Liputan6.com, Bali - Bali selalu mengundang rindu, baik pada keeksotisan alamnya atau pada keunikan budayanya. Namun, salah satu magnet pariwisata di Pulau Dewata tengah berduka. Warga Ubud, Kabupaten Gianyar, berkumpul menyiapkan upacara besar, yakni ngaben jenazah permaisuri dari raja terakhir Ubud.
Seperti ditayangkan Potret SCTV, Senin (12/3/2018), segala persiapan dilakukan, maklum saja kremasi jasad Anak Agung Niang Agung tinggal hitungan hari. Dari seabrek pernak-pernik ngaben, inilah yang terpenting.
Advertisement
Orang Bali lazim mengenalnya dengan sebutan bade, pagoda yang jadi wahana jenazah permaisuri dari puri menuju lokasi kremasi. Butuh dua bulan untuk mengerjakan bade setinggi 27 meter ini. Sayap dan tumpang sembilan, adalah bagian pamungkas dan hiasan vital dalam pemasangan bade.
Berpacu dengan waktu, butuh tenaga ekstra dan kekompakan. Sang arsiktek bade, alias kepala undagi, terus mengamati dan memastikan sayap bade terpasang sempurna. Lazimnya lelaki Bali, ia tak melupakan akar leluhur, dan sudah dua bulan mengabdi untuk puri.
Sementara keluarga besar Puri Ubud bersiap mengadakan upacara mersalin. Sebuah prosesi mengganti pakaian secara simbolis sebelum jenazah dikremasi esok harinya. Mendiang Anak Agung Niang Agung merupakan istri ke dua dari raja Ubud yang terakhir, yakni Tjokorda Gde Agung Sukawati.
Pedanda memegang dupa sembari berdoa, yakni seorang rohaniawan Hindu memimpin prosesi ini dengan hikmat. Pelan-pelan kain kafan dibuka, tali-tali pengikat juga dilepaskan. Keluarga bergantian memasangkan kain adat Bali ke jenazah Niang Agung.
Pedande terus melantunkan doa sembari keluarga mengganti peti jenazah dengan yang baru. Inilah bentuk perhatian terakhir dari anak-anak mendiang sebelum jasad melebur dengan api menjadi abu.
Pagi-pagi buta, keluarga inti Puri Ubud mengukur lokasi pembakaran jenazah. Proses ini sekaligus meminta izin kepada leluhur mereka. Pemuka agama melantunkan doa, diiringi dengan percikan air suci mengelilingi area pemakaman.
Sebagai salah satu rangkaian ngaben, penari rejang berlenggak-lenggok menjadi penanda prosesi segera dimulai. Pemuka agama Hindu, Dharma Pedande, melafalkan doa di pelataran puri. Memohon kepada Sang Hyang Widhi agar ngaben berjalan lancar.
Masyarakat tumpah ruah di sekitar puri sejak pagi hari. Semua menyatu, bahu-membahu bersiap menggotong bade dan lembu menuju lokasi kremasi. Tabuhan kendang dan gamelan menambah meriah suasana. Lembu hitam melaju lebih dulu, disusul bade di belakangnya.
Tiba di pemakaman, pelan-pelan jenazah diturunkan. Berganti posisi, jenazah dibaringkan di atas lembu hitam, tempat peristirahatan terakhir bagi Niang Agung. Anak-anak dipandu oleh Pedande, berdiri dan berdoa di hadapan jenazah permaisuri untuk terakhir kalinya.
Bara api menyala, membakar lembu berisi jenazah Niang Agung. Dalam hitungan jam, jenazah Niang Agung melebur menjadi abu. Inilah akhir dari prosesi ngaben. Orang Bali percaya setelah mayat menjadi abu, arwah Niang Agung telah menyatu dengan para leluhur mereka.