Liputan6.com, Jakarta - Sepanjang Februari 2018, rakyat Indonesia diresahkan dengan isu penyerangan terhadap ulama. Isu tersebut berseliweran di media sosial dan sejumlah pemberitaan media.
Namun, tak semua isu tersebut benar adanya. Satgas Nusantara Polri telah menemukan sejumlah fakta terkait isu penyerangan ulama oleh orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang viral di media sosial. Hasilnya, dari 45 kasus yang diviralkan kelompok Muslim Cyber Army, hanya tiga peristiwa yang benar-benar terjadi.
Advertisement
Satgas yang dipimpin Irjen Gatot Eddy Pramono ini langsung terjun ke lapangan di wilayah hukum Polda Jatim, Polda Jateng, Polda DIY, Polda Jabar, Polda Banten, dan Polda Kaltim. Dari hasil penyelidikan, pengumpulan barang bukti, serta keterangan saksi dan ahli, polisi kemudian mengklasifikasi 45 isu penyerangan ulama itu menjadi empat kelompok.
"Pertama, yakni peristiwa yang betul-betul terjadi. Laporannya ada, korbannya ada, dan pelaku ada," ujar Gatot.
Klasifikasi kedua, yakni peristiwa yang direkayasa dan diviralkan seolah-olah benar terjadi. Ketiga, yakni peristiwa tindak pidana umum dengan korban orang biasa, tapi diviralkan seolah-olah penyerangan ulama tersebut dilakukan orang gila terhadap ulama atau tokoh agama.
"Dan keempat, yakni peristiwa yang tidak terjadi sama sekali, tapi diviralkan seolah terjadi penyerangan ulama," beber dia.
Dari 45 isu tersebut, lanjut Gatot, hanya tiga peristiwa yang benar-benar terjadi, antara lain penyerangan terhadap KH Umar Basri di Cicalengka, Jawa Barat, kemudian Ustaz Prawoto yang meninggal dunia, dan KH Abdul Hakam Mubarak di Lamongan, Jatim. Ketiganya diserang orang gila.
Empat peristiwa lainnya merupakan hasil rekayasa, seperti yang terjadi di Garut, dan Ciamis, Jawa Barat, kemudian di Kediri, Jawa Timur, dan di Kalimatan Timur. Kemudian enam isu lainnya, yakni peristiwa pidana umum yang dikaitkan seolah dialami ulama dan dilakukan oleh orang gila.
Sebanyak 42 lainnya merupakan berita hoax. Sebab, peristiwa yang diisukan tidak benar-benar terjadi. "Kalau kita lihat dari 45 ini, tiga peristiwa yang betul-betul terjadi. Sebanyak 42 sisanya hoax," ucap Gatot.
Hasil penyelidikan Satgas Nusantara Polri juga menemukan bahwa isu yang didesain kelompok Muslim Cyber Army memiliki misi tertentu. Ada bau politis di balik hoax penyerangan ulama demi kepentingan Pilpres 2019.
"Dari semua yang disampaikan itu, kami ingin katakan bahwa apa yang dilakukan kelompok ini adalah motifnya politik," kata Gatot.
Kelompok tersebut, Gatot menambahkan, berharap dapat mendegradasi pemerintah dengan isu yang disebar. Dengan isu tersebut, masyarakat akan dibuat resah, khususnya ulama dan pemuka agama.
"Akibatnya timbul ketakutan dan memicu perpecahan bangsa. Dapat memicu konflik ketika tidak bisa diatasi, muncul bahwa pemerintah tidak mampu. Hoax ini betul-betul berbahaya," ujar Gatot.
Sejak akhir Februari 2018, Polri telah menangkap sejumlah tersangka kasus penyebaran hoax dan ujaran kebencian melalui media sosial. Para tersangka yang ditangkap diketahui tergabung dalam kelompok yang sama, yakni MCA.
Ada enam orang yang kini telah berstatus tersangka. Enam tersangka, yakni M Luth (40) ditangkap di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Riski Surya Darma (35) ditangkap di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, dan Ramdani Saputra (39) ditangkap di Jimbaran, Bali.
Kemudian Yuspiadin (25) ditangkap di Sumedang, Jawa Barat. Ronny Sutrisno (40) ditangkap di Palu, Sulawesi Tengah. Dan Tara Arsih Wijaya (40) yang merupakan dosen di salah satu universitas di Yogyakarta ditangkap di Jawa Barat.
Yang terbaru, Bobby Gustiono alias BG (35) ditangkap di Serdang Begadai, Sumatera Utara pada Minggu 4 Maret 2018. BG merupakan salah satu orang penting di MCA. Selain sebagai admin, dia juga bertugas meretas akun-akun lawan.
