Liputan6.com, Jakarta - Polri menguak jaringan penyebar kabar bohong atau hoax dalam wujud Muslim Cyber Army (MCA). Kelompok ini diduga berada di balik sejumlah isu yang bikin merinding dan mengesankan negara dalam kondisi genting: penyerangan terhadap ulama dan kebangkitan 'hantu' Partai Komunis Indonesia (PKI).
Parahnya lagi, kabar burung seperti itu diembuskan di situasi politik yang sedang gaduh, jelang Pilkada 2018 dan menyongsong Pemilihan Presiden 2019.
Advertisement
Kuat diduga, ada aroma politik di balik aksi MCA, benarkah"
Fakta:
Polisi juga mencium aroma politik di balik aktivitas Muslim Cyber Army. Aparat sejauh ini masih mencari dalang di balik proyek penyebaran hoax dan ujaran kebencian MCA. Keterangan para tersangka yang ditangkap dan bukti-bukti lain dijadikan petunjuk.
Temuan Polri sejauh ini mengindikasikan berkelindannya kekuatan MCA dan Saracen. Meski struktur Saracen ditangkapi, jaringan mereka kini ada yang bergabung dengan MCA.
"Dari klaster Jatim, Jabar, dan Banten, terlihat bahwa di udara atau dunia maya pelakunya saling terhubung. Pelaku-pelaku yang tergabung dalam MCA itu juga tergabung dalam klaster X, ini adalah mantan Saracen," ungkap Direktur Tindak Pidana Cyber Polri, Fadil Imran.
Diduga, ada semacam struktur dalam kelompok Muslim Cyber Army. Brigjen Fadil Imran mengungkapkan, yang paling besar adalah MCA United. Karena sifatnya yang terbuka, anggotanya mencapai ratusan ribu orang. Grup ini dikendalikan oleh 20 admin.
MCA United ini sebagai wadah menampung postingan dari member MCA yang berisi akun berita, video, gambar yang ditujukan untuk disebarluaskan.
Selanjutnya ada tim Cyber Moeslim Defeat Hoax yang sangat tertutup dan anggotanya lebih sedikit, hanya sekitar 100 orang. Tugasnya yakni menyeting isu tertentu kemudian menyebarkan ke publik untuk memenangkan opini.
"Isunya seperti menyerang parpol tertentu, kriminalisasi ulama, penyerangan ulama oleh orang gila, larangan azan, kebangkitan PKI, itu ada fase tahapan dan settingannya. Yang buat yang di belakang ini (enam tersangka)," kata Brigjen Fadil Imran.
Jaringan penyebar ujaran kebencian ini juga memiliki tim sniper dengan 177 member. Grup tertutup dan rahasia ini berfungsi untuk mengidentifikasi akun-akun yang dianggap musuh untuk kemudian diretas atau di-take down.
"Mereka menyebarkan virus agar kelompok lawan enggak bisa operasikan gadget-nya. Atau melakukan kontra-narasi yang dilakukan kelompok yang teridentifikasi sebagai lawan," ungkap Fadil.
Terakhir yakni induk jaringan ini, The Family MCA. Kelompok inti dan rahasia ini berisi sembilan admin yang memiliki peran krusial dalam operasional MCA. Enam orang di antaranya telah ditangkap terkait aktivitas menyebarkan hoax dan ujaran kebencian.
"Orang yang lulus, melalui tahapan di grup besar, grup kecil, kemudian grup inti, makanya disebut The Family. Menurut pengakuan tersangka, mereka harus dibaiat untuk masuk ke grup inti," Fadil menandaskan.
Kepala Satgas Nusantara Polri, Irjen Gatot Eddy Pramono, menjelaskan bagaimana MCA berusaha mencapai sasaran politiknya. Kelompok ini, berharap dapat mendegradasi pemerintah dengan isu yang disebar dan opini publik yang dibangun.
Dengan isu yang disebarkan, kata dia, masyarakat dibuat resah, khususnya ulama dan pemuka agama.
"Akibatnya timbul ketakutan dan memicu perpecahan bangsa. Dapat memicu konflik ketika tidak bisa diatasi, muncul (opini) bahwa pemerintah tidak mampu. Hoax ini betul-betul berbahaya," kata jenderal bintang dua itu soal Muslim Cyber Army (MCA)
Sementara itu, sejumlah tersangka yang ditangkap polisi mengaku bergerak sendiri. Tak terkait individu maupun kelompok tertentu.
"Tidak ada dana yang mengalir ke kami, baik perorangan ataupun organisasi, atau apapun itu, tidak ada," kata salah satu tersangka kepada Metro TV.
Kesimpulan: BENAR