Ini Alasan Partai Berkarya Terima Pollycarpus Jadi Anggota

Eks napi kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir, Pollycarpus Budihari Prijanto, menjadi anggota Partai Berkarya.

oleh Rita Ayuningtyas diperbarui 07 Mar 2018, 16:29 WIB
Ketua Dewan Pembina Partai Berkarya Tommy Soeharto (tengah) mendapatkan nomor 7 sebagai peserta pemilu 2019 saat pengundian nomor urut parpol di kantor KPU, Jakarta, Minggu (19/2). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Eks napi kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir, Pollycarpus Budihari Prijanto, menjadi anggota Partai Berkarya. Padahal, eks pilot Garuda Indonesia itu pernah dihukum 20 tahun penjara terkait kasus Munir, sebelum mendapat potongan hukuman menjadi 14 tahun pada peninjauan kembali kedua.

Sekretaris Jenderal Partai Berkarya, Badaruddin Andi Picunang, mengatakan partainya tidak takut keberadaan Pollycarpus akan memengaruhi elektabilitasnya.

"Itu kan masa lalu. Kita tidak belakang seseorang. Apalagi negara sudah membebaskannya dan hak politiknya tidak dicabut," ujar Badaruddin kepada Liputan6.com, Jakarta, Rabu (7/3/2018).

Pollycarpus Budihari Prijanto, terpidana kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib, menghirup udara bebas dari Lapas Kelas I Sukamiskin Bandung pada Jumat, 28 November 2014. Saat itu, permohonan bebas bersyaratnya dikabulkan.

Mantan pilot Garuda Indonesia itu kemudian bebas murni pada 29 Agustus 2017. 

 

 


Pembunuhan Munir

Aktivis Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (Kasum) membawa poster saat sidang pembacaan putusan di PTUN Jakarta Timur, Rabu (29/7). Majelis hakim menolak gugatan yang diajukan LBH Jakarta atas pembebasan bersyarat Pollycarpus. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Pada 7 September 2004, Munir meninggal dunia dalam perjalanan di pesawat menuju Belanda. Perjalanan Munir ke Negeri Kincir Angin itu untuk melanjutkan studi S2 di Universitas Utrecht, Belanda. Mantan Direktur Eksekutif LSM Imparsial itu ditemukan tak bernyawa di kursi pesawat, dua jam sebelum pesawat mendarat di Amsterdam.

Munir yang merupakan salah satu Pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) itu awalnya berangkat pada 8 September 2004 malam dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, dengan menumpang pesawat Garuda Indonesia bernomor penerbangan GA 974. Pesawat berangkat pukul 22.02 WIB dan tiba di Bandara Changi, Singapura, pukul 23.30 WIB.

Di Negeri Singa, para penumpang GA 974, termasuk Munir, dipersilakan untuk berjalan-jalan di sekitar Bandara Changi selama 45 menit sambil menunggu pesawat kembali terbang menuju Belanda. Sebelum pesawat kembali mengudara, Munir meminta obat maag kepada pramugari. Munir diminta menunggu karena pesawat akan tinggal landas. Kira-kira 15 menit kemudian, pramugari membangunkan Munir yang saat itu tidur. Munir sempat terbangun dan meminta teh hangat.

Kemudian, sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat di Amsterdam atau pukul 12.10 WIB, Munir ditemukan tidur dalam kondisi miring dengan mulut mengeluarkan air liur tidak berbusa dan telapak tangannya membiru. Munir ternyata sudah tiada alias wafat. Jenazah Munir dimakamkan di Kota Batu, Malang, Jawa Timur, pada 12 September 2004.

Menurut ahli forensik dari Universitas Indonesia yang menangani kasus Munir, Mun'im Idris, Munir positif meninggal karena racun arsenik. Temuan ini senada dengan Institut Forensik Belanda (NFI) yang membuktikan Munir meninggal akibat racun arsenik dengan jumlah dosis yang fatal.

Sesuai dengan hukum nasionalnya, pemerintah Belanda melakukan autopsi atas jenazah almarhum. Temuan ini juga diperkuat hasil penyelidikan Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri yang menyatakan Munir tewas kare‎na diracun.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya