[Cek Fakta] Vaksin MR Tak Perlu Ditakuti?

Informasi simpang siur serta opini individu antivaksin yang bertebaran di media sosial membuat sebagian kalangan masyarakat ragu-ragu.

oleh Stella Maria YN diperbarui 28 Agu 2017, 10:00 WIB
Ilustrasi Foto Vaksin (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Sejarah telah membuktikan, vaksin paling efektif untuk mengatasi penyakit terkait infeksi. Ketika seseorang diberi vaksin atau diimunisasi, ini akan memengaruhi kekebalan tubuhnya. Sejatinya, vaksin berfungsi mempersiapkan sistem imun atau kekebalan tubuh individu penerimanya untuk bertahan dari serangan patogen (kuman mematikan) seperti bakteri, virus, atau racun.

Kini jenis vaksin yang tengah gencar dikampanyekan oleh pemerintah adalah imunisasi Measles Rubela (MR). Imunisasi tersebut diberikan secara massal dan cuma-cuma pada Agustus hingga September 2017 bagi anak usia 9 bulan hingga di bawah 15 tahun di seluruh Pulau Jawa. Sementara anak-anak di luar Pulau Jawa akan mendapat giliran imunisasi di Agustus hingga September tahun mendatang.

Kampanye imunisasi MR ini tak lain merupakan wujud komitmen pemerintah untuk mengeliminasi penyakit campak yang pernah mewabah pada 2010-2014 di Indonesia. Demikian pula dengan penyakit rubela yang kian menjadi masalah tak hanya di Indonesia, melainkan juga di negara-negara lain.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada 2010-2015 mencatat setidaknya ada 6.309 anak yang terserang rubela. Sebanyak 77 persen di antaranya berusia kurang dari 15 tahun. Selain itu, 556 bayi terlahir cacat pada 2015-2016 akibat serangan virus rubela ketika dalam kandungan ibu. Ini tentu saja menjadi ancaman bagi masa depan bangsa.

Pemerintah bertekad untuk menuntaskan pekerjaan rumah mengeliminasi campak dan mengendalikan penyakit rubela dan kecacatan bawaan akibat rubela pada 2020. Untuk itu, kampanye imunisasi MR tahun ini menyasar 34.9 juta anak di enam provinsi di Pulau Jawa. Pemerintah menargetkan 95 persen dari jumlah total anak tersebut mendapat vaksin MR.

"Campak dan rubela ini hanya menyerang manusia, bukan hewan dan bukan lingkungan. Jadi kalau imunisasinya mencapai target, campak dan rubela ini bisa dimusnahkan," papar Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Dr. Elizabeth Jane Soepardi MPH. DSc, di Gedung Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, saat ditemui Health-Liputan6.com pada Juli lalu.

Hal senada juga diutarakan oleh Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, dr. H. Mohamad Subuh, MPPM. Dia mengimbau agar anak-anak yang telah mendapatkan imunisasi campak tetap menjalani imunisasi MR guna mendapatkan kekebalan terhadap campak dan rubela. "Kami menargetkan pelaksanaan imunisasi ini sebesar 90 persen agar dapat menciptakan kekebalan kelompok (herd immunity). Bagi ibu-ibu yang anaknya sudah diimunisasi campak tetap diberi imunisasi MR agar mendapat kekebalan terhadap campak dan rubela," ucap dr. H. Mohamad Subuh.

Dr. Elizabeth Jane Soepardi mengatakan, apabila sekitar 95 persen dari masyarakat yang dibidik melakukan imunisasi MR, maka lima persen lainnya akan ikut kebal terhadap virus tersebut.

Hingga 13 Agustus 2017, tercatat ada 13.4 juta anak di Pulau Jawa yang telah mendapatkan imunisasi vaksin MR. Kabar terbaru pada 23 Agustus 2017, Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas PP KIPI), Hindra Irawan Satari, mengatakan sudah ada sekitar 20 juta anak yang divaksin MR. 

