Liputan6.com, Jakarta: Noval Hadad dan Maulawarman, dua terdakwa kasus penembakan Hakim Agung Syafiudin Kartasasmita, masing-masing dituntut 14 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum karena terbukti melakukan pembunuhan berencana. Tuntutan itu dibacakan JPU Abdul Kamal Badrun di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (3/5) siang. Kedua terdakwa juga terbukti membawa senjata tanpa izin. Menurut Abdul, perbuatan kedua terdakwa telah memenuhi unsur kesengajaan dan perencanaan.
Berdasarkan bukti-bukti, JPU berkeyakinan rencana pembunuhan hakim agung telah disusun Maulawarman dengan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Putra kesayangan bekas Presiden Soeharto itu memberikan uang sebanyak US$ 20 ribu atau sekitar Rp 200 juta kepada Maulawarman. Sebagai pelaksana rencana itu adalah Noval Hadad. Karena dianggap berhasil membunuh korban, Noval mendapat upah Rp 50 juta.
Penasihat hukum terdakwa, Sunaryo, menganggap tuntutan tersebut tidak mempertimbangkan keterangan terdakwa di persidangan. Menurut rencana, putusan hakim akan dijatuhkan pada 8 Mei mendatang setelah mendengarkan pembelaan penasihat hukum Maulawarman dan Noval.
Pendapat JPU berbeda dengan keterangan Maulawarman alias Molla saat membacakan pembelaan di persidangan, beberapa waktu silam. Menurut Molla, perintah pembunuhan bukan berasal dari Tommy Soeharto, melainkan dari seseorang bernama Frans. Pria itu dikenal sebagai pengusaha teman dekat Tommy yang tinggal di daerah Leuwipinang, Cipondoh, Tangerang, Banten. Molla juga mengatakan pembunuhan Syafiuddin Kartasasmita dilakukan bersama ketiga rekannya, yaitu Noval Hadad, Alex, dan Mukti. Mereka mengendarai dua sepeda motor Yamaha RX-King.
Persidangan kasus itu memasuki masa akhir Rabu silam. Saat itu, Majelis Hakim PN Jakpus pimpinan Amiruddin Zakaria meninjau lokasi tempat kejadian perkara pembunuhan itu di Jalan Pintu Air, Sunter Kemayoran, Jakpus [baca: Majelis Hakim Meninjau TKP Kasus Syafiuddin].
Persidangan kedua terdakwa tak mampu menghadirkan Tommy Soeharto. Dari empat panggilan, bos PT Humpuss itu dua kali tak hadir dengan alasan tak ada penetapan pemanggilan saksi dari hakim. Dua panggilan selanjutnya juga tak hadir dengan alasan sakit gigi [baca: Tommy Kembali Tak Menghadiri Persidangan Noval Hadad].(COK/Denni Risman dan Budi Sukmadianto)
Berdasarkan bukti-bukti, JPU berkeyakinan rencana pembunuhan hakim agung telah disusun Maulawarman dengan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Putra kesayangan bekas Presiden Soeharto itu memberikan uang sebanyak US$ 20 ribu atau sekitar Rp 200 juta kepada Maulawarman. Sebagai pelaksana rencana itu adalah Noval Hadad. Karena dianggap berhasil membunuh korban, Noval mendapat upah Rp 50 juta.
Penasihat hukum terdakwa, Sunaryo, menganggap tuntutan tersebut tidak mempertimbangkan keterangan terdakwa di persidangan. Menurut rencana, putusan hakim akan dijatuhkan pada 8 Mei mendatang setelah mendengarkan pembelaan penasihat hukum Maulawarman dan Noval.
Pendapat JPU berbeda dengan keterangan Maulawarman alias Molla saat membacakan pembelaan di persidangan, beberapa waktu silam. Menurut Molla, perintah pembunuhan bukan berasal dari Tommy Soeharto, melainkan dari seseorang bernama Frans. Pria itu dikenal sebagai pengusaha teman dekat Tommy yang tinggal di daerah Leuwipinang, Cipondoh, Tangerang, Banten. Molla juga mengatakan pembunuhan Syafiuddin Kartasasmita dilakukan bersama ketiga rekannya, yaitu Noval Hadad, Alex, dan Mukti. Mereka mengendarai dua sepeda motor Yamaha RX-King.
Persidangan kasus itu memasuki masa akhir Rabu silam. Saat itu, Majelis Hakim PN Jakpus pimpinan Amiruddin Zakaria meninjau lokasi tempat kejadian perkara pembunuhan itu di Jalan Pintu Air, Sunter Kemayoran, Jakpus [baca: Majelis Hakim Meninjau TKP Kasus Syafiuddin].
Persidangan kedua terdakwa tak mampu menghadirkan Tommy Soeharto. Dari empat panggilan, bos PT Humpuss itu dua kali tak hadir dengan alasan tak ada penetapan pemanggilan saksi dari hakim. Dua panggilan selanjutnya juga tak hadir dengan alasan sakit gigi [baca: Tommy Kembali Tak Menghadiri Persidangan Noval Hadad].(COK/Denni Risman dan Budi Sukmadianto)