Mungkinkah RI Bebas dari Utang Luar Negeri?

Nilai utang pemerintah sebesar Rp 4.034,8 triliun pada Februari setara dengan 29,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 15 Mar 2018, 19:02 WIB
Dari hasil riset HSBC menyebutkan, Singapura menjadi negara dengan tingkat utang tertinggi, yaitu mencapai 450 persen terhadap PDB.

Liputan6.com, Jakarta Utang pemerintah sampai dengan akhir Februari 2018 mencapai Rp 4.034,8 triliun. Realisasi utang pemerintah pusat tersebut naik signifikan sebesar Rp 76,14 triliun dibanding capaian per akhir Januari lalu yang sebesar Rp 3.958,66 triliun.

Nilai utang pemerintah sebesar Rp 4.034,8 triliun ini setara dengan 29,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Mengenai utang ini, banyak pihak yang menghawatirkannya, mengingat angkanya setiap saat terus meningkat.

Namun pada kenyataannya dalam UU Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003 mengatur batas utang luar negeri tidak boleh melebihi 60 persen dari PDB. Dengan demikian utang tersebut masih aman.

Meski begitu, mampukan Indonesia bisa terus berkembang tanpa ada utang luar negeri?

Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Kementerian Keuangan Scenaider CH Siahaan mengatakan hal itu cukup memungkinkan. "Bisa saja Indonesia bebas utang, asal APBN kita itu surplus. Masalahnya sekarang kan masih defisit," kata dia di Gedung Bank Indonesia, Kamis (15/3/2018).

Kalaupun dalam beberapa tahun mendatang APBN Indonesia surplus butuh waktu beberapa tahun untuk melunasi utang tersebut. Diilustrasikan, dengan utang sekitar Rp 4.000 triliun, jika APBN surplus sekitar Rp 500 triliun, maka butuh waktu 8 tahun untuk melunasi utang tersebut.

Selain berkurang, Scenaider juga membuka kemungkinan utang Indonesia masih terus bertambah dalam beberapa tahun ke depan. Ini karena Indonesia masih menjadi negara berkembang yang butuh banyak pendanaan untuk pembangunan ekonominya.

Dia juga berpesan kepada beberapa pihak untuk tidak terlalu mengkhawatirkan utang saat ini. Dipastikannya pemerintah Indonesia tetap mengelola utang dengan cukup baik.

"Sederhananya kalau kita punya penghasilan Rp 40 juta per bulan kemudian kita punya utang dengan cicilan Rp 5 juta per bulan itu kan masih kecil, jadi ini hanya persoalan pengeloaan. Jadi jangan terlalu dikhawatirkan," dia menandaskan.

Tonton Video Ini:


Utang Pemerintah Terus Naik, Kini Tembus Rp 4.034 Triliun

Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR Kemenkeu) melaporkan total utang pemerintah pusat sampai dengan akhir Februari 2018 mencapai Rp 4.034,8 triliun.

"Posisi (utang pemerintah) per akhir Februari di Rp 4.034,8 triliun," berdasarkan data DJPPR Kemenkeu yang diperoleh Liputan6.com, Jakarta, Selasa (13/3/2018).

Realisasi utang pemerintah pusat tersebut naik signifikan sebesar Rp 76,14 triliun dibanding capaian per akhir Januari lalu yang sebesar Rp 3.958,66 triliun. Capaian Januari pun meningkat sekitar Rp 19,96 triliun dari posisi utang pada Desember 2017 yang sebesar Rp 3.938,7 triliun.

Nilai utang pemerintah sebesar Rp 4.034,8 triliun ini setara dengan 29,2 persen dari produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Rasio terhadap PDB ini masih jauh di bawah ambang batas Undang-undang (UU) Keuangan Negara tidak melebihi 60 persen dari PDB.

Dari data tersebut diterangkan bahwa penggunaan utang pemerintah untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial masyarakat.

Ke depan, pemerintah akan terus meningkatkan investasi maupun penerimaan perpajakan untuk membiayai belanja produktif. Salah satunya dengan dukungan dari program reformasi perpajakan, dan pertukaran informasi perpajakan secara otomatis (AEoI).

Sebelumnya Direktur Jenderal PPR Kemenkeu, Luky Alfirman, mengatakan penambahan utang pemerintah adalah konsekuensi dari adanya kebijakan defisit anggaran.

"Secara sistem dan struktur penganggaran di APBN, jika defisit, maka butuh pembiayaan yang saat ini dipenuhi sebagian besar dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN)," ujar Luky.

Artinya, selama Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih defisit, maka pemerintah tetap membutuhkan pembiayaan untuk menambal defisit tersebut. Pembiayaan ini bersumber dari penerbitan SBN dan pinjaman.

Pemerintah, ujar Luky, berupaya menjaga batas defisit di bawah 3 persen dari PDB sesuai amanat Undang-Undang Keuangan Negara. Termasuk mengurangi keseimbangan primer di APBN.

"Kami juga tetap mengalokasikan pembayaran bunga utang maupun pembayaran cicilan pokok (utang pemerintah)," dia menerangkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya