Liputan6.com, Canberra - Persediaan makanan, air dan obat-obatan akhirnya tiba di lokasi yang terdampak gempa bumi di Papua Nugini, menurut Australia Plus, Selasa (6/3/2018). Saat bantuan tiba, pihak berwenang menemukan jumlah korban tewas -- kemungkinan -- lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya.
Pada 26 Februari 2018, gempa berkekuatan 7,5 SR mengguncang wilayah dataran tinggi Papua Nugini, meluluhlantakkan rumah dan infrastruktur, serta memicu tanah longsor di wilayah pegunungan.
Advertisement
Setelah mereda, gempa susulan menjamah negara ini. Ketakutan menyelimuti penduduk. Pemerintah setempat berharap pertolongan cepat datang, mereka mengandalkan pihak luar negeri dan swasta untuk mengirimkan bantuan ke daerah-daerah yang tekena bencana.
Meski demikian, pemerintah belum bisa memastikan jumlah korban, namun otoritas Papua Nugini melaporkan, lebih dari 100 orang meninggal dunia. Di Desa Timu, dekat pusat gempa, lima rumah terseret tanah longsor, menewaskan 11 warganya.
Para kerabat dan tetangga berusaha mengevakuasi jenazah para korban, namun sebagian besar terkubur terlalu dalam.
"Sisanya masih tertimbun di dalam tanah. Jasad mereka berada di bawah tanah yang longsor dan sulit untuk ditemukan," kata seorang warga lokal.
Perdana Menteri Papua Nugini, Peter O'Neill, mengatakan bahwa Australia telah mengirimkan sejumlah bantuan logistik melalui perusahaan swasta yang beroperasi di wilayah tersebut.
"Selama beberapa hari terakhir, kami bekerja sama dengan Pemerintah Australia, dengan Exxon, dengan Oil Search, dan Ok Tedi guna memastikan bantuan darurat yang diminta masyarakat tersedia," ujar O'Neill.
Pemerintah Dikritik
Perdana Menteri O'Neill mengabaikan kritikan atas lambannya tanggapan pemerintah Papua Nugini. Ia mengatakan, berbagai instansi negara, seperti Angkatan Bersenjata, telah diterjunkan.
"Mereka langsung membawa orang sakit dan yang terluka ke rumah sakit secara sigap. Mereka mendatangi daerah yang sangat terpencil," akunya.
Keterpencilan daerah, tingkat kerusakan jalan dan lapangan terbang menjadi alasan utama lambannya penyaluran bantuan. Namun masalah lain yang juga muncul yaitu berasal dari penduduk di wilayah gempa.
O'Neill menambahkan, sejumlah menara pemancar telepon yang rusak akibat gempa, telah dirusak warga. Selain itu, ada juga kelompok bersenjata yang memblokir jalan dan meminta uang alias memalak untuk setiap kendaraan yang masuk.
"Ini bencana alam, bukan diciptakan oleh seseorang, sehingga jangan menuntut ganti rugi ke manusia. Mentalitas malas seperti ini perlu dihentikan," tegas O'Neill.
Kepala badan tanggap bencana, William Hamlin, mengatakan pemerintah masih mencari informasi terkait bantuan yang masih diperlukan di suatu lokasi.
"Kami mendapatkan laporan situasi dan analisis kebutuhan," kata Hamlin.
"Kami harus menyusun semuanya dan menyampaikannya kepada pendonor dan untuk keperluan kami sendiri, seperti misal jumlah tenda yang dibutuhkan dan lokasi penempatan tenda-tenda itu," jelasnya.
Gempa yang mendera Papua Nugini telah menghancurkan lahan pertanian, di mana ini merupakan sumber makanan bagi ratusan ribu warga. Selain itu, tanah longsor juga mencemari sungai yang menjadi sumber air minum.
Upaya pembaruan jalan, jembatan, sekolah dan klinik kesehatan di wilayah ini diperkirakan memakan waktu bertahun-tahun.
Advertisement