Liputan6.com, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) angkat bicara mengenai Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta yang melarang mahasiswi bercadar. Mahasiswi yang bercadar tersebut didata dan dibina untuk memastikan tidak ada yang terkena paham radikal.
Ketua Umum MUI Ma'aruf Amin mengatakan, dia belum bisa berkomentar banyak karena perlu mendengar penjelasan dari UIN Yogyakarta terlebih dahulu mengenai alasan pelarangan cadar.
Advertisement
"Kita mendengar dulu alasannya, alasan apa. Kalau alasannya ada sesuatu yang masuk akal, kemaslahatan apa, maka tidak boleh pakai cadar, misalnya," ucap Ma'aruf di kantornya, Jakarta, Selasa (6/3/2018).
Dia menuturkan, secara agama Islam, penggunaaan cadar tidak dilarang. Karena itu, dia perlu mendengar alasan terlebih dulu dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, baru bisa bersikap.
"Bahwa bercadar itu bagus menurut Islam, menutupi wajahnya. Tapi ada gangguan apa. Itu yang harus kita tahu," kata Ma'aruf.
Sementara itu, Sekjen MUI Anwar Abbas mengatakan, penggunaan cadar harus dihormati. Sehingga, tidak perlu ada pelarangan dari kampus.
"Mengimbau supaya masyarakat bisa menerima perbedaan pendapat tentang masalah cadar. Oleh karena itu jangan dilarang-dilarang orang pakai cadar. Jadi kampus tidak perlu mengatur larangan pakai cadar. Kampus harus hormatilah perbedaan pendapat," ujar Anwar.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Alasan UIN Yogyakarta
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta merilis sejumlah alasan melarang mahasiswi bercadar. Pernyataan itu dikeluarkan rektorat menyusul pro-kontra yang muncul di masyarakat akibat kebijakan itu.
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yudian Wahyudi menandatangani Surat Edaran Nomor B-1301/Un.02/R/AK.00.3/02/2018 perihal Pembinaan Mahasiswa Bercadar. Surat edaran itu ditujukan kepada dekan fakultas, direktur pascasarjana, dan kepala unit atau lembaga pada 20 Februari 2018. Mereka diminta untuk mendata dan membina mahasiswi bercadar dan data diberikan kepada Wakil Rektor III paling lambat 28 Februari 2018.
"Surat edaran dibuat untuk menertibkan kampus mengingat Kementerian Agama ingin kampus menyebarkan Islam moderat, yakni Islam yang mengakui dan mendukung Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI," ujar Yudian dalam jumpa pers di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Senin 5 Maret 2018.
Sebagai perguruan tinggi negeri, UIN Sunan Kalijaga meyakini legitimasi tertinggi setelah Rasulullah adalah konsensus atau perjanjian yang sangat kokoh merangkul berbagai kepentingan. Ia mengingatkan warga kampus jangan sampai terseret ke aliran-aliran radikal karena tidak sesuai dengan legitimasi tersebut.
Yudian mengajak untuk kembali ke inti Alquran, yakni keadilan.
"Kami menggunakan kata keadilan sebagai pondasi peradaban dan Islam di sini adalah Islam yang adil," ucapnya.
Melarang mahasiswi bercadar yang identik dengan gerakan radikal juga bertujuan untuk menyelamatkan kepentingan umum ketimbang kepentingan khusus.
Yudian mengakui beberapa waktu lalu UIN Sunan Kalijaga sempat digegerkan dengan bendera HTI yang berkibar di wilayah kampus.
"Kalau kami mengikuti HTI berarti kami setuju dengan khilafah yang artinya membubarkan NKRI, saat itu kami merasa dikudeta oleh HTI," tuturnya.
Citra sarang HTI yang disematkan kepada UIN Sunan Kalijaga dianggap merugikan. Ia juga sudah mengeluarkan pernyataan beberapa waktu lalu dan menelusuri keterlibatan dosen di HTI.
"Tidak ada dosen yang terlibat. Saya bilang kalau mau HTI, silakan keluar dari UIN," kata Yudian.
Dia mengungkapkan, pernyataan ini tidak berkaitan dengan akidah yang diyakini oleh mereka. Tidak ada yang salah dengan meyakini akidah masuk surga. Hanya saja, ia tidak ingin kelompok itu mengajak orang yang ada di dunia ini untuk merasakan neraka di dunia.
"Yang mereka lakukan sekarang itu tersesat di ideologi politik dan pendidikan," ucapnya.
Yudian menilai, banyak anak tertipu dengan gerakan ini. Mereka kerap tidak mengerti dan beranggapan yang disampaikan ajaran-ajaran itu. Padahal, itu berkaitan dengan tradisi budaya.
"Ada dai bilang derajatnya naik ketika pakai kerudung," ujarnya. Ia menjelaskan, kembali ke konteks masyarakat Arab kala itu, kerudung hanya dikenakan oleh kaum aristokrat. Sementara perempuan yang dianggap rendah, seperti pekerja seks dan perempuan kebanyakan, tidak mengenakan kerudung.
Yudian menuturkan, Muhammad mengajak orang untuk bersyahadat dan dijanjikan status sosial naik seketika. Kerudung dikenakan kepada mereka yang menandai janji itu.
"Yang bisa diterima di Indonesia adalah yang adil, termasuk adil terhadap diri sendiri," ucapnya. Ia mencontohkan, ketika ujian di kampus siapa yang bisa menjamin peserta ujian yang bercadar. Kekhawatiran muncul ketika peserta ujian yang bercadar justru digantikan oleh orang lain.
Kebijakan ini dibuat untuk menyelamatkan RI dan anak-anak didiknya. Pasalnya, kebanyakan kasus mahasiswi bercadar adalah putus kuliah dan pergi dari orangtua.
Advertisement
41 Mahasiswi Dibina
Yudian menyebutkan hasil pendataan terdapat 41 mahasiswi bercadar dari berbagai fakultas, antara lain, delapan orang dari Syariah dan Hukum, delapan orang dari Tarbiyah, delapan orang dari Fishum, dan enam orang dari Komunikasi dan Dakwah.
"Saya meminta mereka diidentifikasi latar belakang dan orangtuanya, misalnya, apakah mereka bercadar saat di UIN Sunan Kalijaga atau sudah sejak SMA," ucapnya.
UIN Sunan Kalijaga juga membentuk tim konseling bagi mereka. Jadwal konseling diberi jeda supaya mereka bisa berpikir. Tim terdiri dari 15 orang dosen beragam latar belakang ilmu. Tujuannya, mengembalikan pemahaman mereka.
Rencananya, konseling diadakan tujuh sampai sembilan kali. Tidak hanya itu, orangtua para mahasiswi juga akan diberitahu sebagai bentuk kroscek perihal keberadaan anaknya.