Liputan6.com, Jakarta - Luka dalam masih tertoreh di hati para korban teror bom dan keluarga. Sejarah kelam teror bom Bali 1 dan 2, bom JW Marriot 1 dan 2, bom Kedubes Australia, bom Kedubes Filipina, serta bom Thamrin, juga meninggalkan luka di fisik korban.
Bagaimana tidak? Ratusan nyawa melayang, ribuan korban mengalami cacat abadi, derita berkepanjangan pun harus mereka rasakan.
Advertisement
Kini, penyintas teror itu mulai membuka hati. Mereka pun bersedia menjalin silaturahmi dengan para mantan napi terorisme melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai kepanjangan tangan pemerintah, sebagai fasilitator.
Penyintas dan mantan napi terorisme (napiter) ini bertemu dalam sebuah kegiatan Silaturahmi Kebangsaan (Satukan) NKRI yang digelar akhir Februari lalu di Jakarta. Kegiatan ini merupakan pertama kalinya di dunia penyintas dan mantan napi teroris dipertemukan secara langsung.
Kata "maaf" pun terucap dari para mantan napi ke korban teror bom. Beberapa di antaranya masih menjalin silaturahmi hingga kini.
"Saya hanya bisa berlapang dada menerima ini. Mungkin ini sudah takdir dari Allah SWT. Saya harus memaafkan mereka. Allah saja Maha pemaaf, masa saya tidak memberi maaf," kata korban bom Bali, Chusnul Chotimah, Jumat (9/3/2018).
Chusnul Chotimah adalah korban teror bom Bali 1. Dia cacat seumur hidup akibat peristiwa kelam itu. Muka dan sekujur tubuhnya mengalami luka bakar. Meski sudah menjalani operasi plastik, kondisi tubuhnya tetap tidak bisa kembali seperti semula.
"Untuk apa kita dendam karena dendam tidak akan mengubah bentuk saya," tukas Chusnul.
Dia mengaku sempat menyimpan dendam kepada para pelaku. Namun seiring berjalannya waktu, dia mengaku berusaha belajar ikhlas dan menerima takdir ini. Dia merasa lebih lega dan ingin menjalani hidup lebih tenang ketika ikhlas.
Namun, dia tetap berharap tidak ada lagi aksi terorisme di Tanah Air.
"Dari air kita belajar ketenangan. Dari batu kita belajar kekuatan, dari tanah kita belajar kehidupan dari kekerasan kita belajar hidup cinta damai. Maka cukuplah jangan ada lagi teror di negara kita. Mari kita jaga keutuhan NKRI tercinta ini," tutur Chusnul Chotimah.
Inspirasi Awal Baru
Hal serupa diungkapkan korban teror bom Kedubes Australia, Iwan Setiawan. "Menurut saya sebaiknya kita tidak memendam rasa dendam. Mereka (mantan napiter) juga manusia yang punya rasa salah. Mungkin waktu itu mereka khilaf. Kalau mereka minta maaf, saya maafkan. Pesan saya jangan membalas kekerasan dengan kekerasan baru, kalau mereka menebarkan api, kita harus menebarkan air," ungkap Iwan, seperti dalam siaran pers yang diterima Liputan6.com.
Iwan harus kehilangan istri dan mata kanannya akibat ledakan dahysat di depan Kedubes Australia, 9 September 2004 lalu. Tidak hanya itu, Iwan kehilangan pekerjaannya sebagai pegawai bank. Kini, dengan keterbatasn fisiknya, Iwan mengandalkan hidup dengan membuka usaha jual beli dan servis komputer dengan label Bom Bom Komputer di Pondok Cina, Depok.
Advertisement