Liputan6.com, Kandy - Kondisi darurat nasional telah diberlakukan di Sri Lanka untuk kali pertama sejak terjadinya perang sipil. Hal itu dilakukan setelah terjadi kekerasan antara warga Buddha Sinhala dan komunitas muslim.
Pemerintah memberlakukan langkah tersebut pada Selasa, 6 Maret 2018. Sejumlah tentara pun akan dikerahkan di seluruh Sri Lanka selama 10 hari untuk mencegah meluasnya kekerasan.
Advertisement
"Kami ingin memastikan bahwa kekerasan komunal tidak menyebar ke seluruh Sri Lanka. Kami harus memikirkan seluruh masyarakat di negara ini. Oleh karena itu, pemerintah memberlakukan kondisi darurat untuk mengontrol situasi," ujar juru bicara pemerintah, Dayasiri Jayasekara, seperti dikutip dari CNN, Kamis (8/3/2018).
Kekerasan berpusat di sekitar kota Kandy, di mana kematian seorang pemuda Buddha Sinhala pada 4 Maret, memicu bentrokan dan perusakan sejumlah masjid dan tempat bisnis milik warga muslim.
Seorang politisi muslim lokal, mengatakan bahwa empat masjid, 37 rumah, 46 toko, dan 35 kendaraan rusak dalam kekerasan tersebut. Ia pun memprediksi bahwa jumlah tersebut dapat meningkat.
Setelah status darurat diberlakukan, seluruh kegiatan belajar mengajar diberhentikan dan jam malam ketat pun diberlakukan.
Akses internet dan telepon pun dibatasi, di mana operator ponsel Distrik Kandy diinstruksikan untuk memblokir data transmisi untuk mencegah tersebarnya foto-foto berisi kekerasan.
Kandy merupakan kota terbesar kedua di Sri Lanka dengan populasi 125.000 jiwa. Sekitar 75 persen populasi di Kandy terdiri dari umat Buddha Sinhala, di mana muslim menjadi minoritas di sana.
Pemicu Kerusuhan
Kerusuhan di Kandy diketahui berawal pada 4 Maret 2018. Menurut polisi lokal, saat itu sebuah taksi yang membawa empat penumpang muslim bertabrakan dengan sebuah van yang dikendarai oleh seorang pemuda Buddha.
Pemuda tersebut kemudian diserang menggunakan batang besi. Meski sempat dilarikan ke rumah sakit, nyawanya tidak tertolong.
Keempat pria tersebut ditangkap dan ditahan oleh polisi.
Pernyataan pemerintah yang dirilis pada Senin, 5 Maret 2018, mengutuk kekerasan dan upaya penghasutan kekerasan secara online.
"Kebencian dan informasi salah yang dilakukan beberapa orang, terutama melalui media sosial, yang menargetkan komunitas msulim...dengan tujuan untuk menciptakan ketidakharmonisan di antara masyarakat dan memicu kekerasan," demikian bunyi pernyataan tersbeut.
Ketegangan antara umat Muslim dan Buddha Sinhala meningkat sejak perang sipil berakhir pada Mei 2009.
Advertisement