Sekadar Ingin Nyaman, Warga Malah Diperiksa Polisi

Warga Perumahan Bukit Permata Puri mempertanyakan hak warga negara untuk merasa aman dan nyaman, namun malah diperiksa polisi.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 12 Mar 2018, 03:00 WIB
Achmad Zubaidi, ditemani para tetangga dan tokoh masyrakat ketika menghadap penyidik Polrestabes Semarang. (foto : liputan6.com / edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Semarang - Sudah beberapa bulan ini warga Komplek Permata Puri, Ngaliyan, Semarang merasa hidup tidak nyaman. Mereka mengaku terganggu dengan pembangunan apartemen Amartha View. Sebenarnya, ketidaknyamanan itu lebih disebabkan karena akses jalan ke perumahan mereka menjadi rusak, dan juga getaran akibat penanaman tiang pancang membuat polusi suara.

Bermula dari hal itu, maka warga kemudian menutup akses yang melewati perumahan mereka, sebagai strategi untuk mengajak berunding. Penutupan akses jalan ini dilakukan dengan membangun portal yang dibuat dari drum.

Tak disangka, portal itu kemudian dibongkar Satpol PP hingga beberapa kali. Perundingan yang diinginkan tak pernah terwujud, namun warga malah diperiksa polisi.

Adalah Ahmad Zubaidi (48) yang diperiksa penyidik di Polrestabes Semarang, Sabytu (10/3/2018). Dia diperiksa karena bersama dengan beberapa warga lainnya membentuk gerakan "Save Permata Puri".

"Kami tetap datang karena kami berharap mungkin melalui pemeriksaan ini suara kami bisa didengar. Perundingan bisa dilakukan," kata Ahmad Zubaidi.

Ia datang ke Mapolrestabes Semarang tak sendiri. Hampir seluruh warga yang tergabung dalam forum RW "Save Permata Puri" ikut mengantarkan.

"Sebenarnya kami tidak menolak pembangunan apartemen itu. Semarang biar maju. Namun pembangunan itu tolong jangan merampas hak kami. Hak untuk merasa aman dan nyaman. Ke depan juga persoalan air tanah akan jadi masalah. Kami khawatir tanah ambles jika air tanah banyak diambil," kata Yuli Yulianto, ketua Forum RW "Save Permata Puri".

 


Mediasi Wali Kota

Situasi pembangunan apartemen Amartha View yang dikeluhkan warga. (foto: Liputan6.com / dok.warga / edhie prayitno ige)

Apartemen Amartha View direncanakan sampan tujuh tower. Dalam keberatan warga yang dilaporkan kepada Wali Kota Hendrar Prihadi, sebenarnya sudah diberi jalan keluar melalui SK Wali Kota terkait izin lingkungan. Dimana dalam SK tersebut disebutkan bahwa pengembang dalam hal ini PT PP harus membuat akses jalan ke lokasi pembangunan. Bukan lewat jalan perumahan.

"Sampai sekarang, nyatanya masih lewat jalan perumahan. Ketika kami tutup, malah Satpol PP yang membongkar," kata Yulianto.

Menurut Yulianto, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi juga sudah memerintahkan Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Semarang dan Kepala Dishubkominfo karena masih ada persoalan yang harus diselesaikan dengan warga.

"Bahkan saat itu Wali Kota sempat menelepon pimpinan PT PP Property. Sayang saat itu tak diangkat entah karena apa. Padahal yang menelepon sekelas Wali Kota," kata Yuli.

Sementara itu, project manager PP Property Amartha View Amaludin Herdi dalam kesempatan sebelumnya menyebutkan bahwa sesuai dengan Amdal lalin yang dikantongi, menyebutkan bahwa akses jalan menuju lokasi proyek selain melalui jalan Prof Hamka, juga bisa melalui Jalan Bukit Barisan.

Semua perizinan beralamat di jalan Prof Hamka, namun itu merupakan satu kawasan di perumahan Bukit permata Puri. Karenanya dipersyaratkan pengembang harus memiliki akses lain agar tak ada tumpukan material di Jalan prof Hamka.

 


Audit Sosial Dengan Drum

Warga Permata Puri membangun portal untuk membatasi akses kendaraan besar agar jalan tak rusak. (foto: Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Sebenarnya kasus ini juga sudah diproses di pengadilan. Kesepakatan sementara, selama proses pengadilan berlangsung, pembangunan diijinkan tetap berjalan, namun harus memperhatikan keamanan dan kenyamanan warga dan melalui akses jalan lainnya.

"Peraturannya jelas, jalan lingkungan hanya boleh dilalui kendaraan maksimal bertonase 8 ton. Yang terjadi saat ini, ada yang lebih dari 40 ton. Dampaknya jalan dan rumah jadi rusak. Keamanan lalu lintas di perumahan juga mengkhawatirkan," kata Yuli.

Patah arang dengan keberpihakan negara dan ketiadaan niat baik pengembang untuk patuh pada aturan, mulai Januari 2018, warga menggelar audit sosial. Mereka membangun portal dengan tujuan membatasi akses kendaraan berat.

"Sudah dua kali Satpol PP kota Semarang datang membongkar portal. Selama hak keamanan dan kenyamanan atas warga tak diindahkan, portal akan terus berdiri. Dirobohkan, kami bangun lagi. Dirobohkan lagi, kami akan bangun lagi. Begitu seterusnya," kata Yulianto.

Kasus ini sendiri telah dilaporkan warga ke sejumlah pihak. Diantaranya ke kantor pusat BUMN PT PP, walikota, gubernur bahkan pemerintah pusat lewat akun media sosial dan pelaporan secara online.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya