Gubernur Bali: Belum Ada Pembatalan Bandara Buleleng

Gubernur Bali I Made Mangku Pastika menampik pembatalan pembangunan bandara di Buleleng seperti diumumkan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.

oleh Dewi Divianta diperbarui 08 Mar 2018, 19:00 WIB
Gubernur Bali Made Mangku Pastika menampik jika bandara di Bali utara batal (Liputan6.com/Dewi Divianta)

Liputan6.com, Denpasar Gubernur Bali, Made Mangku pastika menampik pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan yang menyatakan bandara di Bali utara, tepatnya di Kabupaten Buleleng batal dibangun. Hal itu dikatakan oleh Luhut di Jakarta merujuk pada beberapa alasan pembatalan bandara yang rencananya akan dibangun oleh PT Bandara Internasional Bali Utara (BIBU).

Menurut Pastika, pembatalan rencana membangun bandara internasional di Buleleng, belum final. Pastika mengaku sudah mendapat konfirmasi dari Presiden Joko Widodo, bahwa tidak ada pembatalan rencana pembangunan bandara tersebut.

Menurut Pastika, pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan bahwa pembangunan Bandara Internasional Buleleng dibatalkan, hanya menyampaikan hasil kajian sementara dari World Bank (Ban Dunia) dan Universitas Udayana.

"Tidak ada pembatalan, belum final," kata Pastika saat menggelar konferensi pers di Kantor Gubernur Bali, Rabu, 7 Maret 2018.

Menurut Pastika, hasil kajian final World Bank baru dipresentasikan pekan depan di Jakarta. Pastika diundang untuk mendengarkan secara langsung presentasi tersebut. Ia menegaskan akan memperjuangkan rencana pembangunan bandara itu agar tidak dibatalkan.

Pastika belum mengetahui kajian World Bank yang disebut-sebut membatalkan rencana proyek prestisius tersebut. Sebagai gantinya, World Bank dalam kajiannya justru merekomendasikan pembangunan jalan tol membelah gunung.

"Saya diundang untuk mendengarkan presentasi dari World Bank minggu depan. Kita akan sampaikan pandangan kita. Kita ingin tahu hasil kajian mereka. Siapa sih tim World Bank yang melakukan kajian itu," tegasnya. Pastika akan menggundang DPRD Bali untuk turut hadir dalam presentasi World Bank tersebut.

Menurut Pastika, World Bank seharusnya mendengarkan pandangan pemerintah daerah di Bali dalam memutuskan hasil kajiannya. Menurutnya, dalam melakukan kajian untuk proyek infrastruktur di Bali perlu juga mempertimbangkan hal-hal non-teknis. Misalnya, membangun jalan tol dengan membelah gunung perlu kajian mendalam dari aspek budaya Bali.

"Pelebaran jalan saja tidak mudah dilakukan di Bali. Mungkin mereka belum memahami Bali. Ada aspek non-teknis yang dipertimbangkan. Hal-hal seperti ini yang akan kami sampaikan kepada tim kajian World Bank tersebut," ujar Pastika.

Pembangunan bandara di Buleleng menurutnya sangat penting untuk mengatasi ketimpangan pembangunan Bali utara dengan Bali selatan. Ketimpangan pembangunan ini terkorelasi langsung dengan ketimpangan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat Bali selatan dan Bali utara.

"Untuk mengatasi ketimpangan pembangunan itu ya, harus bangun infrastruktur. Salah satunya membangun bandara internasional di Bali utara," tegasnya.

 


Proyek Bandara Sejak 2009

Ilustrasi pesawat (iStock)

Rencana pembangunan bandara internasional Buleleng sendiri sudah dimulai pada tahun 2009. Perda Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang RTRW Provinsi Bali memberi jalan untuk pembangunan bandara di Bali utara. Artinya, rencana pembangunan bandara itu tidak melanggar aturan yang ada di Bali.

Untuk membangun bandara di Buleleng ada dua investor yang direkomendasikan ke pusat untuk melakukan pra-feasibility study (studi kelayakan), yakni Airport Kenesis Counsulting (AKC) Kanada dan PT Pembangunan Bali Mandiri (PBM). ACK akan membangun bandara itu di atas laut.

Adapun PT PBM akan membangun di darat. Menurut Pastika, rencana pembangunan bandara itu hanya menunggu keputusan Menteri Perhubungan untuk menentukan investor yang mengerjakan bandara itu, juga izin penentuan lokasi (penlok).

Ia tak sependapat jika izin penlok itu belum turun karena belum ada titik temu antara kedua investor tersebut. Menurut Pastika, seharusnya Menhub meminta kedua investor itu untuk presentasi, lalu memutuskan untuk memilih salah satunya.

"Tinggal mereka presentasi. Undang ahli, kasih penilaian, lalu putuskan salah satunya," tegasnya. Menhub, kata Pastika, seharusnya menyampaikan alasannya belum keluarkan penlok tersebut, termasuk syarat-syarat yang harus dipenuhi investor.

Dengan adanya izin Penlok itu barulah investor melakukan Feasiblility Study (FS). Jika FS itu memenuhi syarat, barulah Menhub menerbitkan izin pelaksanaaannya.

"Harus ada izin Penlok dulu baru melakukan FS, membuat Amdal-nya. Kalau belum ditentukan lokasinya, bagaimana bisa membuat Amdal-nya," kata Pastika.

Saksikan video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya