp transit untuk proses repatriasi juga belum," kata Abul Kalam, Komisioner Rehabilitasi dan Bantuan Pengungsi Bangladesh, lembaga pemerintah yang menangani etnis Rohingya yang eksodus ke Bangladesh, seperti dikutip dari ABC Australia.
Di sisi lain, Myanmar justru menyalahkan Bangladesh atas keterlambatan itu -- meski berbagai komunitas internasional dan pihak pengungsi Rohingya telah melayangkan tudingan bahwa Myanmar tampak tak melakukan hal yang siginifikan demi melancarkan proses repatriasi.
Lembaga aktivisme dan advokasi HAM Fortify Rights yang berbasis di Amerika Serikat menyatakan bahwa Myanmar belum optimal memberikan perbaikan terhadap kampung-kampung Rohingya yang rusak akibat rangkaian kekerasan dan konflik yang terjadi di Rakhine pada Agustus 2017.
Berbagai organisasi HAM juga menganggap bahwa Myanmar belum bisa memberikan penjaminan dan pemenuhan hak serta keamanan bagi etnis Rohingya -- jika proses repatriasi mulai berjalan nantinya.