Saham Unggulan Lesu, IHSG Merosot Selama Sepekan

Aksi jual investor asing masih terjadi pada periode 23 Februari-2 Maret 2018 sehingga menekan laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

oleh Agustina Melani diperbarui 03 Mar 2018, 09:20 WIB
Pergerakan saham terlihat di sebuah monitor, Jakarta, Jumat (29/12). Angka tersebut naik signifikan apabila dibandingkan tahun 2016 yang hanya mencatat penutupan perdagangan pada level 5.296,711 poin. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung lesu selama sepekan. Pelemahan saham-saham berkapitalisasi besar menekan IHSG.

Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Sabtu (3/3/2018), IHSG melemah 0,57 persen dari posisi 6.619,80 pada 23 Februari 2018 menjadi 6.582,31 pada 2 Maret 2018.

Pelemahan IHSG tersebut didorong saham kapitalisasi besar masuk LQ45 susut 1,05 persen. Sementara itu, saham kapitalisasi kecil naik 0,29 persen.Selama sepekan, investor asing masih lakukan aksi jual. Tercatat aksi jual investor asing mencapai US$ 151 juta atau sekitar Rp 2,07 triliun (asumsi kurs Rp 13.769 per dolar Amerika Serikat) di pasar saham.

Indeks BINDO untuk obligasi pun turun 0,46 persen selama sepekan. Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun melonjak 6,6 persen. Rupiah pun melemah menjadi 13.757 per dolar Amerika Serikat. Investor asing lakukan aksi jual US$ 500 juta atau sekitar Rp 6,88 triliun di pasar obligasi.

Vice President Sales and Marketing Distribution, PT Ashmore Assets Management Indonesia, Lydia Toisuta menuturkan faktor baik internal dan eksternal pengaruhi pasar saham Indonesia.

Pada awal Maret, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi Februari 0,17 persen. Sedangkan inflasi dari tahun ke tahun tercatat 3,2 persen pada Februari.Angka itu menunjukkan inflasi rendah sejak Desember 2016. Inflasi akibat harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi. Harga minyak tersebut naik karena tren penguatan harga minyak internasional.

Bank Indonesia (BI) pun diperkirakan mempertahankan suku bunga acuan dalam waktu dekat. Akan tetapi, menurut Lydia, kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve lebih agresif dan efek dasar tidak menguntungkan sebabkan inflasi utama lebih tinggi pada akhir 2018. Hal ini juga membuat perdebatan kemungkinan kenaikan suku bunga BI pada semester II 2018.

Lydia menambahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mencalonkan Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo untuk menggantikan Gubernur BI Agus Martowardojo untuk masa jabatan 2018-2023. DPR pun dijadwalkan untuk melakukan pengujian calon Gubernur BI pada April 2018. Sebelumnya ada empat kandidat sebagai Gubernur BI yaitu Chatib Basri, Bambang Brodjonegoro, Agus Martowardojo dan Perry Warjiyo.

Dari faktor eksternal pengaruhi IHSG, Lydia menuturkan, pidato Gubernur Bank sentral AS Jerome Powell di Kongres menjadi perhatian pasar. Powell membagikan pandangannya soal prospek ekonomi AS cenderung menguat sejak Desember.

"Ini sebabkan investor prediksi ada sedikit peluang kenaikan suku bunga sebanyak empat kali pada 2018," tulis Lydia.

Dalam pidato, Powell menegaskan akan menaikkan suku bunga secara bertahap untuk menyeimbangkan ekonomi yang menguat. Selain itu memastikan ekonomi tidak overheating atau alami pertumbuhan sangat cepat. Sebelumnya data ekonomi AS menunjukkan penguatan dengan tingkat pengangguran 4,1 persen, dan terendah sejak 2000. Inflasi masih di bawah target dua persen.

"Investor pun mengambil tindakan dari pernyataan Powell karena memperdebatkan seberapa cepat menaikkan suku bunga dengan ekonomi yang baik. Kemudian menerima stimulus baru dari pemangkasan pajak dan kenaikan pengeluaran," tulis Lydia.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi AS kuartal IV direvisi turun menjadi 2,5 persen. Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh 2,5 persen secara tahunan dari 2,6 persen. Meski ada revisi ke bawah namun ekonomi AS diprediksi kokoh. Ini didorong belanja rumah tangga dan bisnis tetap baik.Sedangkan dari India, tercatat produk domestik bruto (PDB) mencapai 7,2 persen pada Oktober-Desember. Pemerintah India perkirakan PDB tumbuh 6,6 persen hingga Maret 2018.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 


Imbal Hasil Obligasi RI Masih Lebih Menarik Ketimbang AS

lustrasi Investasi Penanaman Uang atau Modal (iStockphoto)

Apa yang dicermati ke depan?

Salah satu yang disorot pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Selama Februari 2018, rupiah melemah sebesar 2,8 persen karena sentimen global. Ini didorong imbal hasil surat berharga AS sehingga realisasikan keuntungan di negara berkembang.

"Kami melihat rupiah hampir sentuh 13.900 per dolar AS dan BI menyatakan pihaknya sudah intervensi untuk jaga rupiah karena rupiah tidak lagi mencerminkan nilai wajar fundamentalnya," ujar dia.

Pihaknya juga mengharapkan BI tetap melakukan intervensi lantaran kepemilikan investor asing cukup tinggi di sejumlah aset terutama obligasi pemerintah. Dikhawatirkan dapat menciptakan ketidakstabilan dalam jangka pendek bila tak ada intervensi.

Ia menambahkan, dari cadangan devisa Indonesia juga tinggi sehingga mampu atasi pelemahan rupiah. Namun BI belum mengungkapkan sejumlah untuk menstabilkan rupiah. Apalagi ditargetkan rupiah bergerak di kisaran 13.500 per dolar AS pada 2018.

Meski rupiah melemah, Lydia melihat selera investor untuk berinvestasi di aset berisiko dan suku bunga acuan belum mereda. Meski IHSG cenderung mendatar pada Februari namun masih salah satu unggul di brusa saham Asia Pasifik.

Lalu apakah bursa saham Indonesia dapat bertahan di tengah aksi jual? Lydia memperkirakan bursa saham lebih tangguh lantaran rendahnya kepemilikan investor asing di pasar saham.

"Pada Februari 2018 kami melihat aksi jual investor asing dari pasar saham terutama di saham unggulan. Yang menarik, sejumlah perusahaan properti cetak kenaikan rekor baru harga saham lantaran pre sales baik," ujar Lydia.

Lalu apa yang harus dilakukan dengan obligasi Indonesia?

Di antara sejumlah aset, obligasi mendapatkan pengaruh paling besar dari pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Ini lantaran imbal hasil obligasi naik menjadi 6,6 persen dari 6,2 persen pada akhir Januari 2018. Akan tetapi, inflasi terkendali membuat obligasi Indonesia masih lebih menarik dari negara lain.

"Inflasi inti Februari 2018 sekitar 2,58 persen dari tahun ke tahun. Ini mengakibatkan imbal hasil riil mencapai 3,4 persen jauh di atas rata-rata sejarah 2 persen. 16 dari 21 pasar obligasi yang muncul memberikan imbal hasil riil lebih tinggi dibandingkan AS. Indonesia berada di posisi lima usai Brazil, Rusia, Afrika Selatan dan Peru," kata Lydia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya