Liputan6.com, Jakarta - Polri menguak jaringan penyebar kabar bohong atau hoax dalam wujud Muslim Cyber Army (MCA). Kelompok ini diduga berada di balik sejumlah isu yang bikin merinding dan mengesankan negara dalam kondisi genting: penyerangan terhadap ulama dan kebangkitan 'hantu' Partai Komunis Indonesia (PKI).
Parahnya lagi, kabar burung seperti itu diembuskan di situasi politik yang sedang gaduh, jelang Pilkada Pilkada 2018 dan menyongsong Pemilihan Presiden 2019.
Itu mengapa Ketua Setara Institute Hendardi menilai, keberadaan MCA berbahaya.
Baca Juga
Advertisement
"Yang utama adalah membelah masyarakat pada pro dan kontra tentang suatu konten informasi dan ini membahayakan bagi kohesi sosial," kata Hendardi ketika dihubungi Liputan6.com, Selasa (6/3/2018).
Ia lantas membandingkan MCA dengan Saracen, jaringan penyebar ujaran kebencian yang tahun lalu digulung Polri. Dari sisi jaringan, MCA punya sebaran yang menjangkau seluruh Indonesia.
Menurut Hendardi, hal itu bisa disimpulkan dari lokasi penangkapan pentolannya yang tersebar di beberapa daerah di seluruh Indonesia. Mereka juga diduga punya motif politis yang kuat.
Hal itu berbeda dengan Saracen yang lebih dominan sisi kepentingan ekonominya, dengan menjual paket ujaran kebencian. Apalagi struktur MCA yang tidak sekaku Saracen, hal itu justru membuat gerakan mereka lebih cair.
Efek merusaknya pun, Hendardi menambahkan, akan lebih besar, sebab MCA bekerja dengan menghasut dan mempengaruhi opini publik.
"Polri perlu membongkar tuntas jejaring pelaku, mediator, pemesan dan penikmat hoax dan ujaran kebencian ini," tambah Hendardi.
Polri telah menangkap tujuh orang yang diduga pentolan MCA. Mereka ditangkap di sejumlah kota berbeda. Salah satunya, seorang perempuan, berprofesi sebagai dosen Bahasa Inggris di salah satu universitas ternama di Yogyakarta.
Polisi masih memburu setidaknya tiga pentolan MCA, salah satunya berada di Korea Selatan. Polri menggandeng Interpol dan kepolisian setempat untuk menangkap pelaku berinisial SP itu.
Polisi juga mencium aroma politik di balik aktivitas Muslim Cyber Army. Pertanyaannya, siapa bermain di balik MCA?
Polisi sejauh ini masih mencari dalang di balik proyek penyebaran hoax dan ujaran kebencian MCA. Keterangan para tersangka yang ditangkap dan bukti-bukti lain dijadikan petunjuk.
Temuan Polri sejauh ini mengindikasikan berkelindannya kekuatan MCA dan Saracen. Meski struktur Saracen ditangkapi, jaringan mereka kini ada yang bergabung dengan MCA.
"Dari klaster Jatim, Jabar, dan Banten, terlihat bahwa di udara atau dunia maya pelakunya saling terhubung. Pelaku-pelaku yang tergabung dalam MCA itu juga tergabung dalam klaster X, ini adalah mantan Saracen," ungkap Direktur Tindak Pidana Cyber Polri, Fadil Imran.
Sementara itu, sejumlah tersangka yang ditangkap polisi mengaku bergerak sendiri. Tak terkait individu maupun kelompok tertentu.
"Tidak ada dana yang mengalir ke kami, baik perorangan ataupun organisasi, atau apapun itu, tidak ada," kata salah satu tersangka kepada Metro TV.
Strata Biasa hingga Elite
Diduga, ada semacam struktur dalam kelompok Muslim Cyber Army. Brigjen Fadil Imran mengungkapkan, yang paling besar adalah MCA United. Karena sifatnya yang terbuka, anggotanya mencapai ratusan ribu orang. Grup ini dikendalikan oleh 20 admin.
MCA United ini sebagai wadah menampung postingan dari member MCA yang berisi akun berita, video, gambar yang ditujukan untuk disebarluaskan.
Selanjutnya ada tim Cyber Moeslim Defeat Hoax yang sangat tertutup dan anggotanya lebih sedikit, hanya sekitar 100 orang. Tugasnya yakni menyeting isu tertentu kemudian menyebarkan ke publik untuk memenangkan opini.
"Isunya seperti menyerang parpol tertentu, kriminalisasi ulama, penyerangan ulama oleh orang gila, larangan azan, kebangkitan PKI, itu ada fase tahapan dan settingannya. Yang buat yang di belakang ini (enam tersangka)," kata Brigjen Fadil Imran.
