Liputan6.com,Singapura - Sebuah survei global yang dilakukan oleh National Geographic Society pada 2017 lalu, menempatkan Singapura di posisi tiga besar negara-negara paling bahagia di dunia, bersama dengan Denmark dan Kosta Rika.
Dilansir dari South China Morning Post pada Selasa (6/3/2018), ada tiga kriteria penilaian utama yang menempatkan Singapura di posisi terkait, yakni tingkat pendapatan yang tinggi, stabilnya kondisi politik, dan terjaminnya keamanan publik.
Saat ini, Singapura memiliki sekitar 142.000 orang jutawan dan 28 orang miliarder dari sekitar total populasi sebanyak 5,5 juta jiwa. Hal tersebut, termasuk oleh survei tekait, menjadi dasar penilaian yang menyebut Singapura sebagai salah satu negara dengan penduduk paling bahagia di dunia.
Baca Juga
Advertisement
Namun, oleh beberapa pihak, survei tersebut tidak benar-benar menggambarkan kondisi masyarakat Singapura yang sebenarnya.
Alvin Chong, seorang wirausahawan sekaligus anggota pengurus utama Komunitas Kreatif Singapura, mengatakan bahwa hasil sruvei terkait cenderung bersifat satu metrik. Hal tersebut berarti tingkat kebahagian mayoritas diukur dari standar yang diakui oleh banyak lembaga ekonomi konvensional, seperti contoh oleh Bank Dunia dan Lembaga Moneter Internasional (IMF).
Padahal, menurutnya, kebahagian masyarakat Singapura banyak dilihat dari pengakuan status terhadap potensi diri, bukan semata dari stabilnya kondisi politik dan tingkat pendapatan yang tinggi.
"Presiden Halimah Yacob adalah contoh nyata kondisi masyarakat Singapura saat ini, Ia berhasil duduk di kursi Presiden melalui perjuangan panjang, merangkak dengan pasti dari bawah," ujar Chong memberi contoh.
Sementara itu, salah satu buku yang membahas tentang isu kebahagian hidup masyarakat global, The Blue Zones of Happiness karya Dan Buetnner, pernah menyinggung pendapat serupa. Ditulisnya, bahwa Singapura memiliki masalah yang sama kompleks dengan kota-kota metropolitan di sekitarnya, seperti Bangkok dan Kuala Lumpur misalnya.
"Singapura memiliki sistem tatanan hukum dan sosial yang lebih terstruktur, di mana keteraturan yang disebabkannya mampu memicu masyarakat setempat mengembangkan potensi diri secara lebih maksimal," tulis Dan Buetnner di buku terkait.
Simak video tentang kesederhaan Presiden Singapura, Halima Yacob, berikut:
Singapura Dianggap Membosankan
Sementara itu, sebuah survei terpisah, yang sama-sama membahas isu serupa, justru menyebut Singapura sebagai negara yang membosankan.
Dalam Indeks City Life 2018 yang dirilis majalah Time Out pekan lalu, Singapura berada di posisi 31 dari 32 kota, satu ranking di atas Istanbul, berdasarkan survei atas 15.000 responden.
Kota Chicago di Amerika Serikat, berada di posisi puncak, diikuti dengan kota Porto di Portugal dan New York. Kota-kota ini menuai penilaian tinggi untuk beberapa faktor, antara lain makanan, minuman, kebudayaan, keramahan, biaya hidup, kebahagiaan dan kenyamanan.
Singapura, di satu sisi, dipuji perihal keamanan dan transportasi publiknya, tapi mendapat penilaian terendah ditujukan untuk kegiatan seni dan budaya.
Hanya 17 persen responden yang mengatakan "Selalu ada hal baru untuk dilihat dan dilakukan."
Sebagai balasan, Badan Pariwisata Singapura mengunggah video berdurasi 56 detik di Facebook, yang dibuka dengan pernyataan humoris, "Singapura memang membosankan... tidak ada hal-hal seru untuk dilakukan di sini."
Advertisement