Liputan6.com, Yogyakarta - Kebijakan melarang mahasiswi bercadar di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta tetap jalan, sekalipun menuai kontroversi di masyarakat. Keputusan yang diambil kampus sudah bulat dengan pertimbangan matang.
Isu itu mencuat setelah Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yudian Wahyudi mengeluarkan Surat Edaran Nomor B-1301/Un.02/R/AK.00.3/02/2018 perihal Pembinaan Mahasiswa Bercadar. Surat edaran itu ditujukan kepada dekan fakultas, direktur pascasarjana, dan kepala unit atau lembaga pada 20 Februari 2018. \
Mereka diminta untuk mendata dan membina mahasiswi bercadar dan data diberikan kepada Wakil Rektor III paling lambat 28 Februari 2018.
Kebijakan itu meluas dan membuat jajaran Rektorat UIN Sunan Kalijaga, minus Rektor UIN yang sedang berada di luar kota, menerima tamu dari ormas agama. Sekitar 20-an orang dari FJI, FUI, dan MMI bertandang ke gedung rektorat kampus itu, Rabu, 7 Maret 2018 sekitar pukul 10.00 WIB.
Baca Juga
Advertisement
Pertemuan berlangsung selama satu jam. Jajaran rektorat mendengarkan pendapat ormas-ormas itu.
"Kami tidak banyak berkomentar, hanya mendengarkan," ujar Wakil Dekan III Fakultas Komunikasi dan Dakwah UIN Sunan Kalijaga Abdur Rozaki yang ditemui di ruang kerjanya, Kamis (8/3/2018).
Mereka menyarankan UIN Sunan Kalijaga tidak melarang mahasiswi bercadar karena isu itu bukanlah isu yang bersifat fundamental dalam ilmu agama. Sebaliknya, mereka bertanya mengapa UIN Sunan Kalijaga tidak menertibkan mahasiswi dengan baju ketat.
"Saya bilang kalau ada yang pakai baju ketat juga dibina seperti mahasiswi bercadar, tetapi masalahnya sampai saat ini kan kelihatan," kata Rozaki.
Jumlah Mahasiswi Bercadar Bertambah
Pasca-keluarnya surat edaran mengenai pembinaan mahasiswi bercadar, jumlah mereka justru bertambah. Di awal pendataan terkumpul 41 mahasiswi bercadar dari berbagai fakultas yang akan dibina.
"Sekarang jadi 43, ada dua tambahan mahasiswi bercadar dari Fishum," tutur Rozaki.
Di fakultasnya, ada empat mahasiswa yang bercadar dan datanya sudah dipegang. Ketika masuk kuliah pertama kali, mereka belum bercadar.
Rata-rata yang teridentifikasi bercadar adalah mahasiswi angkatan 2015 dan 2016 yang saat ini menempuh semester empat dan enam.
Rozaki berpendapat ada tiga alasan bercadar jika dilihat dari literasi, yakni, budaya populer, ideologi, dan lingkungan.
Ia bercerita salah satu mahasiswinya yang bercadar ada yang masuk golongan budaya populer. Selain orangnya terbuka, ketika berada di indekosnya pun juga melepas cadar.
"Bahkan dia terus menerus bertanya kepada saya, kapan akan dipanggil kampus soal pelarangan cadar," tuturnya.
Advertisement
Berkumpul Dua Kali dalam Seminggu
Ada dua titik kumpul yang biasa digunakan mahasiswi bercadar, yakni di depan Gedung Multi Purpose UIN Sunan Kalijaga dan poliklinik. Mereka biasanya berkumpul setiap Jumat dan Minggu.
"Waktunya bisa pukul 10.00 WIB atau setelah jumatan, ya tapi sekitaran itu," kata Rozaki.
Sekali berkumpul bisa mencapai 10 orang. Ia ingin mengetahui siapa imam kegiatan itu. Kebiasaan berkumpul ini mulai terlihat sejak satu tahun lalu.
Saat berkumpul, mereka biasanya mengadakan diskusi kecil. Dari pengamatan dan informasi yang diperolehnya, Rozaki bisa menyimpulkan ada mahasiswi bercadar yang juga menjadi agen. Artinya, mereka bukan bercadar secara pasif, melainkan aktif dan merangkul teman-temannya yang lain untuk bergabung dengan ideologi nya.
"Ada beberapa aliran, ada yang HTI, ada yang salafi," ucapnya.
Berawal dari Gedung yang Disewa
Rozaki menceritakan kejadian pemasangan bendera HTI di kampus itu tidak bisa dilepaskan dari sebuah ruangan di gedung UIN Sunan Kalijaga yang disewakan untuk umum.
"Setahun terakhir di UIN Sunan Kalijaga semakin mengeras karena banyak kegiatan HTI di kampus, misal gema pembebasan yang memakai ruangan yang disewa di gedung kampus," ucapnya.
Terlebih, saat itu juga ada dosen yang terlibat HTI, walaupun tidak mendeklarasikan secara langsung, dan memberi jalan untuk kegiatan itu.
Karena HTI anti Pancasila, akhirnya rektor memutuskan kebijakan dilarang menyewakan gedung atau ruangan untuk kegiatan seperti itu.
Isu itu belum berhenti, bahkan sampai muncul RUU Ormas. Sampai akhirnya, ada pengibaran bendera HTI di kampus yang membuat rektor merasa dikudeta dan berujung pada pelarangan mahasiswi bercadar.
Menurut Rozaki, atmosfer politik di Indonesia sedang mengalami kecemasan terhadap isu radikalisme, ekstrimisme, dan sebagainya. Kondisi itu membuat orang atau kelompok memobilisasi kekuasaan dengan identitas agama.
"Suasana ini muncul dalam dinamika sosial kampus dan kontestasi pemikiran muncul dari beberapa kelompok," ujarnya.
Advertisement
Bukan Diskriminasi
Melarang mahasiswi bercadar bukan lah bentuk diskriminasi. Justru kampus berpikir ingin menyelamatkan anak-anak dari persekusi.
"Kami takut juga anak-anak terlibat kelompok intoleran," ucapnya.
Oleh karena itu, untuk mengatasi dilema, kampus membuat pendataan dan pembinaan.
Lewat konseling bisa diketahui latar belakang anak-anak tersebut menggunakan cadar. Sejumlah pertanyaan akan dilemparkan untuk menelisik latar belakang mereka, seperti motif memakai cadar, orangtua tahu atau tidak, dan sejenisnya.
Ia bercerita ketika menjalani orientasi awal masuk kuliah, mahasiswa baru juga sudah diberitahu soal cara berpakaian di kampus.
"Dan ketika mengikuti orientasi tidak ada mahasiswi yang bercadar, jadi setelah berjalan jadi mahasiswi setahun dua tahun baru bercadar," tutur Rozaki.