Demo Memprotes Kelangkaan Air Berakhir Bentrok di Iran

Kelompok HAM mengatakan, demonstrasi soal air yang langka di Iran meningkat menjadi konfrontasi kekerasan dengan pasukan keamanan.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Mar 2018, 10:01 WIB
(Ilustrasi) Terjadi peningkatan demonstrasi di Isfahan, Iran, menyusul krisis kelangkaan air di wilayah tersebut (AFP)

Liputan6.com, Isfahan - Meningkatnya unjuk rasa warga Iran yang memprotes kelangkaan air di pedesaan Iran tengah, telah memicu kecaman di dalam negeri mengenai pengelolaan sumber daya air negara.

Kelompok HAM yang berbasis di luar negeri mengatakan, demonstrasi petani yang dipicu kelangkaan air di Kota Varzaneh, di Provinsi Isfahan, telah dimulai bulan lalu. Aksi ini meningkat menjadi konfrontasi kekerasan dengan pasukan keamanan pada pekan lalu. Demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia (16/3/2018).

Aktivis Iran mengunggah beberapa video di media sosial yang menunjukkan cuplikan rekaman yang menurut mereka adalah para petani Varzaneh memprotes pemindahan air sungai setempat ke pabrik baja di provinsi tetangga, Yazd.

Salah satu klip yang menurut para aktivis dibuat pada Jumat, 9 Maret lalu, menunjukkan area tandus dengan sekelompok besar orang berhadapan dengan polisi yang berjalan kaki atau bersepeda motor.

Beberapa demonstran melemparkan batu ke arah polisi, yang dikatakan narator video itu membalas dengan gas air mata dan peluru.

Kantor berita pemerintah Mehr mengatakan, seorang anggota parlemen di Provinsi Isfahan menyalahkan pemerintah atas kekerasan itu.

Dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada Minggu, 11 Maret, Mehr--mengutip Hassan Kamran-Dastjer--mengatakan, "Kementerian Energi Iran telah 'menjarah' air dari petani Varzaneh dengan mengarahkannya ke pabrik baja dan kilang di daerah-daerah sekitarnya."

Hal itu, ucap Kamran-Dastjer, menyebabkan kelangkaan air di Varzaneh.


Cape Town, Menghitung Hari Menuju Kehabisan Air

Cape Town, Kota yang Tengah Menghitung Hari Menuju Kehabisan Air (RODGER BOSCH / AFP)

Dalam sebuah supermarket modern di ibu kota Afrika Selatan, Cape Town, seorang pria memenuhi troli dengan botol air mineral 5 liter. Di belakangnya, rak-rak berisi galon air telah kosong, semua botol ia borong.

Kemudian, seorang perempuan muda menghampirinya dan berkata jika ia bisa membeli satu galon. Si pria tanpa ekspresi apa pun berkata, "Tidak boleh, ini semua milik saya."

Itulah gambaran 75 hari menjelang habisnya sumber daya air di Cape Town.

"Kita semua telah mencapai titik di mana tak ada jalan untuk berputar," kata Wali Kota Cape Town, Patricia de Lille terkait kota yang ia pimpin akan kehabisan air.

Peristiwa itu diprediksi akan terjadi kurang dari 75 hari. De Lille menyebutnya Day Zero, di mana keran tak lagi mengalir air, terjadi pada 12 April mendatang.

Dikutip dari News.com.au pada Minggu (28/1/2018), kekeringan yang melanda kawasan tersebut sejak tiga tahun lalu, membuat otoritas setempat terpaksa mendesak 4 juta warganya menggunakan air tidak lebih dari 87 liter per hari.

Kota ini sejatinya tidak benar-benar akan kehabisan pasokan sumber daya air melainkan kemungkinan sisa 10 persen pasokan air di bendungan berisiko memicu konflik sosial.

Pemerintah setempat akhirnya memutuskan, jika pasokan air di bendungan mencapai 13,5 persen dari kapasitas maksimum, maka akan difokuskan untuk kepentingan layanan publik, seperti rumah sakit.

Begitu kritisnya isu ini, pemerintah sampai mengerahkan pasukan keamanan di beberapa sudut kota untuk menghalau terjadinya kemungkinan sabotase pemanfaatkan pasokan sumber daya air.

Polisi dan militer dikerahkan menjelang detik-detik air akan habis. Mereka ditugaskan untuk mencegah adanya konflik warga karena berebut air.

Bukan tanpa sebab krisis air kian memburuk di Cape Town, dan Afrika Selatan secara umum. Selain anomali cuaca yang menyebabkan siklus kedatangan El Nino lebih lama dari yang seharusnya, ada pula beberapa faktor lain turut menjadi "dalang" secara tidak langsung.

Menurut Waterwise, mandi dengan air pancuran menggunakan antara 10 dan 15 liter per menit sementara satu toilet flush bisa mengkonsumsi hampir sama banyak. Bagi warga Cape Town, itu adalah barang mewah.

Wartawan BBC, Mohammed Allie, saat ini tinggal di kota tersebut dan menggambarkan bagaimana keluarganya berhemat air di tengah krisis.

"Istri saya tidak lagi menggunakan mandi dengan shower. Sebagai gantinya, dia mendidihkan sekitar 1,5 liter air dan mencampurnya dengan sekitar 1 liter air keran untuk mencuci tubuhnya setiap hari sementara dia menampung air yang mengalir ke dalam ember untuk digunakan kembali di bak cuci toilet," tulisnya.

"Air telah jelas menjadi emas baru di Cape Town," kata Allie lagi terkait habisnya air di Cape Town itu.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya