Liputan6.com, Jakarta - Penangkapan Hakim dan panitera pengganti Pengadilan Negeri Tangerang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, menambah daftar panjang para penjaga keadilan tergiur akan uang haram.
Mahkamah Agung (MA) sebagai watchdog atau anjing penjaga peradilan justru merasa terpukul dengan kabar tersebut. Pasalnya, regulasi atau aturan yang selama ini dibuat untuk menghindari praktek korup, ternyata masih ada yang terperosok juga.
Advertisement
Salah satu regulasi yang dikeluarkan oleh MA adalah menerbitkan tiga paket Peraturan MA (PERMA) Nomor 7, 8, 9 Tahun 2016, yang pada intinya mengatur mekanisme pembinaan dan pengawasan aparatur peradilan.
Bukan itu saja, yang paling baru, MA mengeluarkan Maklumat Ketua MA Hatta Ali Nomor 01/Maklumat/KMA/IX/2017 tentang Pengawasan dan Pembinaan Hakim, Aparatur MA, dan Badan Peradilan di Bawahnya.
"Setiap OTT adalah pukulan berat buat bagi kita. Karena segala usaha untuk perbaikan, mengeluarkan regulasi dan sebagainya, tak berarti setelah OTT ini," ucap juru bicara MA Suhadi kepada Liputan6.com, Selasa 13 Maret 2018.
Selain itu, sebagai bentuk komitmennya, Hakim Wahyu Widya Nurfitri dan panitera pengganti Tuti Atika yang diduga menerima suap sebesar Rp 30 juta dari dua orang pengacara bernama Agus Wiratno dan HM Saifudin, diberhentikan sementara saat KPK menetapkan keduanya menjadi tersangka.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah juga menyebutkan, pihaknya tentu tidak akan memberikan toleransi dengan adanya perbuatan seperti itu. Di mana tak mendukung terwujudnya reformasi birokrasi.
"MA tidak akan memberikan toleransi bahkan zero toleransi terhadap aparat MA yang tidak mendukung reformasi birokrasi menuju wilayah bebas korupsi. Jika terbukti, Insyaallah diamputasi hari itu juga. MA tidak akan melindungi aparat yang cacat integritasnya," ungkap dia kepada Liputan6.com.
Namun, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Laola Ester menilai, praktek-praktek yang terjadi dengan OTT KPK hari ini terhadap yang pernah dilakukan para hakim, selalu sama. Suap.
Mekanisme Kontrol Tidak Berjalan
Dia pun berpandangan, MA sebagai institusi tidak berjalan mekanisme kontrolnya. Sehingga perkara korupsi itu terjadi.
"Ini berarti ada mekanisme kontrol di intenal MA yang tidak berjalan. Karena modusnya sama, yaitu suap," ungkap Laola kepada Liputan6.com.
ICW sendiri pernah mendata, yaitu sejak Hatta Ali dilantik menjadi Ketua Mahkamah Agung (Maret 2012-Oktober 2017) setidaknya sudah ada 25 orang hakim dan aparat pengadilan (nonhakim) yang tersandung kasus korupsi. Sebagian besar terjerat OTT KPK. Mereka terdiri dari 10 orang hakim dan 15 pegawai pengadilan atau Mahkamah Agung.
ICW meminta MA untuk mengevaluasi pelaksanaan Perma 8 Tahun 2016, dengan cara melakukan evaluasi terhadap Ketua Pengadilan Negeri/Banding untuk memastikan integritas, kualitas, dan kemampuan yang bersangkutan dalam melaksanakan Perma tersebut.
Sementara itu, Komisi Yudisial (KY) menuturkan pihaknya telah melakukan upaya agar dunia peradilan di Indonesia bersih dari praktik suap dan gratifikasi. Masukan serta rekomendasi telah diberikan kepada Mahkamah Agung, tapi upaya tersebut masih belum disambut baik.
"Jika sebagian besar rekomendasi KY tidak dijalankan oleh MA dan selama peradilan tidak benar-benar mau berubah. Memang selama ini banyak langkah pembinaan yang dilakukan MA agar para hakim senantiasa terjaga integritasnya," ujar juru bicara KY Farid Wajdi.
Advertisement
Daftar Panjang Hakim Ditangkap Korupsi
Penangkapan terhadap hakim bukan hanya kali ini saja. Liputan6.com coba merangkum hakim dan pejabat pengadilan yang terjaring operasi senyap tim penindakan KPK. Berikut beberapa nama yang ada.
1. Hakim MK Patrialis Akbar
Di awal tahun 2017, KPK menangkap Hakim Konstitusi Patriais Akbar pada 25 Januari di Grand Indonesia bersama seorang wanita. Patrialis diduga menerima suap dari Basuki Hariman terkait uji materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Sebelum Patrialis ditangka, KPK lebih dahulu mengamankan orang dekat Patrialis yang bernama Kamaludin. Penangkapan Kamaludin dilakukan tim KPK di lapangan golf Rawamangun, Jakarta Timur.
Setelah itu, tim penindakan bergerak ke kantor Basuki Hariman yang berlokasi di wilayah Sunter, Jakarta Utara. Tim KPK tidak hanya mengamankan Basuki, tapi juga sekretaris beserta karyawannya.
Patrialis terbukti menerima suap dari Basuki Hariman dan staffnya NG Fenny. Patrialis dan orang dekatnya Kamaludin menerima Rp 50.000 dollar AS, dan Rp 4 juta.
Patrialis divonis delapan tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Majelis hakim juga menjatuhkan hukuman tambahan berupa uang pengganti sebesar 10.000 dollar AS dan Rp 4.043.000, atau sama dengan jumlah suap yang diterima Patrialis.
2. Hakim Anggota Pengadilan Tipikor Bengkulu Dewi Suryana
Pada Rabu 6 September 2017, tim Satgas KPK kembali menangkap seorang hakim bernama Dewi Suryana. Dewi merupakan hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu. Bersama Dewi, tim juga mengamankan panitera pengganti Pengadilan Tipikor Bengkulu Hendra Kurniawan.
Penangkapan terhadap keduanya bermula dari informasi yang didapat dari Mahkamah Agung (MA). Setelah mendapat informasi dari MA, tim penindakan KPK sekitar pukul 21.00 WIB langsung mengamankan pensiunan Panitera Pengganti Dahniar, seorang pegawai negeri sipil (PNS) berinisial S, serta pihak swasta berinisial DEN. Ketiganya diamankan di rumah Dahniar.
Dari lokasi tersebut ditemukan barang bukti berupa kuitansi yang bertuliskan 'Panjer Pembelian Mobil' tertanggal 5 September 2017.
Kemudian pada Kamis, 7 September 2017 sekitar pukul 00.00 WIB dini hari, KPK mengamankan Panitera Pengganti Hendra Kurniawan di kediamannya. Selanjutnya pukul 01.00 WIB, tim mengamankan hakim Dewi Suryana di tempat tinggalnya pula.
Masuk pukul 02.46 WIB, tim satgas kembali ke rumah Dewi Suryana dan mengamankan uang sebesar Rp 40 juta yang dibungkus kertas koran dalam sebuah kantong plastik hitam. Kelima orang itu dibawa ke Mapolda Bengkulu untuk pemeriksaan awal. Usai diperiksa, kelimanya dibawa ke Gedung KPK Kuningan Jakarta.
Sementara itu di Bogor, Kamis pukul 20.37 WIB, KPK mengamankan pihak swasta Syuhadatul Islamy di Hotel Santika, Bogor, Jawa Barat. Yang bersangkutan juga langsung dibawa ke Gedung KPK.
OTT tersebut terkait dengan dugaan suap penanganan perkara terdakwa Wilson yang terjerat kasus korupsi kegiatan rutin pada Dinas Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Bengkulu 2013.
KPK sendiri menetapkan tiga tersangka dalam OTT Pengadilan Tipikor Bengkulu. Mereka adalah Hakim Dewi Suryana, Panitera Pengganti Hendra Kurniawan, dan pihak swasta Syuhadatul Islamy.
Hakim PT Manado
3. Hakim PT Manado Sudiwardono
Tak sampai satu bulan dari penangkapan Dewi Suryana, pada Sabtu 7 Oktober 2017, tim penindakan KPK kembali menangkap seorang hakim. Yakni Ketua Pengadilan Tinggi Manado, Sulawesi Utara, Sudiwardono.
Sudiwardono diduga menerima suap dari anggota DPR RI Aditya Anugrah Moha terkait banding kasus korupsi Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintah Desa (TPAPD) Bolaang Mongondow, dengan terdakwa Marlina Moha Siahaan yang merupakan ibu dari Aditya Anugrah Moha.
Penangkapan terhadap keduanya bermula saat Sudiwardono beserta istri tiba di Jakarta dari Manado menuju hotel di kawasan Pecenongan, Jakarta Pusat. Hotel itu diduga dipesan oleh Aditya Anugrah Moha.
Pada Jumat 6 Oktober 2017, sekitar pukul 23.15 WIB, sekembalinya dari makan malam Sudiwardono tiba di hotel tempat menginap. Beberapa saat setelah itu diduga uang diserahkan Aditya Anugrah Moha di pintu darurat hotel.
Kemudian tim KPK menangkap Aditya beserta ajudannya di lobi hotel. Saat tim KPK ke kamar hotel Sudiwardono ditemukan SGD 30 ribu dalam amplop putih dan SGD 23 ribu dalam amplop cokelat. Dalam proses tangkap tangan itu, tim KPK juga mengamankan SGD 11 ribu di mobil milik Aditya.
4. Panitera Pengganti PN Jakarta Selatan Tarmizi
Pada 21 Agustus 2017, tim penindakan KPK mengamankan Panitera Pengganti PN Jakarta Selatan Tarmizi, dan seorang kuasa hukum bernama Akhmad Zaini.
Penangkapan ini bermula ketika pemilik Aquamarine Divindo Inspection (ADI) Yunus Nafik menyuap Tarmizi dengan uang sejumlah Rp 425 juta agar perkara perdata yang menyangkut perusahaan itu dapat ditolak.
Kasus ini bermula atas gugatan perdata oleh EJFS ke PT ADI atas perkara cedera janji karena tidak menyelesaikan tugas sesuai waktu sehingga mengakibatkan kerugian. Penggugat meminta ganti rugi sebesar US$ 7,6 juta dan 131 ribu dolar Singapura.
Untuk mengamankan kasus, Akhmad Zainu selaku kuasa hukum PT ADI membuat kesepakatan dengan panitera pengganti Tarmizi untuk menyerahkan uang sebesar Rp 425 juta. Uang ini diserahkan agar gugatan ditolak.
Putusan akan dilakukan 21 Agustus 2017 setelah beberapa kali ditunda.
Penyerahan uang pun dilakukan bertahap menggunakan transfer. Pertama 22 Juni 2017 sebesar Rp 25 juta sebagai dana awal operasional. Kemudian, 16 Agustus 2017 sebesar Rp 100 juta dengan disamarkan sebagai pembayaran DP tanah.
KPK mengungkap penyerahan terakhir dilakukan pada 21 Agustus 2017 sebanyak Rp 300 juta. Uang itu disamarkan sebagai pelunasan pembayaran tanah. Tarmizi sudah terbukti bersalah dan divonis empat tahun penjara.
Advertisement