Liputan6.com, Jakarta Gedung berlantai 24 di kompleks parlemen Senayan itu terlihat megah dan kokoh. Bertinggi 100 meter, Nusantara I--begitu ia dinamai--merupakan tempat berkantor 560 anggota DPR beserta tenaga ahlinya. Namun, gedung yang dibangun pada 1992 dan diresmikan lima tahun kemudian tersebut konon sudah miring dan harus total direnovasi.
Kabar ini sebetulnya bukan kabar baru, namun kini kembali lagi mengemuka.
Advertisement
"Sudah lebih dari 15 tahun ini, belum ada renovasi total Gedung Nusantara I. Padahal dari rekomendasi PU-PR, sudah harus ada renovasi yang lebih menyeluruh. Karena bangunannya sudah miring," Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan menjelaskan, Kamis pekan lalu.
Tak sekadar miring, Gedung Nusantara I juga dikeluhkan karena dianggap tak lagi sanggup menampung jumlah penghuninya. Sejumlah fasilitasnya juga dinilai tak lagi layak. Lift kerap rusak dan toilet tak terawat.
Seperti sebelumnya, berbagai keluhan ini bermuara di satu hal: usulan membangun gedung parlemen yang baru.
"Kami kesulitan karena daya tampung tak memadai. Terutama dengan adanya penambahan staf tenaga ahli dan staf administrasi. Jadi ini mendesak," ujar Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Rabu kemarin.
Untuk keperluan itu, DPR pun lantas menggenjot pagu anggaran mereka di tahun 2018. Meski bujet sudah disetujui untuk dinaikkan menjadi Rp 5,7 triliun--naik Rp 1,4 triliun dari pagu Tahun Anggaran 2017--Parlemen tetap ngotot agar angka itu bisa naik lagi menjadi Rp 7,2 triliun.
"Ya kami akan mengajukan Rp 7,2 triliun. Kami transparan, enggak ada yang ditutup-tutupi," ujar Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR Anton Sihombing, sebelumnya. "Saat ini anggota DPR ada 560 dan hasil Pemilu 2019 ada sebanyak 575 orang, dan setiap anggota memiliki lima orang tenaga ahli, sehingga penghuninya sudah sangat padat, melebihi kapasitas."
Tapi, nanti dulu, apa iya Gedung Nusantara I miring dan tak layak dipakai?
Fakta:
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) punya pandangan berbeda. Menteri PUPR Basuki Hadimuljono menyatakan soal itu masih memerlukan kajian mendalam. "Untuk kondisi Gedung Nusantara 1, pada tahun 2010 lalu memang ada audit PU, kondisinya dinyatakan masih baik. Saat ini belum ada permintaan resmi dari DPR untuk itu (audit)," kata Basuki di Jakarta, Selasa kemarin.
Selain itu, Nusantara I pernah diperbaiki.
Awalnya pada 15 September 2009. Kementerian PU menerima permohonan audit dari Ketua DPR Marzuki Alie tentang konstruksi Gedung Nusantara I. Tujuannya untuk memeriksa kondisi gedung usai gempa bumi 7 SR di Tasikmalaya pada 2 September 2009. Kementerian PUPR lalu mengirimkan tim untuk melakukan pemeriksaan visual atau quick assessment pada 2-4 Oktober 2009.
Hasil pemeriksaan menyimpulkan Gedung Nusantara I mengalami kerusakan non-struktural, seperti retak kecil dan dinding yang terkelupas. Dalam laporan tersebut tidak ditemukan soal Gedung Nusantara I yang miring.
Tim Balitbang Kementerian PUPR kemudian merekomendasikan perbaikan melalui injeksi menggunakan bahan kimia untuk mengisi bagian gedung yang retak. Proyek perbaikan dimulai pada 27 April 2011.
"Mereka (DPR RI) tidak bisa membangun kalau tidak ada rekomendasi PU. Misalnya, multiyears contract tidak bisa jalan, teknisnya kan juga harus direkomendasikan," tegas Menteri Basuki.
Belakangan, Anton Sihombing ikut menampik kabar bahwa Nusantara I sudah miring 7 derajat. Dia menuturkan, yang benar adalah menurut penilaian Kementerian PUPR telah terjadi keretakan dan pergeseran.
"Jadi bukan miring. Menurut assessment tim PUPR, ada pergeseran dan ada keretakan dan harus diinjeksi serta dikurangi bobot," kata Anton,.
Saksikan video berikut ini:
Cerita Lama, Sampul Baru
Keinginan DPR untuk membangun gedung baru terus disuarakan sejak 2006. Namun, cerita sesungguhnya baru dimulai pada tahun 2009 ketika Sekjen DPR mengajukan konsep gedung, lengkap berikut kolam renang dan pusat kebugaran. Bujetnya nauzubillah, sekitar Rp 1,8 trilliun.
Anggaran ini akan digunakan untuk memperbaiki atau memperkuat struktur Gedung Nusantara I sebesar Rp 67,8 miliar dan biaya pembangunan gedung baru senilai Rp 133,3 miliar.
Tapi, angka itu kemudian terus bergerak. Ketua Badan Anggaran DPR ketika itu, Harry Azhar Azis, menyatakan pemerintah dan DPR sepakat akan menganggarkan pembangunan gedung baru DPR dalam tiga tahun. "Kalau tidak salah sudah disetujui sekitar Rp 1,33 triliun," kata Harry.
Gedung baru DPR itu kelak terdiri dari 36 lantai dan 700 ruangan. Rencananya, akan dibangun sejajar, di sebelah Gedung Nusantara I.
Di titik inilah muncul kabar bahwa Nusantara I miring. Adalah Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso yang ketika itu mengungkapkan telah mendapat laporan penelitian Kementerian PU bahwa Gedung Nusantara I DPR miring 7 derajat.
Kementerian PU langsung membantahnya. Kepala Pusat Litbang Permukiman Kementrian PU Anita Firmanti mengatakan laporan itu sama sekali tidak menyebut soal gedung yang dalam kondisi miring. Menurut Anita, laporan Kementerian PU secara umum hanya menyarankan Gedung Nusantara I direnovasi.
Terus dikecam publik, rencana membangun gedung baru ini tak bisa direalisir pada 2010. Namun, DPR sepertinya sudah bertekad bulat. Semangat membangun gedung baru tak pernah padam.
Pada 2010, wacana ini terus mengemuka. Dalam Rapat Paripurna DPR pada 29 Juli 2010, disetujui Rencana Strategis DPR RI 2010-2014 yang berisi perencanaan pembangunan kawasan parlemen dan Gedung DPR.
Tim teknis perencana pembangunan gedung baru yang terdiri dari tim Setjen DPR, tim konsultan, dan perwakilan dari Kementerian Pekerjaan Umum memutuskan bujet yang diperlukan di atas Rp 1 triliun. Namun, hasil kajian Kementerian PU menyimpulkan nilai anggaran yang diperlukan lebih sedikit, Angkanya di kisaran Rp 777 miliar, dengan catatan jumlah lantai dicukupkan 26.
Begitu mendengarnya, DPR langsung meradang.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika itu akhirnya meminta pembangunan gedung baru DPR tidak perlu dilakukan bila tidak dibutuhkan. Sebagian fraksi di DPR juga ikut menolaknya. Akhirnya, pada 23 Mei 2011, Ketua DPR Marzuki Alie memutuskan membatalkan proses tender pembangunan gedung baru DPR.
"Memang dibekukan, tetapi rencananya mungkin akan diteruskan pada periode yang akan datang. Bisa periode depan atau periode berikutnya," kata Wakil Ketua DPR Pramono Anung, sehari setelah pembatalan proses tender itu.
Benar saja. Pada November 2014, wacana gedung baru DPR muncul lagi. Pada 24 April 2015, Ketua DPR Setya Novanto mengumumkan rencana pembangunan gedung baru itu. Dalam rapat pengesahan APBN 2016 disebutkan ada alokasi anggaran Rp 740 miliar untuk keperluan ini.
Namun, lagi-lagi publik keras menolak rencana ini. Puncaknya terjadi pada 14 Agustus 2015. Presiden Joko Widodo menolak menandatangani prasasti pembangunan gedung baru DPR itu. Sekali lagi, hasrat DPR memiliki gedung baru, kembali kandas.
Advertisement
Rapor Merah Kinerja DPR
Keinginan DPR untuk memiliki gedung baru telah menjadi bumerang bagi lembaga itu. Alih-alih mendapat tanggapan positif, publik langsung menyandingkan kinerja DPR dengan mimpi wakil rakyat memiliki kantor baru. Bisa ditebak, kinerja DPR memang tak berbanding lurus dengan tuntutan fasilitas yang terus mereka gaungkan.
Tidak sulit untuk mengukur kinerja anggota DPR, karena tinggal melihat pada tugas dan fungsi DPR serta hasil yang terlihat. Amanat Pasal 20 butir a UUD 1945 menyatakan, DPR sebagai lembaga negara mempunyai tiga fungsi utama, yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Coba kita lihat fungsi legislasi. Dalam Rapat Kerja antara Pemerintah dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Panitia Perancang UU DPD telah disepakati Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Rancangan Undang-Undang (RUU) Prioritas untuk Tahun 2017. Sebanyak 50 RUU ditetapkan menjadi Prolegnas RUU Prioritas di tahun 2017.
"Semoga hasil Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2017 ini sesuai yang diharapkan dan dibutuhkan masyarakat, baik secara kualitas, maupun kuantitas," ujar Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang mewakili pemerintah di ruang Baleg DPR, Rabu 14 Desember 2016.