 

Saksikan juga video berikut ini:


Menuai Kontra

Meski begitu, kampanye imunisasi MR tidak kebal terhadap reaksi negatif dari masyarakat. Informasi simpang siur serta opini individu antivaksin yang bertebaran di media sosial membuat sebagian kalangan masyarakat ragu-ragu, bahkan enggan untuk memvaksin anak mereka. 

Kabar seorang siswi di Demak yang kemudian menjadi sulit berjalan usai mendapat vaksinasi MR dan menjadi viral di media sosial juga turut mewarnai keraguan ortu untuk mengizinkan anak mereka divaksin. Meski kemudian hasil pemeriksaan lanjutan belum dapat membuktikan bahwa kondisi sulit berjalan gadis tersebut terkait dengan vaksinasi MR yang didapatnya. 

Ada pula orangtua yang terang-terangan menolak anaknya divaksin lantaran menganggap tindakan tersebut bertentangan dengan keyakinan agama seperti yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah. Orangtua dari 300 anak lebih di Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar, dan Temanggung menolak imunisasi. Hal itu dipastikan oleh Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Provinsi Jawa Tengah, dr Yulianto Prabowo.

“Ada pemahaman dari tokoh agama yang menyatakan bahwa vaksin MR tidak boleh,” ujar dr Yulianto. “Memang tidak semua warga di desa itu menolak. Yang menolak hanya sebagian warga desa,” lanjutnya. Yulianto mengungkapkan rupanya para orangtua itu menganggap vaksin MR mengandung zat yang diharamkan agama.

Hal serupa pun terjadi di Banyumas, tepatnya di wilayah kaki Gunung Slamet. Sebuah sekolah yang bernaung di bawah sebuah yayasan keagamaan sempat menolak imunisasi MR. Namun, Kadinkes Kabupaten Banyumas, Sudiyanto, segera menugaskan tim guna melakukan pendekatan pada camat, kepala desa, tokoh masyarakat, serta tokoh agama setempat.

Belakangan, diketahui penolakan tersebut lantaran ada kekhawatiran dampak pascavaksinasi berupa kelumpuhan seperti yang terjadi di Demak. Untungnya tim yang ditugaskan Sudiyanto berhasil menerangkan bahwa vaksin MR aman dan kejadian yang dikhawatirkan itu hanya bersifat kebetulan, serta tidak terbukti disebabkan oleh pemberian imunisasi MR. Ratusan siswa di sekolah tersebut pun kemudian bersedia divaksin. 

Kabar mengenai siswi yang sulit berjalan usai imunisasi MR di Demak pun turut dicermati Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait. Meski secara umum mendukung program imunisasi karena anak memiliki hak asasi untuk hidup sehat, Arist meminta Kementerian Kesehatan RI untuk mengevaluasi atau jika perlu menghentikan sementara program tersebut.

"Dihentikan sementara dulu programnya. Ini kan ada dampak yang perlu dilihat dulu kebenarannya, benar tidak anak tersebut lumpuh karena vaksin MR. Ketika sudah diketahui kebenarannya, baru lanjutkan lagi," ujarnya ketika dihubungi Health-Liputan6.com.  

 


Keresahan Para Ibu

Kabar yang simpang-siur seputar vaksin dan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) memang membuat resah sebagian orangtua, utamanya para ibu. Hal tersebut pun dirasakan seorang ibu muda berinisial IR yang tinggal di Cilangkap, Jakarta. IR masih ragu apakah akan memvaksin buah hatinya yang kini berusia 23 bulan. Kondisi sang anak yang belum lancar berbicara serta kabar mengenai vaksin MR yang belum bersertifikat halal membuatnya sedikit resah.

"Saat ini usia anak saya 23 bulan dan belum lancar bicara. Hal itu jadi pertimbangan apakah kami akan memvaksin dia tahun ini. Selain itu kabar-kabar mengenai kejadian usai vaksin pun membuat saya semakin khawatir. Ditambah pula dengan ketidakjelasan kabar mengenai sertifikasi halal vaksin MR," IR menjelaskan alasannya pada Health-Liputan6.com.

"Kami akan tunggu hingga usia anak 3 tahun dan me-review lagi informasi seputar vaksin tersebut sebelum benar-benar memutuskan akan memberinya imunisasi MR," ujarnya. 

Sejumput kekhawatiran juga dirasakan oleh SN akibat kisah-kisah miring seputar kejadian ikutan pasca-imunisasi MR. Meski menyimpan sedikit kecemasan, wanita yang tinggal di Bekasi itu telah mengizinkan anaknya yang berusia 9 tahun untuk divaksin.

"Sekolah tempat putri saya belajar mendapat jadwal imunisasi akhir Agustus ini. Awalnya reaksi saya biasa saja mengenai imunisasi MR, tapi jadi cemas ketika mendengar ada anak yang lumpuh dan bahkan meninggal usai divaksinasi. Saya kemudian mencari informasi seputar imunisasi tersebut dari para ibu yang anaknya sudah lebih dulu divaksinasi. Rupanya ada beberapa hal yang menyebabkan kejadian ikutan pasca-imunisasi, seperti misalnya kondisi anak yang tidak fit. Syarat anak untuk bisa menerima vaksin kan harus dalam kondisi sehat dan fit," ucap SN. 

"Selain itu, yang membuat khawatir apakah vaksinnya palsu atau tidak. Karena beberapa waktu lalu kan sempat heboh kasus vaksin palsu. Tapi sejauh ini saya sudah berniat memberi izin anak untuk divaksin. Bagaimana pun vaksinasi itu penting sebagai bentuk pencegahan," lanjut SN. 

Sementara itu, beberapa orangtua yang anaknya bersekolah di Sekolah Islam Darussalam, Cikunir, Bekasi, pun menolak anaknya diimunisasi MR. Witono, Wali Kelas VI di Sekolah Islam Darussalam, mengatakan kebanyakan orangtua tidak bersedia anaknya divaksin MR lantaran sedang dalam kondisi tidak fit. Kabarnya, saat pemberian vaksin MR dilaksanakan, banyak anak yang sedang sakit seperti batuk, pilek dan demam, sehingga orangtua takut dan memilih untuk tidak memberikan vaksin MR di sekolah. 

YH, ibu dari batita usia 10 bulan, pun memutuskan untuk tidak memberi anaknya vaksin pada Agustus dan September tahun ini. Alasannya bukan karena dia tidak setuju, melainkan sang buah hati baru saja menerima imunisasi campak. 

"Saya konsultasi dengan dokter anak seputar vaksin MR. Dokternya bilang karena Rosella baru imunisasi campak jadi enggak usah (vaksin MR) lagi. Karena belum enam bulan jaraknya dari imunisasi kemarin. Ya saya ikut aja, toh Rosella udah imunisasi," katanya.

Menurut dia, pemberian imunisasi atau vaksin terhadap anaknya akan dilakukan sesuai dengan anjuran atau jadwal imunisasi yang diberikan oleh dokter. "Saya akan ikut jadwal imunisasi dari dokter aja, Mbak," ujarnya. 

Meski beberapa ibu ragu atau cemas ketika akan memberi imunisasi MR pada buah hati mereka, ada ibu-ibu lain yang menyambut positif program nasional ini. 

Ibu dua anak, SGT, langsung menerima baik sosialisasi imunisasi MR yang dikirim oleh pihak sekolah putranya. "Wali kelasnya anak saya ngasih tahu dulu di grup chat kalau mau ada vaksin MR di sekolah dan saya sih enggak (takut) anak saya divaksin, karena saya sudah tahu informasi vaksin ini lewat internet dan sebelumnya juga anak saya pernah dapat vaksin yang lain di rumah sakit," kata SGT kepada Health-Liputan6.com, Minggu (27/8/2017).

SGT sendiri mengetahui informasi pro dan kontra terhadap program vaksin MR yang berkembang di masyarakat. Namun, menurut dia, pemberian vaksin ini penting dilakukan karena dapat menurunkan risiko terhadap penyakit rubela.

"Seharusnya orangtua enggak perlu takut (vaksin MR) ya, karena setahu saya kalau anak enggak divaksin malah risikonya (terkena penyakit rubela) bisa lebih tinggi," katanya.

Hal senada pun diungkap NLS dan DW yang sama-sama berdomisili di Tangerang. NLS mempersiapkan sebaik-baiknya kondisi putranya yang akan menerima imunisasi MR di sekolahnya pada 28 Agustus 2017. "Saya memastikan kondisi putra saya tidak sakit saat akan imunisasi. Saya melihat ini sebagai tindakan pencegahan yang sangat baik dari pemerintah dan tidak melihat dampak buruknya. Jadi saya dengan senang hati mengizinkan kedua anak kami untuk diberi imunisasi MR," NLS berkomentar. 

"Sebelum dilaksanakan imunisasi MR, pihak sekolah sudah mengirimkan surat edaran dan mengundang kami untuk melakukan sosialisasi mengenai hal itu. Melihat bahwa imunisasi ini penting dan juga anak berhak untuk hidup sehat, saya tak merasa ragu untuk mengizinkan," ucapnya.  

 


Delapan Laporan

Menurut informasi Ketua Komnas PP KIPI, Hindra Irawan Satari SpA(K), dari sekitar 20 juta anak di Pulau Jawa yang telah mendapatkan imunisasi vaksin campak, ada delapan laporan yang diterima Komnas PP KIPI. Satu di antaranya adalah siswi SMP Demak yang lumpuh, demam, dan alergi obat.

Siswi yang kini dirawat di RS Kariadi Semarang itu, kata Hindra, sebelum diimunisasi memiliki kondisi kaki kanan lebih kecil, mata juling, dan berjalan diseret. Kini, kondisinya telah membaik. "Serangkaian tes sudah dia lakukan seperti CT Scan, EEG, tapi bukti yang ada belum membuktikan kondisi kesulitan berjalan karena imunisasi," katanya.

Komnas PP KIPI yang ditetapkan Menteri Kesehatan RI merupakan tim independen terhadap kasus yang diduga KIPI. Tugasnya melakukan causality assessment, yakni mengkaji data-data yang ada, sehingga bisa mengklasifikasikan kejadian pasca-imunisasi ada hubungan dengan pemberian vaksin atau tidak.

Ada dua faktor utama yang dinilai, ucap Hindra. Pertama onset (awitan), yaitu masa dari mulai penyuntikan sampai timbulnya gejala. Kedua, apakah ada penyakit lain yang mendasarinya, atau kejadian pasca-imunisasi itu terjadi karena memang anaknya sudah sakit atau ada riwayat penyakit sebelumnya.

Dari delapan laporan yang masuk ke Komnas KIPI, berdasarkan causality assesment yang ada belum ditemukan adanya hubungannya dengan pemberian imunisasi MR.

Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, dr. Mohamad Subuh, MPPM juga mengungkapkan, bila terjadi dugaan KIPI, jangan dikatakan langsung disebabkan oleh vaksin MR. Harusnya ada konfirmasi dan klarifikasi terlebih dahulu. "Kalau ada kejadian pasca-imunisasi di kabupaten, maka dinas kabupaten harus melaporkannya kurang dari 24 jam,'' kata Subuh.

Demam ringan, ruam merah, pegal-pegal, bengkak ringan dan nyeri di tempat suntikan merupakan reaksi normal usai mendapatkan imunisasi MR. Kondisi tersebut, kata Kementerian Kesehatan RI, akan hilang dalam dua-tiga hari sesudah imunisasi.

Lalu, sebenarnya apa itu penyakit campak dan rubela? Seperti apa bahayanya jika seseorang terkena penyakit tersebut? Dan seberapa aman dan efektif vaksinasi MR?


Apa Itu Campak dan Rubella?

Penyakit campak dan rubela tak asing lagi di telinga masyarakat, khususnya di Indonesia. Namun, awam lebih mengenal campak dibandingkan rubela. Padahal, kedua penyakit tersebut timbul akibat virus yang sama-sama bisa ditularkan melalui saluran napas.

Mengutip laman Klik Dokter, Sabtu (26/8/2017), measles atau campak adalah penyakit akibat infeksi virus yang mudah ditularkan melalui batuk dan bersin. Simtom penyakit ini berupa batuk pilek disertai ruam kemerahan di kulit.

Meski terkesan ringan, campak bisa berbahaya karena kerap menyebabkan komplikasi berat di berbagai organ, seperti infeksi telinga tengah, diare, dan radang otak. Setidaknya 1 dari 20 anak yang sakit campak akan mengalami peradangan paru (pneumonia).

Sedangkan rubela, atau juga dikenal dengan campak Jerman, merupakan penyakit akibat virus yang kerap menyerang anak. Simtom infeksi rubela terbilang ringan, yakni berupa ruam merah dan demam ringan yang tak mengganggu aktivitas.

“Bila infeksi rubela ini menyerang wanita yang sedang merencanakan kehamilan atau sedang hamil, dapat menyebabkan kematian atau kecacatan saat lahir (Congenital Rubella Syndrome). Angka kejadian bayi cacat akibat rubela di Indonesia termasuk salah satu yang tertinggi di dunia,” jelas dr Resthie Rachmanta Putri, M.Epid, seperti dikutip dari laman Klik Dokter. 

Ibu hamil yang terpapar virus rubela pada trimester pertama atau awal kehamilan dapat mengalami keguguran atau kecacatan pada bayi yang dilahirkan. Sindroma Rubella Kongenital di antaranya meliputi kelainan pada jantung dan mata, ketulian, dan keterlambatan perkembangan.

Simtom atau gejala infeksi rubela cenderung tidak terlalu signifikan, ringan, dan sulit dikenali. Umumnya individu yang terinfeksi mengalami demam ringan, nyeri tenggorokan, sakit kepala, sesak napas dan pilek, mata merah, serta ruam merah yang dimulai dari wajah lalu menyebar ke lengan serta kaki dengan cepat.

Gejala tersebut biasanya muncul dalam rentang dua atau tiga minggu setelah terpapar virus dan bertahan selama dua hingga tiga hari.

Mengutip laman Health Line, penularan virus rubela sangat mudah dan cepat. Individu bisa terpapar virus rubela jika menyentuh mulut, hidung, mata, bekas lendir atau cairan dari orang yang terinfeksi rubella. Selain itu, virus rubela juga bisa menyebar lewat berbagi makanan atau minuman dengan seseorang yang terinfeksi virus tersebut.

Tidak ada pengobatan untuk penyakit MR. Namun, kabar baiknya, penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi MR.

 


Vaksin MR Aman

Menanggapi kekhawatiran orang tua terhadap vaksinansi tersebut, dr. Hindra menegaskan, hingga kini vaksin MR yang digunakan dalam program imunisasi MR ini aman.

"Sampai saat ini data yang masuk (kasus anak demam atau kehilangan kesadaran usai vaksin) tidak lebih dari data yang ada di kepustakaan," kata Hindra.

"Katakanlah data di kepustakaan mengatakan anak demam lima persen dari total yang divaksin, kalau lebih dari enam persen itu vaksin bermasalah. Hingga sekarang angka yang masuk di bawah angka kepustakaan. Artinya vaksin yang digunakan aman," ujar dokter yang berpraktek di RS Ciptomangunkusumo Jakarta ini.

