Mendag AS Sebut Tak Ingin Timbulkan Perang Dagang

Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross menuturkan, pemerintah AS tak ingin buat gaduh soal tarif impor baja dan aluminium.

oleh Agustina Melani diperbarui 08 Mar 2018, 08:15 WIB
Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross (AP)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perdagangan Amerika Serikat (AS) Willbur Ross memberikan pernyataan usai pengumuman rencana kebijakan tarif impor baja dan aluminium.

Willbur Ross menuturkan, Presiden AS Donald Trump memberi fleksibilitas tarif untuk Kanada dan Meksiko."Kami tak ingin mencoba untuk membuat gaduh dunia. Tak ada niat untuk itu," ujar Ross seperti dikutip dari laman CNBC, Kamis (8/3/2018).

Ia menuturkan, Presiden Trump bahkan mengindikasikan akan memberikan pembebasan tarif ke Kanada dan Meksiko.

"Kami tak mencari perang dagang. Kami akan memiliki hubungan sangat masuk akal dengan sekutu kami," ujar Ross.

"Kami berharap akan ada proses kerja sama dengan negara lain yang merupakan teman kami," tambah dia.

Uni Eropa menguraikan pembalasan jika AS menerapkan pengenaan tarif impor. Uni Eropa dapat mengenakan biaya lebih tinggi untuk impor AS antara lain selai kacang, cranberry dan jus jeruk.

Sebelumnya lewat akun media sosial twitter @realDonaldTrump mengindikasikan kalau tidak menerapkan tarif impor buat baja dan aluminium asal renegosiasi perjanjian NAFTA dapat adil untuk Amerika Serikat (AS).

Departemen Perdagangan AS merekomendasikan penerapan tarif atau kuota untuk produsen asing baja dan aluminium pada bulan lalu. Penerapan tarif impor ini untuk melindungi keamanan nasional AS. Ross menuturkan pada saat itu kalau baja penting bagi keamanan nasional AS. Arus impor saat ini pengaruhi industri baja.

"Kondisi impor terutama jumlah impor baja melemahkan ekonomi internal AS dan mengancam akan ganggu keamanan nasional," tulis departemen perdagangan pada 16 Februari.Usai Trump umumkan tarif impor baja dan aluminium masing-masing 25 persen dan 10 persen, Ross menuturkan, hal itu bukan masalah besar lantaran tarif tidak terlalu besar.

 

 


Dampak Buat Indonesia

Pekerja mengikat baja yang akan dipindahkan untuk di kirim melalui Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Kamis (15/12). Di Indonesia peluang pengembangan industri dan konstruksi baja nasional masih terbuka lebar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Wacana kebijakan penetapan tarif impor baja dan alumunium yang dikeluarkan Amerika Serikat (AS) turut memancing amarah pemerintah berbagai negara, karena dinilai dapat memicu perang dagang.

Namun begitu, hal tersebut dianggap tidak terlalu berdampak pada Indonesia, sebab negara bukan merupakan pengekspor baja dan alumunium dalam jumlah besar ke Negeri Paman Sam.

Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump menegaskan, akan menerapkan tarif impor baja sebesar 25 persen dan 10 persen untuk alumunium. Kebijakan tersebut akan melindungi industri dalam negeri AS.Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, wacana kebijakan yang diucapkan Trump itu tidak akan banyak berdampak untuk Indonesia.

"Saya lihat, dampak kebijakan itu tidak akan signifikan untuk negara, karena jumlah ekspor baja dan alumunium kita kecil," tukasnya kepada Liputan6.com seperti dikutip Minggu 4 Maret 2018.

Dia menyampaikan, dampak regulasi itu akan lebih besar pengaruhnya terhadap negara yang pada saat ini banyak mengirimkan produk besi baja dan alumunium ke AS, seperti Kanada, negara-negara Uni-Eropa dan China.Berdasarkan data Kemendag, Indonesia bukan merupakan negara supplier utama produk besi baja dan aluminium ke AS. Pada 2017, total impor produk besi baja dalam investigasi Section 232 adalah US$ 29 miliar.

Kanada mendominasi, dengan market share 17,9 persen, disusul Korea Selatan (9,6 persen), Meksiko (8,6 persen), Brazil (8,4 persen), dan Jepang (5,7 persen).

China berada di peringkat ke-10 dengan market share sebesar 3,5 persen, sementara impor dari Indonesia adalah senilai US$ 79,8 juta dan share 0,3 persen.

Sedangkan untuk aluminium, total impor produk yang dalam investigasi sebesar US$ 17,4 milyar pada 2017, mayoritas berasal dari Kanada (40,5 persen), China (10,6 persen), Rusia (9,1 persen), Uni Emirat Arab (8 persen) dan Bahrain (3,4 persen).

Impor alumunium dari Indonesia senilai US$ 202,5 juta, dengan market share 1,2 persen.

Oke Nurwan lanjut menjelaskan, regulasi itu nantinya juga dapat menyulitkan AS. "Kebijakan itu akan membuat AS sendiri kesulitan, karena harga di dalam negerinya menjadi lebih tinggi," pungkas dia

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya