Inggris Akan Usir 23 Diplomat Rusia yang Diduga Mata-Mata

Inggris akan mengusir 23 diplomat Rusia pekan depan, merespons kasus peracunan eks mata-mata Rusia, Sergei Skripal dan anak perempuannya, Yulia Skripal.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 14 Mar 2018, 20:39 WIB
Perdana Menteri Inggris Theresa May (Andrew Matthews/PA via AP)

Liputan6.com, London - Inggris akan mengusir 23 diplomat Rusia pekan depan, sebagai bentuk respons atas peracunan mantan mata-mata Rusia, Sergei Skripal dan anak perempuannya, Yulia Skripal oleh nerve agents toxin atau racun saraf.

Rencana pengusiran itu diutarakan oleh Perdana Menteri Theresa May di Parlemen Inggris, dalam sebuah sesi yang digelar khusus untuk merespons kasus tersebut, pada Rabu 14 Maret 2018 waktu setempat, seperti dikutip dari Business Insider (14/3/2018).

May juga menuduh seluruh 23 diplomat tersebut sebagai 'agen intelijen yang tak terdaftar yang berdinas di Inggris'.

Sang PM juga mengatakan bahwa pemerintahannya akan membekukan aset pejabat Rusia yang 'mengancam Inggris', sambil mengatakan, "Tak ada tempat bagi uang para pejabat Rusia di Inggris."

Tak hanya itu, sebagai bentuk protes atas kasus peracunan tersebut, PM May mengatakan bahwa Keluarga Kerajaan Inggris tak akan menghadiri Piala Dunia 2018 di Rusia.


Inggris Menuduh Rusia Terlibat Langsung

Sergei Skripal dijatuhi hukuman penjara selama 13 tahun oleh Rusia pada 2006 karena telah melakukan mata-mata untuk Inggris. (AP Photo/Misha Japaridze, File)

Perdana Menteri Inggris Theresa May menuduh bahwa Rusia terlibat langsung dalam kasus peracunan terhadap Segei dan Yulia Skripal -- menganggapnya sebagai sebuah "penggunaan kekerasan secara tidak sah ... melawan Inggris."

PM May juga memprotes sikap Rusia yang justru acuh tak acuh terhadap kasus tersebut.

"Sikap mereka menunjukkan penghinaan sepenuhnya atas kejadian ini, di mana mereka tidak memberikan penjelasan yang kredibel," kata May di Parlemen Inggris.

Pidato May di Parlemen dilakukan usai Rusia tak mengindahkan batas waktu yang ditetapkan oleh Inggris guna memberikan penjelasan 'kredibel' atas kasus Skripal -- yang tewas pada Selasa kemarin.

Pernyataan May juga dilakukan menyusul sebuah deklarasi bersama oleh seluruh 29 negara NATO yang meminta Rusia untuk "menjawab pertanyaan Inggris" tentang serangan tersebut dan memperingatkan bahwa penggunaan agen saraf akan menjadi "ancaman bagi keamanan dan perdamaian internasional."

Merespons kasus yang sama, Dewan Keamanan PBB juga dijadwalkan akan mengadakan pertemuan khusus pada hari Rabu malam untuk membahas dugaan penggunaan agen saraf oleh Rusia terhadap Skripal.


Respons Rusia

Kandidat presiden Rusia, Vladimir Putin memberikan pidato dalam kampanye pencalonannya di stadion Luzhniki di Moskow (3/3). Putin telah menjabat sebagai Presiden Rusia selama 3 periode, yakni 2000-2004, 2004-2008, dan 2012-2018. (AFP/Kirill Kudryavtsev)

Rusia memperingatkan Inggris agar tidak melakukan "provokasi" lebih jauh terhadap mereka.

Duta Besar Rusia untuk Inggris Alexander Yakovenko mengatakan kepada Sky News bahwa tindakan Inggris "tidak dapat diterima" dan "sebuah provokasi yang sangat serius."

Dia juga menyarankan agar ada tanggapan cepat dari Rusia terhadap pengusiran tersebut.

Rusia juga menuduh Inggris melanggar konvensi senjata kimia dengan menolak memasok sampel dari agen saraf yang digunakan terhadap Skripal.

Namun, juru bicara untuk PM May menegaskan bahwa pemerintah telah "mematuhi sepenuhnya semua kewajibannya di bawah konvensi senjata kimia," dan menambahkan bahwa konvensi itu tidak mewajibkan Inggris untuk memberi sampel kepada Rusia.

Eskalasi Semakin Meningkat?

Tensi juga berisiko meningkat lebih lanjut setelah pada hari Selasa kemarin, pembelot Rusia lainnya, dan kritikus terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin, ditemukan tewas di London.

Nikolai Glushkov (69) ditemukan di rumahnya di London barat daya pada hari Senin. Times, mengutip seorang teman Glushkov yang mengatakan bahwa "ada tanda-tanda pencekikan atau tersedak" pada tubuh korban.

Di sisi lain, PM May telah berbicara dan meminta dukungan kepada sekutu Inggris, termasuk Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden AS Donald Trump.

May juga berhasil menarik dukungan dari Presiden Dewan Uni Eropa Donald Tusk. Rabu pagi tadi, Tusk menyatakan, "Kami solid bersama PM Theresa May dalam menghadapi serangan brutal yang terinspirasi, kemungkinan besar, oleh Moskow".

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya