Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tertekan selama sepekan. Saham-saham berkapitalisasi besar alami koreksi tajam menekan IHSG.
Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Sabtu (10/3/2018), IHSG melemah 2,3 persen selama sepekan dari periode 2 Maret-9 Maret 2018. IHSG alami koreksi dari 6.582 ke posisi 6.433.
Penurunan IHSG tersebut didorong saham-saham berkapitalisasi besar masuk LQ45 turun tiga persen selama sepekan. Investor asing pun masih melakukan aksi jual mencapai US$ 327 juta.
Sementara itu, indeks BINDO yang menunjukkan pasar obligasi juga susut 0,6 persen selama sepekan. Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun berada di posisi 6,8 persen. Berbeda dengan pasar saham yang terjadi aksi jual, investor asing melakukan aksi beli US$ 1,1 miliar. Namun, rupiah masih tertekan di posisi 13.797 per dolar Amerika Serikat (AS).
Baca Juga
Advertisement
Vice President Sales and Marketing Distribution, PT Ashmore Assets Management Indonesia, Lydia Toisuta mengatakan, ada sejumlah faktor dari eksternal dan internal pengaruhi pasar modal termasuk IHSG.
Dari eksternal, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akhirnya mengumumkan dan meneken tarif impor baja sebesar 25 persen, dan aluminium sekitar 10 persen.
Tak seperti rencana awal, kini Trump menawarkan rencana lebih fleksibel dibandingkan sebelumnya. Ini ditunjukkan dari Kanada dan Meksiko yang dikecualikan dari pengenaan tarif impor tersebut. Jumlah negara yang dikecualikan dari tarif itu kemungkinan bertambah, salah satunya Australia.
Dengan kebijakan Trump tersebut membuat sejumlah negara membalas. Salah satunya Uni Eropa akan membalas dengan penerapan tarif impor sepeda motor, pakaian dan alkohol dari AS. Sementara itu, negara di Asia Pasifik juga menandatangani kesepakatan perdagangan pasifik.
"Pasar saham global juga negatif seiring merespons mundurnya penasihat ekonomi Trump yaitu Gary Cohn yang mempermasalahkan tarif impor," tutur Lydia.
Selain itu, Trump juga akan bertemu dengan Kim Jong Un. Hal itu disampaikan pejabat Gedung Putih dan delegasi Korea Selatan. Diperkirakan pertemuan itu pada Mei 2018.
Dari Asia, Bank Sentral Jepang mempertahankan suku bunga negatif -0,1 persen. Ini sejalan dengan pandangan sebelumnya. Bank Sentral Jepang menyatakan, inflasi akan terus meningkat dan mencapai target dua persen pada 2019.
Bank Sentral Jepang meyakinkan investor untuk tidak terburu-buru memutar kembali stimulus besarnya dan tetap berhati-hati. Ini menenangkan pasar usai ada pernyataan pada pekan lalu mengenai keluarnya stimulus pada 2019.
Lydia menambahkan, pimpinan Bank Sentral Eropa Mario Draghi lebih percaya diri dalam pertemuan Bank Sentral Eropa. Bank Sentral Eropa mempertahankan suku bunga stabil dalam pertemuan terakhirnya.
Namun dalam pertemuan itu Draghi menyiratkan kalau zona euro tidak lagi dalam penurunan bahaya ekonomi.Dari internal, sentimen pengaruhi pasar yaitu Menteri ESDM Ignasius Jonan mengumumkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan listrik tetap hingga 2019. Ini disetujui Presiden Joko Widodo karena sebagai bagian upaya untuk menjaga daya beli masyarakat.
Selain itu, pemerintah juga menetapkan harga batu bara untuk kewajiban pasar domestik sebesar US$ 70 per metrik ton (MT).Lembaga pemeringkat internasional Moody's pun menanggapi haga BBM tetap hingga 2019 tersebut. Moody's menilai hal itu dapat menganggu peringkat Indonesia lantaran pembalikan dari reformasi. Pernyataan Moody's tersebut menjadi sentimen negatif buat IHSG pada pekan ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Selanjutnya
Kemudian apa yang dicermati ke depan?Ashmore menyoroti pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah terus bergerak di kisaran 13.700-13.800 per dolar AS. Lydia menuturkan, pihaknya menerima respos apakah kemungkinan kenaikan suku bunga acuan.
"Sementara secara teoritis, tingkat kenaikan (suku bunga) merupakan salah satu alat utama bagi bank sentral untuk menstabilkan mata uang, kami tidak melihat ini segera terjadi," ujar Lydia.
Adapun dua indikator utama yang digunakan Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga antara lain tekanan inflasi dan depresiasi.
"Beberapa data yang ditelusuri dari 2008 menunjukkan dibandingkan dengan tahun-tahun ketika kenaikan suku bunga terjadi untuk menstabilkan mata uang. 2018 masih singkat untuk melihat tekanan inflasi dan depresiasi," jelas dia.
Lydia menambahkan, indikasi pertamanya yaitu inflasi masih terjaga. Pada titik inflasi tertinggi secara year to date (ytd), tingkatnya 3,3 persen. Bandingkan target pemerintah 4,5 persen.
"Kami melihat situasi mirip 2010, inflasi tak tinggi," ujar dia.
Indikasi kedua, tekanan rupiah juga diimbangi dengan cadangan devisa. "Secara month to month pada Februari 2018 menunjukkan depresiasi rupiah sebesar 1,7 persen dan cadangan devisa turun 1,7 persen. Tekanan mungkin tidak memerlukan respons signifikan pada saat ini. Namun kami menyadari kalau tekanan berlanjut pada Maret 2018 yang mungkin mengharuskan BI untuk menilai ulang tekanan rupiah," jelas dia.
Lydia menuturkan, intervensi lewat cadangan devisa masih menjadi garis pertahanan pertama untuk menstabilkan rupiah. Ia melihat, BI masih melakukan sedikit intervensi untuk stabilkan rupiah.
"Terakhir kali intervensi agresif pada 2013 dengan total penurunan cadangan sebesar US$ 23 miliar. Dalam waktu dekat kunci permintaan pasokan dolar AS menjadi fokus. Ini berarti data ekspor, impor, dividen akan diawasi ketat serta pergreakan portofolio harian," kata dia.
Advertisement