Jaringan penyebar ujaran kebencian ini juga memiliki tim sniper dengan 177 member. Grup tertutup dan rahasia ini berfungsi untuk mengidentifikasi akun-akun yang dianggap musuh untuk kemudian diretas atau di-take down.
"Mereka menyebarkan virus agar kelompok lawan enggak bisa operasikan gadget-nya. Atau melakukan kontra-narasi yang dilakukan kelompok yang teridentifikasi sebagai lawan," ungkap Fadil.
Terakhir yakni induk jaringan ini, The Family MCA. Kelompok inti dan rahasia ini berisi sembilan admin yang memiliki peran krusial dalam operasional MCA. Enam orang di antaranya telah ditangkap terkait aktivitas menyebarkan hoax dan ujaran kebencian.
"Orang yang lulus, melalui tahapan di grup besar, grup kecil, kemudian grup inti, makanya disebut The Family. Menurut pengakuan tersangka, mereka harus dibaiat untuk masuk ke grup inti," Fadil menandaskan.
Kepala Satgas Nusantara Polri, Irjen Gatot Eddy Pramono, menjelaskan bagaimana MCA berusaha mencapai sasaran politiknya. Kelompok ini, berharap dapat mendegradasi pemerintah dengan isu yang disebar dan opini publik yang dibangun.
Dengan isu yang disebarkan, kata dia, masyarakat dibuat resah, khususnya ulama dan pemuka agama.
"Akibatnya timbul ketakutan dan memicu perpecahan bangsa. Dapat memicu konflik ketika tidak bisa diatasi, muncul (opini) bahwa pemerintah tidak mampu. Hoax ini betul-betul berbahaya," kata jenderal bintang dua itu soal Muslim Cyber Army (MCA)
Kejutan di Balik Penangkapan MCA
Lembaga Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFE Net) rajin memantau aktivitas MCA di dunia maya sejak tahun lalu.
Namun, koordinatornya, Damar Juniarto mengaku terkejut dengan profil pentolan MCA yang ditangkap Polri baru-baru ini. "Ini kelompok yang justru tidak pernah kami lihat," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Selasa malam.
Aktivis cyber ini menduga Polri dan lembaganya mengawasi gerak gerik MCA yang berbeda.
Menurut dia, MCA punya banyak varian. Setidaknya, berdasarkan pantauannya ada delapan kelompok yang menyebut diri dengan embel-embel MCA.
Wujudnya di dunia digital pun berbeda-beda. Tiap kelompok mempunyai simbol sendiri. Fokus kepentingannya pun berbeda, tetapi dalam beberapa isu bisa bekerja bersama-sama.
Damar mengatakan, MCA sejatinya muncul berkaitan dengan seruan jihad digital. Konteksnya adalah perjuangan umat Muslim dunia. Karena itu, Damar menjelaskan, MCA kerap mengangkat isu seperti Palestina dan Suriah.
"Mereka itu tidak campur tangan dalam politik nasional," ia menambahkan.
Hal ini berbeda dengan MCA yang ditangkap Polri. Mereka malah bermain isu politik, dengan menggiring opini melalui kabar bohong.
Sementara, MCA generasi lama punya keahlian melakukan serangan cyber. Damar memprediksi kemampuan kelompok tersebut jauh lebih tinggi dibanding MCA yang sudah ditangkap Polri.
Mereka mampu menyerang website, hingga membajak akun. Namun, MCA generasi lama ini, menurut dia, sudah lama vakum sejak 2014.
Damar mengaku pernah berkomunikasi dengan aktivis MCA generasi lama. "Buat mereka (menyebar hoax) memalukan," ia menirukan pernyataan aktivis itu.
Kini banyak kelompok yang muncul mendompleng nama MCA. Istilah MCA, menurut Damar, berkembang menjadi lebih generik.
Yang jelas, penangkapan jaringan MCA mulai memberi dampak pada jagat media sosial. Kadar konten berita bohong, khususnya di isu-isu tertentu mulai berkurang drastis. Misalnya isu penyerangan ulama.
Kabar itu mulai muncul pada awal Februari 2018. Dari hari ke hari grafiknya terus meningkat, hingga mencapai puncak pada 27 Februari 2018.
"Setelah itu grafiknya menurun," ujar Direktur Tipid Siber Bareskrim Polri Brigjen Fadil Imran. Penurunan bertepatan dengan momentum penangkapan enam pentolan MCA oleh Polri sehari sebelumnya, pada Senin 26 Februari 2018.
"Ini menunjukkan bahwa pembentukan opini dan isu penyerangan ulama dilakukan kelompok tertentu di dunia maya," ucap dia.
Advertisement
Hoax yang Tak Kunjung Padam
Di sisi lain, keberadaan MCA menunjukan jaringan penyebar hoax dan ujaran kebencian seolah tak pernah habis. Kriminolog Universitas Indonesia, Kisnu Widagdo, menduga masih banyak jaringan penyebar berita bohong dan ujaran kebencian bertebaran di jagat maya.
"Artinya orang-orang yang mengapitalisasi hoax dan hate speech bukan hanya Saracen dan MCA, tapi ada kelompok-kelompok lain," ujar Kisnu kepada Liputan6.com.
Pria yang juga pengamat dunia cyber ini menilai ada beberapa faktor yang menyebabkan kelompok semacam ini terus muncul meski ditindak penegak hukum. Ia pun merujuk teori soal tidak munculnya efek jera terhadap suatu pelanggaran hukum.
Pertama, pelaku merasa aman dan tidak akan tertangkap. Mereka, menurut Kisnu, beranggapanbanyak cara yang bisa dilakukan untuk mengelabui polisi.
"Apalagi ini dikaitkan dengan penggunaan teknologi informasi kan mungkin dia bisa aja ganti nomor kartu, alamat email, ganti identitas," jelas Kisnu.
Kedua, hukum yang diberlakukan terkait kasus tersebut dianggap tidak membuat pelaku merasa takut. Karena itu, ancaman jeratan hukum tidak membayangi pelaku penyebar hoax.
Kisnu mengatakan penyebaran hoax tidak mudah dihentikan. Seperti virus di tubuh manusia, ia menyebar dengan cepat, menghasut siapa saja.
Sama halnya menanggulangi virus dalam tubuh, penanganan hoax juga memerlukan daya imunitas. Bedanya, kekebalan ini harus dimiliki masyarakat sebagai penerima informasi.
Kisnu menekankan pentingnya digital literasi. Program ini bertujuan membantu masyarakat dalam membedakan materi berita hoax dan yang bukan. "Kita dorong untuk seperti itu," kata Kisnu.
Salah satu gerakan yang dinilai Kisnu bisa mengedukasi masyarakat memerangi hoax adalah kampanye 'Think before you click'."Jangan jadi bagian dari penyebaran hoax," imbuh Kisnu.
Terakhir, Kisnu berharap pengguna internet di Indonesia aktif melawan hoax. Salah satu caranya adalah dengan mengunduh aplikasi pengecek kebenaran berita.
"Ada aplikasinya masukin konten lalu keluar (benar atau tidaknya)," ujar Kisnu. Dia juga mengajak agar masyarakat memiliki inisiatif untuk memberi tahu apabila ada website yang menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian.
Mencatut Nama Muslim
Efek penangkapan para pentolan MCA, perubahan suhu di media sosial juga dirasakan Presiden Jokowi. Meski demikian, ia menilai penyebaran hoax dan ujaran kebencian masih terjadi.
Karena itu, Mantan Gubernur DKI ini memberikan perintah tegas. "Masih hangat. Saya perintahkan selesaikan tuntas, biar adem," katanya di Sentul, Bogor, Selasa (6/3/2018).
Jokowi berpendapat penyebaran hoax dan informasi terus menerus bisa berakibat pada perpecahan bangsa. Oleh sebab itu, ia mengingatkan agar masyarakat berhati-hati dan tidak termakan isu tersebut.
"Itu bisa menyebabkan disintegrasi bangsa kalau isu seperti itu diteruskan. Hati-hati, entah motifnya motif ekonomi, motif politik, tidak boleh seperti itu," Jokowi menandaskan.
Sementara, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyesalkan penggunaan kata Muslim sebagai nama kelompok MCA atau Muslim Cyber Army. Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid menegaskan, tidak ada satu pun dalam ajaran Islam yang menganjurkan kegiatan seperti yang dilakukan oleh MCA.
"MUI menyesalkan dan menolak keras kelompok MCA yang mencatut nama Muslim dijadikan sebagai nama sindikatnya. Aktivitas dan kegiatan mereka jauh dari nilai Islam. MCA telah merusak dan menodai kesucian ajaran Islam," tulis dia dalam siaran persnya.
Karena itu, MUI mengapresiasi langkah Polri yang cepat meringkus sindikat hoax Muslim Cyber Army (MCA). Menurut Zainut, konten yang disebarkan MCA telah mencederai nama baik negara dengan fitnah dan adu domba.
"Kami apresiasi Kepolisian RI (Polri) telah berhasil meringkus kelompok MCA. Perbuatan tersangka melawan hukum, tidak dibenarkan secara syariah, menimbulkan keresahan, permusuhan dan mafsadat (kerusakan) dalam bernegara," jelas dia.