Dia menyarankan kepada orangtua yang masih ragu memberi vaksin MR pada anak untuk mencari informasi langsung pada orang yang berkompeten. "Tanyakan tentang bahaya, keamanan, reaksi, manfaat imunisasi MR ke orang yang berkompetensi dalam hal itu. Kan, yang melakukannya dokter spesialis anak, tanyakan ke dokter spesialis anak. Bukan ke dokter bedah, patologi anatomi, atau dokter spesialis forensik," kata Hindra saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan. Jika tidak mudah menemui dokter spesialis anak, bisa bertanya ke dokter umum. Sehingga orangtua bisa mendapat penjelasan lengkap dan detil dari sumber yang tepat.

Hindra pun menyarankan orangtua memperhatikan sumber informasi yang didapat. Pastikan mendapat informasi dari laman yang kredibel. "Jangan percaya sumber mailing list. Biasanya sudah banyak 'bunga-bunga' di dalamnya," sarannya. Kemudian, jika kabar yang diterima tersebut mengacu pada data kepustakaan, lihat kembali apakah informasi terbaru atau tidak. Bisa jadi, isu yang dimunculkan adalah hasil penelitian dulu, tentu berbeda dengan yang hasil studi terkini. "Lalu, tentukan sendiri. Kalau ingin bergabung (anaknya mendapat imunisasi MR) silakan. Kalau masih tidak yakin, siapa yang bisa memaksa," kata Hindra lagi.

Kemenkes RI juga mengungkapkan vaksin MR yang digunakan mendapat rekomendasi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan izin edar dari Badan POM. Penggunaan vaksin ini aman dan telah digunakan di lebih dari 141 negara. Vaksin MR 95 persen efektif untuk mencegah penyakit campak dan rubela.

Adakah perbedaan antara vaksin MR dan vaksin Measles, Mumps, Rubella (MMR)?

Sebenarnya, tidak ada perbedaan besar antara vaksin MR dan MMR. Perbedaannya terletak pada kandungan vaksin mumps untuk melawan gondongan yang tidak dimasukkan ke dalam vaksin MR. Ini karena kasus penyakit gondongan sudah jarang dijumpai di kalangan masyarakat Indonesia. 

Vaksin MR merupakan pengganti vaksin measles, mumps, dan rubella (MMR) yang sebelumnya sempat kosong stoknya selama dua tahun.

Imunisasi MR dilakukan pemerintah sekarang untuk melindungi anak dari penyakit kelainan bawaan, seperti gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, kelainan jantung dan retardasi mental yang disebabkan adanya infeksi rubella pada saat kehamilan.

Jika capaian imunisasi bisa mencapai 95 persen, eliminasi campak dan pengendalian rubela terwujud di 2020.

"Sehingga bukan hanya melindungi diri sendiri, tapi orang lain juga dilindungi," kata Hindra.

Foto dok. Liputan6.com


Syarat Imunisasi

"Pastikan anak tidak demam, tidak sedang batuk flu, tidak ada gejala-gejala lain," kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI, M Subuh, pada konferensi pers pemantauan dan penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi.

Ditambahkan oleh ahli neurologi anak RSCM, Irawan Magunatmadja, anak sehat artinya dalam satu-dua minggu tidak sakit. "Jika anak memang sakit waktu imunisasi bisa ditunda," kata Irawan pada kesempatan sama.

Irawan mencontohkan, misalnya anak baru kena cacar air, sebaiknya tunda. Tunggu hingga paling tidak dua minggu pasca-anak sembuh baru dilakukan imunisasi.

Sebelum melakukan suntikan imunisasi, tim tenaga medis juga akan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu sebelum memberikan suntikan imunisasi MR. Sehingga bukan asal suntik saja, melainkan mempertimbangkan kondisi kesehatan anak.

"Imunisasi adalah tindakan medis. Pada saat anak diberikan imunisasi adalah pelayanan individu. Dalam ranah pelayanan medis sebelum melakukan sesuatu harus ada pengamatan secara umum," kata Subuh lagi di kantor Kemenkes RI di Jakarta.

Dalam melakukan program imunisasi MR, Kemenkes pun mengajak organisasi profesi, seperti Ikatan Dokter Anak Indonesia untuk mendampingi dan mengawal pelaksanaan program ini.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya