Liputan6.com, Gorontalo - Bangkai pesawat Merpati ditemukan warga di hutan perbatasan antara Atinggola dan Bolangmongondow, Kabupaten Bolmut, Gorontalo, Sumatera Utara. Penemuan itu berlangsung saat mereka tengah mencari sarang burung walet.
Musibah kecelakaan pesawat itu menyimpan kesan tersendiri bagi penumpang yang selamat. Salah satunya, Erwin Giasi. Ia yang kala itu menjadi penumpang mengenang kisah mengerikan saat detik-detik pesawat itu celaka.
Advertisement
Kejadian itu terjadi pada Rabu, 30 Januari 1991 (sebelumnya tertulis 31 Januari 1992), atau 27 tahun silam.
Menurut dia, seperti dikutip dari Gorontalo Post (Jawa Pos Group), sebelum penerbangan berlangsung, cuaca Kota Manado sangat cerah, termasuk di kawasan Bandara Sam Ratulangi. Tidak ada tanda-tanda cuaca buruk. Perjalanan pun sesuai dengan jadwal.
Di pelataran pesawat (apron), pesawat Casa 212 seri 200 dengan nomor register PK-NYC milik maskapai Merpati Nusantara Airlines (MNA) sudah siap menerbangkan penumpang tujuan Gorontalo.
Lantas, bagaimana pengakuan Erwin saat detik-detik kecelakaan pesawat itu terjadi hingga ia selamat dari maut? Berikut ini kisahnya:
Baca berita menarik JawaPos.com lainnya di sini.
Saksikan video pilihan berikut ini:
1. Penumpang Dipersilakan Masuk
Jelang pukul 14.00 Wita, 18 orang penumpang dipersilakan memasuki pesawat berbadan putih itu. Tidak lama kemudian, pesawat pun lepas landas.
"La Ode (La Ode Haimudin, Wakil Ketua DPRD Provinsi Gorontalo saat ini) sangat beruntung. Dia tidak ikut naik pesawat. Hanya mengantarkan saya di bandara. Padahal, masih satu seat yang kosong," ujar Erwin, Jumat (9/3/2018).
Erwin merupakan salah satu penumpang pesawat berbaling-baling ganda itu. Peristiwa 27 tahun silam itu masih terekam baik di ingatannya.
Advertisement
2. Pesawat Lepas Landas
Tepat pukul 14.20 Wita, pesawat dengan awak masing-masing Yus Pagau (pilot), Andi Pulgandi (co-pilot), dan Petrus Untung Abadi (teknisi) lepas landas dari Bandara Sam Ratulangi, Manado.
Waktu jelajah diperkirakan selama 55 menit. Pesawat harus mendarat di Bandara Djalaludin Gorontalo pada 15.15 Wita.
Dalam pesawat, para penumpang kebagian makanan ringan, roti, dan air mineral yang merupakan bagian dari layanan maskapai. Setelah selama 30 menit mengudara, pilot mengabarkan, Casa 212 akan mendarat pada 15.12 Wita, 3 menit lebih cepat.
3. Kontak Pilot Terakhir
Tak lama berselang, pilot melakukan kontak dengan menara bandara dan meminta izin menurunkan pesawat dari ketinggian 8.000 kaki. Kontak dengan menara itu, menjadi kontak terakhir antara pesawat dan menara bandara.
Lama ditunggu, rupanya pihak menara tak berhasil mendapat kabar dari pilot. Hingga 90 menit atau sudah lebih satu jam dari jadwal mendarat, tak ada lagi kontak pesawat dengan menara.
Saat itu juga Casa 212 PK-NYC dengan nomor penerbangan MZ-7970 dinyatakan dalam keadaan bahaya (distress phase) dan hilang.
"Tiba-tiba pesawat terhempas, masuk kabut yang sangat tebal," ujar Erwin.
Advertisement
4. Pesawat Mulai Tak Stabil
Pesawat mulai tidak stabil, sering terjadi goncangan-goncangan. Saat itu, kata Erwin, pilot memerintahkan seluruh penumpang untuk mengenakan sabuk pengaman.
Brruukkkk....! Goncangan hebat terjadi.
Bahkan saking kencangnya goncangan, sabuk pengaman salah seorang penumpang putus. "Kami tidak tahu apa yang terjadi," ungkap Erwin.
5. Mesin Pesawat Mati
Pesawat tidak lagi bergerak. Mesin pesawat tiba-tiba mati. Dari balik jendela, hanya kabut yang terlihat. Seluruh penumpang terdiam.
Pilot lalu memberitahukan bahwa mereka baru saja mengalami kecelakaan. Seketika seisi pesawat panik.
"Ternyata kami sudah ada di atas pohon. Di tengah hutan. Pesawatnya menabrak pohon," kenang Erwin.
Advertisement
6. Penumpang Selamat
Saat itu tidak ada yang bisa dilakukan selain mengecek apakah ada yang terluka atau tidak.
"Hanya lecet kecil-kecil, tidak ada yang parah. Semua tetap duduk di tempat masing-masing," kata Erwin.
7. Pesawat Tertancap di 2 Pohon
Suasana hening. Tidak ada yang berani keluar kabin. Kemudian, cuaca berubah drastis. Sesaat kemudian hujan lebat. Penumpang dan kru bertahan di dalam kabin pesawat.
"Pesawatnya tertancap di dua pohon, tidak bergerak lagi. Kami bertahan di dalam (kabin)," ujar Erwin.
Namun kata Erwin, mereka mulai kehabisan oksigen. "Hidung saya tempelkan di kaca (jendela), ada sedikit udara dari luar yang masuk. Dan dari situ kami bernapas," kenangnya.
Advertisement
8. Turun Melalui Ranting Pohon
Kondisi itu membuat mereka harus segera keluar pesawat. Mereka keluar melalui pintu depan dan turun melalui ranting pohon yang menancap di pesawat, menuju lokasi yang sedikit landai.
Menjelang malam, mereka kembali ke kabin. Begitu seterusnya hingga hari keenam mereka berhasil dievakuasi oleh tim SAR menggunakan helikopter.
Menariknya, selama hampir sepekan di tengah hutan, mereka tidak makan sama sekali. Bekal roti dan air mineral pemberian maskapai, hanya sekali makan.
Setelah itu tidak ada lagi bahan makanan. Mereka dipaksa survive di tengah hutan belantara.
"Hanya suara burung dan air terjun yang kami dengar. Selain itu tidak ada. Cuacanya sangat dingin. Setiap hari hujan dan kabut," cerita Erwin.
Beberapa dari mereka, mengambil botol air mineral dan diisi dengan air rotan untuk minum. "Rasa manis. Tapi sedikit sekali airnya. Kami bertahan dengan itu. Tidak ada makanan," kata dia.
9. Pasrah
Dengan kondisi itu, mereka pasrah dan ikhlas jika memang harus mati di tengah hutan. Baik penumpang maupun kru pesawat sudah memutuskan tidak ada yang berpisah.
Sebab, pengalaman sebelumnya, kecelakaan pesawat di kawasan Tinombala, Sulawesi Tengah, para penumpang tidak ditemukan karena mereka berpisah dan meninggalkan lokasi jatuhnya pesawat.
"Kami sudah dengar kecelakaan itu. Makanya kami tetap bersama," ujarnya.
Sayang, salah satu penumpang Tomy Sako yang sudah berusia 70 tahun saat itu meninggal dunia. Ia meninggal karena serangan asma dan kedinginan ketika di hutan.
"Begitu ada evakuasi, kami serasa hidup lagi. Ini celaka mujur. Kami sangat bersyukur," ucap Erwin.
Sejak itu, Erwin tidak ingin lagi naik pesawat. Mantan anggota DPRD Kota Gorontalo ini trauma berat. Dia mengatakan, diberi imbalan pun ia tidak ingin naik pesawat.
Kini peristiwa nahas pada 30 Januari 1991 itu terekam jelas di ingatannya. Bukti fisik berupa foto dan kliping berita dari media nasional seperti Jawa Pos dan Kompas disimpannya rapi.
Dari pemberitaan media itu pula, ia baru tahu bahwa hutan tempat mereka jatuh adalah kawasan pegunungan Tihengo, Kecamatan Atinggola, berbatasan dengan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara.
Advertisement