Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengritik ucapan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo yang menyatakan, telah mengantongi nama-nama calon kepala daerah pada Pilkada Serentak 2018, yang akan ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Menurut Arsul, sebagai penegak hukum, seharusnya Ketua KPK tidak berbicara mengenai peristiwa-peristiwa mendatang yang masih belum tentu terjadi.
Advertisement
"Saya ingin kritik lagi nih Ketua KPK senangnya sebagai penegak hukum pakai future tenses. Penegak hukum itu pakainya present tense. Grammarnya harus itu," ucap Arsul, di Gedung DPR RI, Jakarta Selatan, Rabu (7/3/2018).
Politikus PPP itu menganggap, apa yang dilakukan Ketua KPK merupakan ketidakmatangan sebagai penegak hukum. Ia mencontohkan, jika KPK misalnya saat ini memiliki dua alat bukti tentang seseorang, maka dapat diumumkan siapa saja.
"Jadi kemudian jangan membuka wacana baru, ini siapa saja 90 persen. Itu tetapkan aja 30 nya itu," ujar dia.
Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu pun mengatakan, seharusnya KPK belajar dengan pengalaman terdahulu. Ketika KPK memberi penilaian rapor merah dan kuning kepada sejumlah pejabat negara, kemudian tidak pernah ada lagi kelanjutannya terhadap publik.
"Sampai sekarang yang warna merah siapa, tadinya disebut warna merah, kemudian disebut sebagai tersangka kan enggak jelas itu," kata Arsul.
"Jadi begitu. Kalau kulturnya penegak hukum kaya begitu, nanti kalau ternyata nggak, ini kan namanya KPK nggak belajar," sambungnya.
Politisasi Proses Hukum
Seharusnya, kata dia, KPK menyampaikan wacana nama-nama calon kepala daerah yang terindikasi kasus korupsi itu jauh-jauh hari sebelum masuk masa penetapan ikut Pilkada. KPK pun menurutnya, secara tidak sadar seolah mempolitisasi proses hukum.
"Kalau mau dia bicara itu, paling banter adalah bahwa calon-calon kepala daerah ini tiga kali sedang dalam penyelidikan oleh KPK. Paling banter begitu. Itu boleh kalau begitu," katanya.
Akibat indikasi korupsi itu terjadi pada sejumlah kepala daerah setelah masa penetapan, maka partai pun tidak bisa melakukan intervensi apa pun.
"Apanya yang mau dicek, karena kan partai menurut UU Pilkada enggak boleh menarik mundur. Ngapain dicek," kata Arsul.
Arsul menuturkan, selama ini KPK tidak pernah ada memberikan masukan secara tertutup kepada partai terkait nama-nama calon mana saja yang memiliki indikasi ke arah korupsi.
Seperti halnya petahana calon kepala daerah yang selama ini menjabat, terdapat sekian puluh pengaduan masyarakat yang masuk ke KPK, seharusnya juga diinformasikan.
"Justru di situlah harusnya KPK ke depan kalau mau bijak. Harusnya menurut saya itu ada. Bahkan secara tertutup saja harusnya KPK itu, terutama terhadap petahana-petahana itu bisa menyampaikan kepada parpol," tutur dia.
Advertisement