Liputan6.com, Malang - Lirik lagu "Juwita Malam" mengalun lirih siang itu. Tembang musik Indonesia yang dipopulerkan band Slank itu diputar di lantai dua Gedung Kesenian Gajayana, Kota Malang, Jawa Timur.
Suasana di tempat yang memiliki beberapa ruangan itu tampak tenang. Deretan rak berisi kaset lagu, cakram padat atau CD, buku, majalah tentang musik nasional dan internasional memenuhi ruangan. Tempat itu adalah Museum Musik Indonesia (MMI).
"Selama sehari penuh berbagai lagu akan diputar. Kebetulan hari ini kan bertepatan dengan Hari Musik Nasional," kata juru bicara Museum Musik Indonesia Malang, Anang Tri Basuki, Jumat, 9 Maret 2018.
Baca Juga
Advertisement
Museum tak berdiri dengan begitu saja. Cikal bakalnya adalah kumpulan komunitas pencinta musik di Kota Malang, kemudian berubah menjadi Galeri Malang Bernyanyi, hingga bertransformasi menjadi Museum Musik Indonesia pada 2015 lalu.
Pendiriannya berawal dari ide Hengky Herawanto yang juga ketua museum. Berbagai koleksi pribadi milik Hengky, baik itu kaset sampai buku musik, mengisi museum. Kini yang tersimpan di museum sudah mencapai lebih dari 20 ribu koleksi.
Mulai piringan hitam, kaset, CD, VVD dari berbagai genre seperti pop, rock, jazz, lagu daerah dan sebagainya. Karya terlangka yang disimpan adalah piringan hitam produksi 1924. Selain itu, ada majalah dan buku musik. Berbagai koleksi itu sebagian besar karya seniman Indonesia.
Namun, ada juga karya musikus internasional dari benua Eropa, Asia, sampai Amerika yang dikoleksi. Saking banyaknya, masih ada koleksi ditempatkan dalam kardus menunggu giliran dipajang. Alat musik tradisional dari belasan daerah pun turut dikoleksi.
"Koleksi di museum ini adalah sumbangan dari pencinta musik dan kolektor dari dalam negeri maupun mancanegara," ujar Anang.
Tukar Koleksi
Tak sedikit musikus Tanah Air berkunjung ke Museum Musik Indonesia. Di antara mereka ada pula yang turut menyumbangkan koleksi pribadinya ke museum. Sehingga, jumlah koleksinya terutama karya musik nasional akan terus bertambah dari waktu ke waktu.
Faizzatus Sa’diyah, seorang kurator Museum Musik Indonesia, mengatakan selalu ada sumbangan yang masuk ke museum. Pernah, ada sebuah sekolah musik menyumbangkan 7 ribu koleksinya.
"Sering juga kami bertukar koleksi dengan tempat lainnya untuk kepentingan penelitian," kata Faiz, sapaan Faizzatul.
Menurut dia, syair lagu karya musikus Indonesia pada era 1960-an hingga 1970 tak melulu berkisah tentang percintaan anak muda. Dalam syair lagu musikus saat itu, banyak pesan tentang Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), kritik sosial, serta percintaan pejuang kemerdekaan.
Beberapa karya musikus era itu menarik minat penelitian Buk-Seoul Museum Art dari Korea Selatan. Pengelola museum itu kesulitan menemukan karya yang merekam perjalanan musisi perempuan era itu. Beruntung mereka bisa mendapatkannya di Museum Musik Indonesia.
"Kami saling bertukar koleksi. Itu menunjukkan karya musikus kita juga sangat berkualitas," ujar Faiz.
Advertisement
Konservasi Musik Indonesia
Museum Musik Indonesia diharapkan menjadi tempat konservasi karya cipta musik Indonesia. Bukan sekadar mengkoleksi, tapi tapi juga mendata, merawat dan menginventarisasi sekaligus meresensi karya musisi Indonesia.
"Jadi media pendidikan bagi anak–anak Indonesia, agar menghargai karya musik dalam negeri," kata Ketua Museum Musik Indonesia, Hengky Herawanto, dalam sebuah kesempatan.
Museum tak hanya jadi ajang bernostalgia, tapi bisa lebih mengenali karya-karya musikus Indonesia yang juga diakui dunia internasional. Museum ini sekaligus merawat budaya, apalagi melalui musik berpotensi membawa nama Indonesia ke dunia internasional.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Baca Juga
Menteri Kebudayaan Fadli Zon Dukung Kegiatan Tribute Musisi 1960-an, Hormati Legenda Musik Indonesia
Apresiasi Menteri Kebudayaan Fadli Zon pada Penyelenggaraan Malam Puncak AMI Awards, Dukung Musik Indonesia
Menbud Fadli Zon Harap Musik Indonesia Bisa Jadi Penggerak Persatuan hingga Kekuatan Budaya