Liputan6.com, Jakarta - Tahun 2018 jadi momentum come back Tommy Soeharto ke dunia politik, lewat Partai Berkarya yang dinyatakan lolos ke Pemilu 2019.
Pria bernama asli Hutomo Mandala Putra itu menempati jabatan pucuk sebagai ketua majelis tinggi partai dan ketua dewan pembina.
Advertisement
Sejumlah nama purnawirawan jenderal juga ada dalam dalam daftar pimpinan, yakni Mayjen TNI (Purn) Muchdi PR sebagai Ketua Dewan Kehormatan, Laksamana TNI (Purn) Tedjo Edhy Purdijatno sebagai Ketua Dewan Pertimbangan, dan Mayjen TNI (Purn) Syamsu Djalal selaku Ketua Dewan Penasihat.
Belakangan juga terkuak, ada nama Pollycarpus Budihari Prijanto dalam daftar anggota Partai Berkarya. Mantan kasus terpidana pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir itu tercatat sebagai kader dari Tangerang.
Saat dikonfirmasi, Sekretaris Jenderal Partai Berkarya, Badaruddin Andi Picunang membenarkan bergabungnya Pollycarpus. Ia mengatakan, partainya tidak takut keberadaan eks pilot Garuda Indonesia akan memengaruhi elektabilitas.
"Itu kan masa lalu. Kita tidak mempersoalkan latar belakang seseorang. Apalagi negara sudah membebaskannya," ujar Badaruddin kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu (7/3/2018) malam.
Bukan hanya Pollycarpus, meski dinyatakan bebas dan tak terbukti secara hukum, nama Muchdi Purwoprandjono atau Muchdi Pr juga sempat dikaitkan dengan kematian Munir tahun 2004 lalu.
"Beliau salah satu pendiri partai dan sekarang beliau dewan kehormatan," kata Badaruddin soal keberadaan nama Muchdi Pr.
Terkait keberadaan nama sejumlah purnawirawan jenderal dalam struktur dewan pimpinan pusat (DPP) Partai Berkarya, Badaruddin menganggap, itu adalah hal wajar.
Dia berkaca pada sejarah, di mana dulu Presiden Soeharto juga menempatkan perwira-perwira militer di tubuh Golkar untuk menangkal pengaruh paham komunis.
"Dulu Pak Harto membuat Golkar itu kan banyak dari TNI, Angkatan Darat khususnya, dalam rangka menghalau paham komunis. Itu kan jalan Pak Harto 32 tahun, beliau berkuasa lewat Partai Golkar. Beliau berhasil membangun bangsa ini. Saya kira irisannya dari situ," jelas dia.
Di sisi lain, Badaruddin tak menampik kalau daya jual Partai Berkarya tergantung pada Tommy Soeharto yang identik dengan trah Cendana. Ia juga mengakui jika sebagian program kerja partai ini mengadopsi dari Orde Baru.
"Semua orang bisa bilang begitu, karena di Berkarya ada Pak Tommy, itu wajar-wajar saja. Pak Tommy memang magnet partai ini. Program-program kita juga masih mengambil sebagian dari program yang unggul di masa Pak Harto yang bisa diterapkan saat ini. Misalnya trilogi pembangunan, yaitu keamanan, ekonomi dan pemerataan pembangunan," papar Badaruddin.
Untuk itulah, kata dia, Partai Berkarya membidik pemilih dari kalangan yang merasakan enaknya hidup saat Orde Baru berkuasa, tanpa melupakan generasi yang tumbuh di era sesudahnya.
"Kita enggak memungkiri bahwa ada segmen yang kita bidik ke sana. Tapi generasi sekarang juga kita kasih ruang. Tapi, yang kita tonjolkan bukan rezimnya, tapi semangatnya. Dulu ada pasar inpres, sekolah inpres. Itulah yang mungkin dirindukan orang yang punya masa lalu dengan Orde Baru," jelas Badaruddin.
Ketika ditanyakan, apakah untuk mewujudkan semua itu Tommy Soeharto ingin memimpin Indonesia di masa depan, dia tak menampik.
"Itu pasti. Semua pimpinan partai bermimpi untuk jadi pimpinan di negeri ini. Apa itu lewat legislatif atau eksekutif.
Seandainya partai baru diberi peluang presidential threshold itu 0 persen, Partai Berkarya akan mengunggulkan Pak Tommy," tegas Badaruddin.
Untuk itu, salah satu langkah untuk mendorong Tommy menuju kepemimpinan nasional adalah dengan menjadikan pria berusia 56 tahun itu sebagai Ketua Umum Partai Berkarya.
"Di rapimnas tanggal 10-13 Maret di Solo, kita akan meminta Pak Tommy sebagai ketua umum partai," pungkas dia.
Survei Tommy Masih Kecil
Partai Berkarya memang tergolong baru. Dibentuk pada 15 Juli 2016 dan disahkan melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.NH-21.AH.11.01 Tahun 2016 pada 13 Oktober 2016. Dalam kepengurusan tingkat pusat, nama Tommy Soeharto menjabat Ketua Majelis Tinggi Partai sekaligus Ketua Dewan Pembina.
Tak heran kalau muncul anggapan bahwa Partai Berkarya ingin mengembalikan kejayaan Orde Baru dan trah Cendana. Namun, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana menanggap pesimis anggapan itu.
"Memang ada nama Tommy Soeharto di Partai Berkarya. Tapi saya nggak begitu yakin apakah kemudian Partai Berkarya akan otomatis mengambil pemilih dari orang-orang yang punya romantisme di masa Orde Baru. Yang pasti pemilih sekarang ini dominan berusia muda, yang ketersentuhan dengan Orde Baru kan enggak begitu kuat," jelas Aditya kepada Liputan6.com, Rabu malam.
Selain itu, kata dia, kalau keberadaan Tommy Soeharto di Partai Berkarya dianggap sebagai usaha untuk menjaring suara dari simpatisan Orde Baru, itu harus dilakukan melalui survei dulu.
"Tantangan buat Partai Berkarya adalah eksis saja dulu dengan apa yang dimiliki sekarang. Tommy perannya dominan di partai, kekayaannya pasti tujuh turunan. Apakah itu akan memengaruhi dukungan dari pemilih, kita harus tes dengan survei di bulan-bulan ini," ujar Aditya.
Namun begitu, dia pesimistis angka elektabilitas Partai Berkarya akan menjulang. Bahkan, dia memprediksi angka untuk keterpilihan di legislatif akan sulit mencapai angka 1 persen.
"Pak Harto sendiri, buat saya, sudah selesai di tahun 1998, karena anak-anaknya rata-rata enggak berpolitik. Mungkin Mbak Tutut saja, tapi sisanya kan enggak," jelas Aditya.
Jika saat ini Partai Berkarya mengusung program yang sangat Orde Baru, dia meyakini banyak pihak akan menyikapi dengan hati-hati. Itu karena, Partai Berkarya harus menjelaskan romantisme masa lalu Orde Baru mana yang akan dikembalikan partai ini.
"Kalau itu terus-terusan ditonjolkan Partai Berkarya, untuk tujuan apa? Kalau untuk tujuan mengembalikan masa Orde Baru dari gaya otoriter pemimpinnya, masyarakat sekarang kan sudah terbiasa dengan gaya kepemimpinan demokratis," pungkas Aditya.
Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari, berdasarkan survei yang pernah dilakukan, romantisme Orde Baru itu masih ada, kendati angkanya sudah tidak bisa lagi jadi pegangan.
"Itu data lama, jadi sudah kurang relevan. Tapi intinya masih ada dan saya yakin masih cukup signifikan. Cuma masalahnya, per hari ini belum ada keluarga Cendana, anak-anaknya Pak Harto yang mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa mereka punya kemampuan yang sama dengan Pak Harto membangun Indonesia," ujar Qodari kepada Liputan6.com, Rabu malam.
Ditambah lagi, kata dia, Tommy bisa belajar dari pengalaman Partai Karya Peduli Bangsa atau PKPB yang pernah didukung kakaknya, Siti Hardijanti Rukmana atau Mbak Tutut. Kekalahan PKPB di Pemilu 2009 menunjukkan, menjadi anaknya Pak Harto tidak otomatis membuat partainya dipilih masyarakat.
