Liputan6.com, Jakarta PT PLN (Persero) memperkirakan akan menanggung kerugian sebesar Rp 21 triliun atas keputusan pemerintah tidak menaikkan tarif listrik sampai 2019. Kerugian itu pun dihitung dengan mempertimbangkan jika tidak ada aturan harga batu bara khusus untuk kelistrikan.
Direktur Utama PLN, Sofyan Basir mengatakan, keuangan PLN tergerus Rp 16 triliun pada tahun lalu akibat tarif listrik tidak naik. Sementara biaya pokok produksi listrik mengalami kenaikan seiring meroketnya harga batu bara dan minyak.
Baca Juga
Advertisement
Sedangkan jika sampai 2019 tarif listrik tidak naik dan tidak ada kebijakan harga batu bara khusus kelistrikan, maka kerugian PLN akan bertambah sebesar Rp 21 triliun.
"Sekitar Rp 21 triiun (kerugian PLN atas tidak adanya kenaikan tarif listrik sampai 2019). Tahun lalu Rp 16 triliun sekian," kata Sofyan, di Jakarta, Selasa (6/3/2018).
Menurut Sofyan, PLN sudah melaporkan kondisi tersebut ke pemerintah, yakni Kementerian Keuangan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Agar kerugian tersebut bisa terhindari dan tarif listrik tidak naik sampai akhir 2019, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan harga batu bara khusus untuk kelistrikan.
"Bagaimana tarif untuk masyarakat tidak naik, harapannya itu. Tarif industri tidak naik, karena itu daya beli melemah, karena kalau industri berhenti pengangguran terjadi," tegas mantan Direktur Utama PT BRI Tbk itu.
Sofyan melanjutkan, dengan menghindari kerugian, PLN bisa tetap membangun infrastruktur. Melalui penetapan harga khusus batu bara untuk sektor kelistrikan juga diharapkan dapat meredam biaya pokok produksi listrik atas kenaikan harga batu bara.
"Itu semua dihindari, ongkosnya berapa pemerintah bijak. Lebih baik ambil keuntungan sedikit dari pengusaha dibagikan untuk rakyat. Dari situ pemerintah ambil kesimpulan sebaiknya harganya sekian supaya PLN bisa tetap membangun ke depan," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Serikat Pekerja PLN Khawatir Tarif Listrik Naik, Kenapa?
Serikat Pekerja (SP) PT PLN (Persero) menolak rencana dimasukkannya komponen harga batu bara ke dalam formula pembentukan tarif listrik. Hal itu dinilai akan memicu kenaikan tarif.
Ketua Umum SP PLN Jumadis Abda mengatakan, SP PLN menolak gagasan perusahaan yang meminta pemerintah, agar memasukkan komponen harga batu bara dalam skema penghitungan tarif listrik.
Sebab, jika Harga Batubara Acuan (HBA) dimasukkan di dalam penghitungan tarif, potensi terjadinya kenaikan tarif listrik akan terjadi dalam waktu dekat.
"Kenaikan tarif listrik akibat biaya pokok produksi (BPP) yang ikut terkerek karena batu bara yang lebih mahal, tentu hanya akan menambah beban masyarakat karena harus membayar listrik lebih besar," kata Jumadis, di Jakarta, pada 7 Februari 2018.
Dia pun meminta pemerintah khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk tidak mengakomodasi usulan dari PLN tersebut. Sebab, nantinya pemasukan komponen harga batu bara dalam penghitungan tarif hanya akan menaikkan biaya pokok produksi (BPP) listrik.
Dengan demikian, tarif listrik dipastikan akan naik. Hal ini tidak sejalan dengan keinginan pemerintah membuat tarif listrik terjangkau masyarakat. "Oleh karena itu, kita menolak HBA dimasukkan dalam skema itu (penentuan tarif adjustment)," tutur Jumadis.
Dia juga mendesak agar pemerintah membantu PLN untuk mendapatkan batu bara dengan lebih murah, dengan cara menurunkan atau mengendalikan harga batu bara yang saat ini terus naik. Lantaran, sekitar 60 persen pembangkit listrik di Indonesia saat ini menggunakan batu bara, sehingga dapat menurunkan BBP jika harga batu bara turun.
"PLN jangan ikuti mekanisme pasar, karena batu bara milik Indonesia sendiri, kalau itu untuk ekspor silakan saja," ujar dia.
Sebagai informasi, kebutuhan batu bara untuk pembangkit yang dioperasikan oleh PLN maupun IPP dalam setahun sekitar 70 juta ton. Jumlah itu terdiri dari 50 juta ton untuk pembangkit listrik milik PLN dan 20 juta ton dari pembangkit listrik swasta (Independen Power Producer/ IPP). Sementara HBA untuk Januari 2018 kemarin ditetapkan sebesar US$ 95,54 per ton.
Advertisement