Liputan6.com, Jakarta Wawan (28) adalah pedagang bakwan Malang keliling di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Dia bungah mendengar pemerintah tengah meluncurkan program bantuan pembiayaan perumahan untuk para pekerja informal seperti dirinya.
Datang mengadu nasib ke Jakarta lima tahun lalu, kini dia tinggal di rumah kontrakan yang disediakan juragannya. Uang kontrakan dipotong dari keuntungan dia berjualan. Pemuda asal Klaten ini penuh harap bisa memiliki rumah sendiri, meski kecil dan sederhana.
Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) Hozia Siregar mengatakan jumlah pedagang kaki lima di seluruh Indonesia diperkirakan mencapai 500 ribu orang. Di wilayah Jakarta sendiri, jumlahnya mencapai 75 ribu orang. Dari 500 ribu orang tersebut, 70 persennya belum memiliki rumah sendiri.
Baca Juga
Advertisement
"Mayoritas mereka masih ngontrak," kata dia. Namun, para pedagang tersebut sebenarnya cukup mampu untuk membayar cicilan rumah per bulannya. "Sebenarnya kami punya kemampuan nyicil."
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat Indonesia mengalami kekurangan pasokan (backlog) rumah hingga 11,4 juta unit.
Selaras dengan Hozia, Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo mengatakan 70 persen dari data backlog perumahan tersebut berasal dari kalangan pekerja informal atau mereka tak menerima gaji bulanan.
Masalah utama yang dihadapi pekerja informal sehingga tidak bisa memiliki rumah dengan cara mencicil, adalah akses ke sektor keuangan. Pendapatan para pekerja informal tidak tetap. Ini yang membuat para pedagang bakso, penjual cilok dan tukang kopi keliling tidak bankable. Nelayan dan juga petani termasuk dalam kategori pekerja informal, yang sulit mendapat akses pembiayaan dari perbankan.
"Padahal, banyak sektor informal yang penghasilannya mencukupi untuk mengakses pembiayaan perumahan,” Eddy menjelaskan kepada Liputan6.com, Kamis (31/8/2017).
Ketua Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri menambahkan, sebenarnya pedagang pasar memiliki pendapatan yang cukup. Namun, hal itu tidak bisa dibuktikan secara tertulis ke pihak bank, karena mereka tidak memiliki slip gaji.
Pembuktian akan pendapatan ini juga menjadi penghalang untuk mendapat akses permodalan. Abdullah menuturkan, pedagang pasar ada bermacam tipe: mulai pedagang kecil dengan lapak di pinggir jalan, sampai ke pedagang besar yang memiliki ruko. Rata-rata, pedagang kecil memiliki pendapatan Rp 50 ribu-75 ribu per hari adapun pedagang pasar Rp 1 juta per hari.
Selain itu, masalah akses pembiayaan perumahan juga disebabkan oleh kerumitan sistem bank itu sendiri.
Abdullah bilang, pedagang pasar belum bisa masuk kriteria pengusaha, lantaran kebanyakan masih konvensional atau tradisional. Artinya, masih banyak pedagang yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) ataupun izin usaha.
"Ini yang harusnya jadi tantangan bersama: mempermudah akses pembuatan izin usaha, pembuatan NPWP pedagang tradisional; dalam rangka membuat mereka menjadi bankable," ujar dia.
Saat ini, pedagang cenderung memenuhi kebutuhan huniannya dengan kontrak. "Memang banyak yang masih kontrak, kadang-kadang satu pedagang mempunyai keluarga yang besar. Kadang eksodus dari daerah ke Jakarta juga banyak saudaranya untuk terlibat. Ini kalau tidak punya rumah sendiri nggak akan berkembang," tukas dia.
Pemerintah tidak tinggal diam. Untuk menfasilitasi masalah akses pembiayaan perumahan untuk pekerja informal tersebut, pemerintah meluncurkan dua program. Pertama adalah program Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) dan kedua program Pembiayaan Mikro Perumahan (PMP). Program tersebut diinisiasi oleh Kementerian PUPR.
Skema Program
BP2BT merupakan bantuan uang muka atau down payment (DP) bagi pembiayaan perumahan sebesar 30 persen. Dalam skema ini, pemerintah akan menghibahkan dana kepada para pekerja informal sebesar 30 persen dari harga rumah yang akan dibeli.
Direktur Perencanaan Pembiayaan Perumahan, Ditjen Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR, Eko D Heripoerwanto menjelaskan, selain bantuan dari pemerintah, pekerja informal dapat menambahkan uang muka sehingga nanti utang hanya sedikit.
“Kalau misal 30 persen dari pemerintah lalu dana sendiri 10 persen, kan cicilannya sekitar 60 persen dari pokok pinjaman, jadi tidak terlalu besar," ujar dia kepada Liputan6.com.
Penerima bantuan uang muka ini akan memakai skema kredit pemilikan rumah (KPR) komersial. Artinya, penerima bantuan dikenakan bunga pasar atau tidak berlaku tetap (flat).
Direktur Pola Pembiayaan Perumahan Direktorat Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR Didik Sunardi menambahkan, program BP2BT menyasar 40 persen golongan masyarakat terbawah, khususnya mereka yang berpenghasilan tidak tetap seperti pekerja informal.
Ada beberapa syarat agar pekerja informal seperti pedagang kaki lima bisa mendapatkan bantuan ini. Misalnya, pekerja tersebut harus memiliki tabungan minimal 5 persen dari harga rumah yang akan dikredit.
"Kemudian dia belum punya rumah, belum pernah mendapatkan subsidi perumahan, punya NPWP," ujar Didik.
Bidang usaha pekerja informal penerima bantuan ini tidak dibatasi. Selain itu, yang dihitung juga besaran pendapatan rata-rata yang dihasilkan dalam satu keluarga, bukan per individu.
Sedangkan untuk Pembiayaan Mikro Perumahan merupakan bantuan akses dari Kementerian PUPR kepada pekerja informal agar mendapat pembiayaan dari perbankan dengan plafon maksimal Rp 50 juta. Pembiayaan Mikro Perumahan bisa digunakan untuk membangun Rumah Inti Tumbuh (RIT) maupun rehabilitasi rumah.
Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR Lana Winayanti menjelaskan, skema PMP ini bersifat bertahap (incremental) dan berulang (revolving), yaitu kredit diberikan secara berulang dengan tempo maksimal lima tahun. Dengan skema tersebut debitur dapat memenuhi kebutuhan rumahnya secara bertahap (incremental housing), sekaligus membangun kelayakan kreditnya terhadap lembaga jasa keuangan.
Skema PMP merupakan skema pembiayaan dengan pendekatan RIT. Dengan konsep RIT, bangunan rumah awal untuk mulai ditinggali adalah dengan standar minimal yang layak dihuni. Kemudian, rumah tersebut dapat dikembangkan secara bertahap menjadi lebih luas.
“Pemanfaatan pembiayaan mikro perumahan juga bisa fleksibel, dapat dimanfaatkan misalnya di pinjaman pertama mulai dari pembelian kavling tanah, bangun pagar, bangun pondasi, bangun konstruksi bangunan. Kemudian jika pinjaman sudah lunas, bisa memanfaatkan pinjaman mikro kembali untuk perluasan rumah, perbaikan rumah, sampai akhirnya rumah jadi dan siap huni,” Lana menjelaskan.
Sebagai pilot project, tahun ini Pembiayaan Mikro Perumahan akan diberikan kepada komunitas masyarakat berpenghasilan tidak tetap di 16 provinsi.
Skema PMP diterapkan menyusul ditandatanganinya nota kesepahaman antara Kementerian PUPR dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI), PT Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE), PT Pegadaian, dan Yayasan Habitat Kemanusiaan Indonesia (YHKI) di Semarang Jawa Tengah pada 23 Agustus lalu.
Direktur Konsumer BRI Randi Anto menerangkan, sebagai salah satu bank penyalur program Pembiayaan Mikro Perumahan, perseroan menargetkan bisa membiayai 3.000 rumah. Randi mengaku tak khawatir akan risiko kredit macet, sebab perseroan memiliki pengalaman panjang dalam menangani kredit sektor nonformal."BRI sudah sangat familiar menangani sektor informal, mikro, dan kita sudah ada model scoring untuk pinjaman mikro sebagai risk assessment," tutur dia.BRI memiliki paramater tersendiri untuk menilai kelayakan debitor. Di antaranya, dengan memperhatikan status keluarga, jumlah tanggungan, pola pengisian pulsa, dan lain sebagainya.
Advertisement
Menengok Negara Lain
Di negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), kebijakan bantuan pendanaan rumah bagi masyarakat kelas menengah dan miskin dibagi dalam tiga skema, yaitu: pemberian hibah (grants to home buyers), KPR garansi dan bersubsidi (subsidized mortgages and mortgage guarantees) dan bantuan KPR bagi rumah bermasalah (mortgage relief for over-indebted home owner).
Mengutip situs OECD.org, dalam skema hibah, dana segar diberikan bagi calon pembeli rumah untuk menutupi semua atau sebagian dana buat pembelian maupun kontruksi tempat tinggal. Hibah ini sering diberikan pemerintah bagi pembeli rumah pertama dengan kriteria tempat tinggal yang telah ditentukan.
Chile, Malta, Siprus dan Meksiko merupakan negara yang mengadopsi sistem ini.
Skema kedua, KPR garansi dan bersubsidi. Kebijakan ini menyalurkan pinjaman KPR kepada penduduk untuk pembelian tempat tinggal. Beberapa negara bahkan memberikan subsidi yang dimasukkan dalam rekening tabungan spesial.
Skema ini banyak diadopsi oleh sejumlah negara Eropa seperti Polandia, Prancis, Spanyol dan Belanda. Negara-negara di Amerika dan Asia yang mengadopsi sistem ini antara lain Kanada dan Jepang.
Terakhir, skema bantuan berupa KPR bagi rumah bermasalah. Subsidi ini khusus diberikan untuk menghindari rumah disita karena warga yang bersangkutan dibelit masalah keuangan. Subsidi ini termasuk memberi bantuan pembayaran tunggakan, penundaan pembayaran, hingga aktivasi ulang KPR.
Hungaria dan Irlandia adalah contoh negara yang menggunakan skema bantuan KPR.
Chile merupakan negara yang memberikan subsidi terbesar untuk membantu warga kelas bawah dan menengah mendapatkan rumah. Laporan OECD mengungkapkan, subsidi rumah yang disalurkan pemerintah Chile mencapai lebih dari 0,45 persen PDB.
Selain Chile, Norwegia juga masuk kategori negara yang memberi subsidi terbesar bagi penduduk yang ingin memiliki rumah. Sebanyak 0,2 persen dari PDB negara ini disisihkan untuk mensubsidi penduduk kelas bawah dan menengahnya, demi mendapat tempat tinggal yang layak. Skema pendanaannya diatur dan dialirkan melalui bank perumahan nasional Norwegia, Husbanken. (kd)