"Dari hasil-hasil survei sementara ini elektabilitas Tommy Soeharto atau Mas Tommy itu masih kecil sekali. Dengan becermin pada pengalaman partainya Mbak Tutut dan hasil surveinya Mas Tommy, menurut saya untuk sementara perolehan atau nasib Partai Berkarya akan sama dengan partainya Mbak Tutut," ujar Qodari.
Namun, dia menegaskan, Tommy menjadi faktor kunci di Partai Berkarya, jika dilihat dalam posisinya sebagai alat untuk mendongkrak partai. Dalam praktiknya bisa dilihat nanti, bagaimana Tommy dengan kemampuan finansial dan manajerialnya membuat Partai Berkarya menjadi mesin politik yang tangguh di lapangan.
"Tapi, kalau mau menggantungkan perolehan suara Partai Berkarya dari popularitas Mas Tommy, itu belum bisa. Karena sekali lagi, berdasarkan hasil survei, elektabilitasnya Mas Tommy itu masih kecil sekali, tidak bisa menjadi alat mendongkrak perolehan suara Partai Berkarya," tegas Qodari.
Dengan fakta itu, dia melihat sosok Tommy harus dilihat dengan cara berbeda, antara keinginan sebagian masyarakat untuk bisa bernostalgia bersama Orde Baru dengan keyakinan bahwa Tommy bisa mewujudkan nostalgia tersebut
"Saya sih yakin bahwa masih cukup banyak masyarakat yang ingin nostalgia dengan Orde Baru. Tetapi, apakah dia yakin atau tidak dengan Tommy Soeharto, menurut saya itu dua hal yang berbeda," pungkas Qodari.
Advertisement
Jejak Parpol Asal Cendana
Kendati rezim Soeharto ikut tumbang seiring dengan berakhirnya Orde Baru, bukan berarti keluarga Cendana menjauh dari hiruk pikuk politik Tanah Air.
Sejumlah partai politik sempat didirikan serta ikut dalam pemilu, meski tak ada yang bertahan lama dalam persaingan merebut suara pemilih.
Yang pertama adalah Partai Karya Peduli Bangsa atau PKPB. Partai politik ini didirikan pada 9 September 2002 di Jakarta dan dipimpin R Hartono, mantan KSAD dan mantan Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Pembangunan VII.
Hartono tak menutupi kalau partai yang dipimpinnya ingin mendulang sukses yang pernah dirasakan Orde Baru. Bahkan, seperti ditulis Liputan6.com, Senin 1 Maret 2004, purnawirawan jenderal ini yakin partainya bakal mendapat dukungan masyarakat yang pernah merasakan kemakmuran pada saat Soeharto berkuasa.
Yang lebih menarik, partai ini mendapat dukungan dari Siti Hardijanti Rukmana, putri sulung mantan Presiden Soeharto yang karib disapa Tutut. Sejak ayahnya lengser dari kursi kekuasaan, Tutut ikut menghilang. Ia jarang tampil di muka umum. Tapi, 2 Desember 2003, ia hadir dalam acara syukuran PKPB. Saat itu, muncul dugaan bahwa Tutut adalah calon presiden dari PKPB.
Menjelang penghujung 2003, PKPB mendeklarasikan Tutut sebagai calon presiden dari parta itu. Namun, Tutut tak mau terang-terangan menyatakan diri sebagai capres dari PKPB. Kendati dia menegaskan siap berkonsentrasi untuk memenangkan PKPB.
"Selama kampanye, kami akan siap membantu partai," tegas Tutut di Jakarta, Rabu 10 Maret 2004.
Namun, niat Tutut menjadi capres gagal setelah hasil Pemilu 2004, PKPB yang bernomor urut 14 hanya memperoleh 2,11% suara secara nasional dan memperoleh 2 kursi di DPR.
Pada 2008, untuk berpartisi kembali dalam Pemilu 2009, PKPB sempat mengubah namanya menjadi Partai Karya Pembangunan Bangsa dengan lambang partai baru yang tidak jauh berbeda. Setelah UU Pemilu yang baru mengizinkan partai peserta Pemilu 2004 berkompetisi kembali, PKPB menggunakan kembali nama lama, namun tetap mempertahankan lambang yang baru.
Dalam Pemilu 2009 yang diikuti 38 partai politik, PKPB gagal untuk masuk DPR. Hal ini merupakan imbas dari ketentuan electoral threshold pada pemilu sebelumnya dihapus dan diganti dengan parliamentary threshold sebesar 2,5 persen. Pada Pemilu 2014, PKPB pun hilang dari peredaran karena tidak lolos verifikasi administrasi KPU.
Setelah Tutut, giliran cucu Soeharto yang turun ke gelanggang politik, yaitu Ari Haryo Wibowo Harjojudanto yang karib disapa Ari Sigit. Ari merupakan anak pertama dari Sigit Hardjojudanto, putra kedua mantan Presiden Soeharto.
Pada 2012, Ari mendirikan Partai Karya Republik atau Pakar. Di partai ini Ari menjabat ketua umum dan sekretaris jenderal dijabat Puspito Adi Wibowo.
Namun, KPU menyatakan Pakar tidak lulus verifikasi administratatif untuk menjadi peserta Pemilu 2014. Ari Sigit mengaku kecewa terhadap keputusan KPU tersebut dan menilai hasil verifikasi administrasi parpol itu tidak sesuai hukum yang berlaku.
"Penetapan hasil verifikasi KPU tidak sesuai hukum karena diputuskan dengan jadwal, tata cara, prosedur dan mekanisme yang bertentangan Peraturan Perundang-undangan," kata Ari dalam pesan singkatnya kepada Liputan6.com di Jakarta, Selasa 30 Oktober 2012.
Terlepas dari kekecewaan itu, partai besutan Ari tak bisa lagi ikut dalam kontestasi Pemilu 2014. Tak hanya Ari, anggota keluarga Cendana lainnya juga terus berusaha untuk ikut dalam pemilu, dengan nama partai dan sosok yang berbeda.
Dia adalah putra bungsu Soeharto, Hutomo Mandala Putra yang karib disapa Tommy. Dia mendirikan partai Partai Nasional Republik (Partai Nasrep) pada 17 Desember 2002 sebagai Partai Sarikat Indonesia dan berubah nama menjadi Partai Nasional Republik pada 5 Juni 2012. Ketua umum partai ini adalah Jus Usman Sumanegara dengan Sekretaris Jenderal Neneng A. Tutty.
"Kami dari gabungan partai-partai juga. Ada partai lama dan kecil-kecil, itu kan banyak yang jebol-jebol. Jadi kepengurusan partai lama akan lebur," kata Neneng di Jakarta, Rabu 27 April 2011.
Selain Tommy dan Neneng, deklarator partai ini antara lain Mayor Jenderal (Purn) Edy Waluyo, Budi Hartono, dan Sony Pudjisasino dari Partai Buruh, serta Tommy Sanjoto. Tommy sendiri dijadikan daya tarik utama partai dan didapuk sebagai Ketua Dewan Pembina Partai.
Partai ini resmi didaftarkan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi dan Manusia untuk menjadi peserta Pemilu 2014. Pada proses seleksi partai politik untuk menjadi peserta Pemilu 2014 yang diselenggarakan KPU, Partai Nasrep lolos dalam tahap verifikasi awal, namun kemudian gagal dalam tahap verifikasi administrasi. Artinya, Partai Nasrep gagal mengikuti Pemilu 2014.
Tak mau menyerah, Partai Nasrep kemudian memutuskan bergabung dengan Partai Beringin Karya yang menjelma sebagai Partai Berkarya. Partai ini didirikan pada 15 Juli 2016 dan mendapatkan legitimasi hukum dan sah sebagai partai politik di Indonesia pada 17 Oktober 2016.
Neneng A Tutty yang sebelumnya menjadi Sekjen Partai Nasrep kini menjadi Ketua Umum Partai Berkarya dengan Sekjen Badaruddin Andi Picunang. Sementara Tommy menjabat sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai sekaligus Ketua Dewan Pembina. Melalui Partai Berkarya inilah Trah Cendana yang diwakili Tommy Soeharto berusaha kembali ke panggung kekuasaan.