Polri memastikan terus mengusut kasus penyebaran hoax dan ujaran kebencian melalui media sosial hingga ke akar-akarnya.
"Siapa di balik ini semua, kami akan terus bekerja agar hoax fitnah yang dapat mengganggu keamanan nasional bisa kami hilangkan," kata Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Fadil Imran.
MCA dan Saracen Saling Terkait
Serupa tapi tak sama. Itulah gambaran dua kelompok penyebar hoax serta ujaran kebencian yang diungkap polisi, Saracen dan Muslim Cyber Army atau MCA.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Mohammad Iqbal mengatakan, ada kemiripan antara MCA dengan kelompok Saracen yang diungkap Polri beberapa waktu lalu.
"Ada beberapa karakteristik yang agak mirip, agak mirip ya, tetapi ini berbeda," ujar Iqbal di Mabes Polri, Jakarta Selatan.
Kemiripan tersebut terlihat dari konten yang disebarkan, yakni bernuansa provokasi.
"Upaya-upaya provokasi itu seperti menyampaikan isu-isu negatif tentang PKI, tentang penganiayaan ulama, terus juga dalam tanda petik menghujat pemimpin negara dan beberapa tokoh-tokoh tertentu," ucap Iqbal.
Hal yang sama juga disampaikan Kasubdit I Dittipid Siber Bareskrim Polri Kombes Irwan Anwar. Hanya saja, kelompok Saracen lebih terstruktur ketimbang MCA.
"Kalau di Saracen kan terstruktur organisasinya. Kalau ini tidak ada struktur organisasinya, tapi mereka jelas berkelompok," ucap Irwan.
Polisi pun menemukan garis merah keterkaitan pihak-pihak yang menyebarkan ujaran kebencian dan hoax tentang penyerangan ulama dan kebangkitan PKI di media sosial.
Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Fadil Imran mengatakan, ada peran kelompok Muslim Cyber Army dan bekas Saracen di balik maraknya isu tersebut. Saracen diketahui sebagai kelompok penyebar hoax dan hate speech yang sebagian besar pentolannya telah ditangkap tahun lalu.
"Dari cluster Jatim, Jabar, dan Banten, terlihat bahwa di udara atau dunia maya pelakunya saling terhubung. Pelaku-pelaku yang tergabung dalam MCA itu juga tergabung dalam cluster X, ini adalah mantan Saracen," ujar Fadil di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (5/3/2018).
Kelompok ini disinyalisasi begitu masif menyebarkan hoax atau berita bohong tentang penyerangan ulama, tokoh agama, dan kebangkitan PKI. Mereka diduga sengaja menimbulkan ketakutan dan mendegradasi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Advertisement
Hoax Penyerangan Ulama Menurun
Dampak penangkapan jaringan penyebar hoax Muslim Cyber Army atau MCA mulai tampak. Tren penyebaran kabar bohong seputar isu penyerangan ulama menjadi salah satu indikator yang mencerminkan hal tersebut.
Berdasarkan penelusuran digital forensik Polri, isu tersebut mulai digulirkan pada awal Februari 2018. Setiap hari grafiknya terus meningkat hingga mencapai puncak pada 27 Februari 2018.
"Isu penyerangan ulama terus digulirkan, diviralkan sampai 27 Februari. Setelah itu grafiknya menurun," ujar Direktur Tipid Siber Bareskrim Polri Brigjen Fadil Imran.
"Ini menunjukkan bahwa pembentukan opini dan isu penyerangan ulama dilakukan kelompok tertentu di dunia maya," Fadil menambahkan.
Lantas, apa yang menyebabkan seseorang mau ikut dalam kelompok penyebar kebencian dan berita hoax tersebut?
Kabag Psikolog Baharkam Mabes Polri AKBP Dilia Tri Rahayu Setyaningrum menjelaskan dengan kecenderungan angka pengangguran di Indonesia yang cukup tinggi, tergabungnya banyak individu ke dalam kelompok ini akan makin besar.
"Karena bagaimana pun dasar mereka melakukan itu karena mereka mendapat suatu keuntungan dari keadaan yang tidak stabil," kata Dilia.
Indonesia dinilai sebagai pasar yang pas. "Mengingat jumlah penduduknya yang besar," ia menambahkan.
Polisi wanita (polwan) yang kini menjabat sebagai Kabag Psikolog Polda Jambi ini melanjutkan, jika ditarik ke belakang, melihat dari bahasanya saja, Muslim Cyber Army (MCA), sudah ada kata "Army" di dalamnya.
"Itu menandakan kelompok tersebut melabel dirinya sebagai semacam kekuatan angkatan untuk tujuan agar terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Kemudian berakibat pada ketidakseimbangan pada suatu hal," Dilia menandaskan.