Namun, dari target yang tak terlalu besar itu, DPR hingga kini hanya mampu menuntaskan 4 RUU menjadi UU, yaitu UU Perbukuan, UU Pemajuan Kebudayaan, UU Konvensi Ketenagakerjaan Maritim, dan UU Pemilu. Dengan pencapaian itu, bisa dipastikan hingga akhir tahun DPR tak akan mampu memenuhi target menuntaskan 50 RUU.
Soal pencapaian target ini, DPR memang kerap hanya semangat di awal namun hasil tak seberapa. Lihat saja capaian pada tahun 2016, dari 50 RUU Prioritas, hanya 10 yang disahkan menjadi UU. Bahkan, pada tahun 2015 dan 2014 hanya mampu mengesahkan masing-masing 3 UU dengan target RUU Prioritas 37 dan 68 RUU.
Kemudian untuk fungsi anggaran, DPR bertugas merancang dan menetapkan APBN bersama pemerintah. Yang terlihat bukannya alokasi anggaran yang tepat, namun permainan anggaran yang kerap diduga dilakukan anggota DPR. Data di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperlihatkan itu.
Hingga saat ini, ada 12 orang anggota DPR periode 2014-2019 yang menjadi tersangka atau dijatuhi vonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor. Mereka berasal dari lintas partai dan untuk kasus yang berbeda.
Mereka adalah Musa Zainudin (PKB), Yudi Widiana Adia (PKS), Andi Taufan Tiro (PAN), Budi Supriyanto (Golkar), I Putu Sudiartana (Demokrat), Patrice Rio Capella (Nasdem), Damayanti Wisnu Putranti (PDIP), Adriansyah (PDIP), Dewie Yasin Limpo (Hanura), Markus Nari (Golkar), Setya Novanto (Golkar), Miryam S Haryani (Hanura),
Selain mereka, masih ada 23 anggota DPR lainnya yang telah dipanggil KPK dalam kasus dugaan korupsi e-KTP. Dengan deretan nama-nama tersebut, layak ditanyakan tentang niat baik anggota DPR dalam mengalokasikan serta mengelola anggaran.
Selanjutnya adalah fungsi pengawasan, yang diharapkan bisa mengkritisi kebijakan pemerintah yang dirasa tidak berpihak kepada rakyat. Pengawasan itu tentu harus terukur dan memperhatikan suara serta keluhan masyarakat.
Yang terlihat adalah DPR berusaha menjadi pengawas yang tegas terhadap lembaga yang dinilai kerap 'tidak bersahabat' dengan DPR. Contoh paling mutakhir yang dilihat publik tentu saja lahirnya Pansus Angket DPR yang berusaha menyigi kinerja serta pengelolaan keuangan KPK.
Tak ada yang salah sebenarnya. Namun, aktifnya DPR menelisik isi KPK dilakukan ketika banyak anggota DPR diduga terlibat dalam megakorupsi proyek e-KTP. Belum lagi, langkah berani KPK menetapkan sejumlah anggota DPR sebagai tersangka dalam berbagai kasus korupsi.
Publik tentu juga belum lupa dengan upaya yang dilakukan DPR terhadap lembaga ad-hoc ini sepanjang 2015-2016 lalu. Seperti rencana untuk merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang akan mengatur soal pembentukan dewan pengawas, penyadapan harus seizin ketua pengadilan, sampai pada aturan tentang KPK yang dapat menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Melihat semua paparan di atas, berlebihan kalau DPR tetap ngotot membangun 'rumah baru' sementara kinerjanya belum kinclong. Apalagi, ternyata tidak semua penghuni Gedung Nusantara I merasa tempat mereka bekerja sudah tak layak dan separah yang dipaparkan ke publik.
Salah seorang staf ahli anggota DPR dari Fraksi Gerindra, Andhika Varian, mengaku tidak risau dengan kehebohan yang terjadi.
"Saya masih merasa nyaman saja," ujar Andhika yang setiap hari bekerja di lantai 17 Gedung Nusantara I.
Selain itu, dia melihat semua fasilitas masih berfungsi. Misalnya di lantai pertama gedung ini yang merupakan tempat beberapa komisi melakukan rapat. Di antaranya Komisi X, VII, VI dan IX, serta Badan Legislasi DPR. Hingga kini rapat-rapat masih digelar di ruangan itu.
Demikian pula lantai 2 yang diperuntukkan bagian Kesekjenan DPR. Lantai selanjutnya merupakan tempat anggota DPR berkantor. Mereka menempati lantai 3 sampai 23.
Ukuran masing-masing ruangan anggota DPR bervariasi. Rata-rata berkisar 6x8 meter persegi. Ruangan itu cukup untuk menampung anggota DPR dengan dua atau tiga tenaga ahli.
Ada pembatas yang memisahkan antara tempat kerja anggota DPR dengan tenaga ahli. Meski begitu, ruangan tidak terlalu padat.
"Sebab, anggota DPR belum tentu setiap hari datang ke ruangan. Mereka lebih sering berada di ruang sidang. Sebagian tempat kerja anggota dewan bahkan ditempati stafnya," jelas Andhika.