Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah masih menunjukkan tren pelemahan. Kurs mata uang Garuda masih bertengger di level Rp 13.700 per dolar Amerika Serikat (AS). Pelemahan rupiah akan berdampak pada industri dalam negeri.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati menyebutkan dampak pelemahan rupiah menyasar pada banyak industri mengingat industri dalam negeri masih bergantung pada bahan baku impor.
"Hampir semua industri kena dampak. Ini karena ketergantungan bahan baku impor," tuturnya saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Kamis (8/3/2018).
Baca Juga
Advertisement
Dia menyebut, dampak pelemahan rupiah menjalar ke industri makanan, tekstil, elektronik, farmasi, dan otomotif.
"Bahan pangan impor pun pasti kena dampak seperti impor kedelai, gandum dan sebagainya," jelasnya.
Enny lebih jauh menerangkan, pelemahan nilai tukar rupiah lebih disebabkan oleh faktor fundamental dan aksi ambil untung (profit taking) dari para spekulan.
"Intinya ada tiga penyebab pelemahan rupiah. Pertama, masalah fundamental, seperti neraca perdagangan defisit. Kedua, faktor eksternal pemulihan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan rencana kenaikan suku bunga acuan The Fed, serta ketiga, faktor profit taking spekulan," ujarnya.
Diprediksi Terus Melemah ke Level Rp 14 Ribu
Sementara itu, Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara, memperkirakan pelemahan rupiah masih akan terus terjadi hingga pada akhir Maret ini.
"Rupiah diprediksi akan terus melemah hingga akhir Maret ini. Titik terendah pelemahan rupiah bisa mencapai Rp 14 ribu per dolar AS di tahun ini," ujarnya.
Dia mengungkapkan pelemahan rupiah terjadi karena kebijakan Bank Sentral AS untuk menaikkan tingkat suku bunga acuan pada tahun ini sebanyak tiga kali.
"Gubernur The Fed baru, Jerome Powell mengisyarakatkan suku bunga akan naik dalam waktu dekat. Bahkan bisa sampai tiga kali kenaikannya untuk tahun ini. Powell mengkonfirmasi bahwa Fed solid melakukan pengetatan moneter dan normalisasi balance sheet-nya tahun ini. Kebijakan Fed ini juga memicu bank sentral negara maju, seperti ECB dan BOJ melakukan pengetatan moneter," helas Bhima.
Sementara dari dalam negeri, faktor seperti inflasi Februari yang rendah di level 0,17 persen dan laporan keuangan beberapa emiten yang positif dianggapnya, tidak bisa menahan penjualan dari investor asing.
"Aliran modal asing keluar dari pasar modal Indonesia saat ini mencapai Rp 12,2 triliun (year to date)," ujarnya.
Untuk industri, Bhima mengaku, industri farmasi dan kimia merupakan dua sektor yang terkena dampak pelemahan rupiah saat ini.
"Industri yang terkena dampak adalah industri yang kandungan bahan baku impornya cukup besar. Salah satunya industri farmasi, kimia, dan tekstil. Ketika rupiah lemah, daya saing langsung merosot. Jadi tidak benar kalau pelemahan rupiah pasti untungkan ekspor," tutupnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement