Liputan6.com, Jakarta - Pergantian hari menandai sah berlakunya Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3). Revisi UU MD3 diketok palu pada 15 Maret 2018 pukul 00.00 WIB.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Hamonangan Laoly, mengonfirmasi hal itu. Ia mengatakan Revisi UU MD3 sudah mendapat nomor registrasi, yakni UU Nomor 2 Tahun 2018.
Advertisement
"Ini dari Setneg nomornya, jadi tentunya Presiden sudah ada," katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (15/3/2018).
Meski akhirnya sah, jalan Revisi UU MD3 tidak mulus. Diputuskan Rapat Paripurna DPR sebulan lalu, pengesahannya sempat tertunda.
Pangkalnya adalah keengganan Presiden Jokowi membubuhkan tanda tangan persetujuan pada UU itu. Ia sadar resistensi publik pada Perubahan UU MD3.
"Kenapa saya tidak tandatangani, ya saya menangkap keresahan yang ada di masyarakat," ucap Jokowi.
Ia mengaku tak mendapat laporan dari para menterinya terkait pasal dalam Perubahan UU MD3 yang menjadi polemik saat penggodokan.
Jokowi baru mengetahui adanya pasal-pasal kontroversial setelah undang-undang tersebut disahkan bersama antara DPR dan pemerintah.
"Memang kan permintaan pasal-pasal kan banyak sekali dan menteri sama sekali tidak melaporkan kepada saya," kata Jokowi di Serang, Banten, Rabu (14/3/2018).
"Sehingga Pak Menkumham (Yasonna Laoly) menyampaikan, 'Pak itu sudah kita potong 75 persen'. Jadi memang dinamika di DPR kan sangat panjang dan sangat cepat sekali," ucap mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Beberapa pasal Perubahan UU MD3 mendapat sorotan. Pasal 122 huruf k, misalnya, dianggap memposisikan DPR sebagai lembaga super power.
Pasal itu memberi kewenangan Majelis Kehormatan Dewan mengambil langkah hukum pada entitas yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Alhasil, Revisi UU MD3 "tersandera". Beleid itu baru berlaku 30 hari setelah diketok di DPR, sesuai UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 73 ayat 2.
Aturan itu menyatakan, "Rancangan undang-undang yang tidak ditandatangani oleh presiden dalam waktu paling lama 30 hari, terhitung sejak disetujui bersama (antara DPR dan pemerintah), tetap akan sah menjadi undang-undang dan wajib diundang-undangkan."
Jokowi tahu, dengan atau tanpa tanda tangannya, perubahan UU MD3 akan berlaku. "Saya sadar, saya ngerti, saya tahu bahwa sesuai ketentuan undang-undang itu akan tetap berlaku, walaupun tidak ada tanda tangan saya," ucap Jokowi di Serang, Banten.
Meski tak setuju, Jokowi tidak bisa berbuat apa-apa. Pemerintah menyerahkan nasib Perubahan UU MD3 ke tangan masyarakat.
Satu-satunya cara menumbangkan pasal bermasalah di UU itu adalah dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Jadi, kalau sekarang mau mengajukan judicial review (uji materi) silakan. (Penomoran) UU Nomor 2 Tahun 2018," kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (15/3/2018).
Gelombang Gugatan
Bahkan, sebelum Revisi UU MD3 mendapat nomor dari Setneg, gelombang gugatan sudah bermunculan. Partai Solidartias Indonesia (PSI) menggugat Perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD (UU MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tiga pasal diuji materi (judicial review) oleh PSI, yakni Pasal 73, Pasal 122 huruf k, dan Pasal 245 ayat 1.
"Kita memiliki jalur konsitusi ke gedung ini dan percaya hakim MK memiliki integritas," kata Sekretaris Jenderal PSI Rajajuli Antoni di Gedung MK, Jumat (23/2/2018).
Menurut Antoni, tiga pasal dalam Perubahan UU MD3 tersebut karet. PSI sebagai wakil rakyat merasa kebebasan dalam berdemokrasi telah diberangus.
"Pasal itu sangat karet, misalnya saya bilang di medsos bahwa DPR itu taman kanak-kanak, dan (misal) ada anggota dewan tersinggung dan mengajukan itu ke MKD, saya bisa ditangkap," ungkapnya khawatir.
Saat PSI mengajukan uji materil PSI, MK belum bisa menindaklanjuti, lantaran revisi UU MD3 belum resmi sah.
"Jadi dengan ini, presiden punya dua opsi, yakni tandatangani dan terbitkan Perppu, kalau pun tidak, kami ada di ujung sana untuk JR (judicial review)," ujar Antoni.
Adapun Pasal 73 yang digugat, mengenai permintaan DPR kepada Polri untuk memanggil paksa setiap orang yang menolak memenuhi panggilan anggota dewan, dan Polri wajib memenuhi permintaan tersebut.
Adapun Pasal 122 huruf k mengenai wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum kepada siapa pun, yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya.
Sementara itu, Pasal 245 ayat 1 isinya dianggap memberi imunitas kepada anggota DPR secara tidak proporsional.
Dalam pasal itu disebutkan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR terkait tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas, harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Majelis Kehormatan Dewan (MKD).
Beberapa pekan kemudian Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) juga menempuh jalur yang sama dengan PSI.
Sebelum mengajukan judical review ke MK, PMII melakukan aksi. Sejumlah tuntutan disampaikan, di antaranya, PMII secara tegas menolak pasal-pasal yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan konstitusi dalam revisi UU MD3.
"PB PMII berpandangan setiap warga negara berhak memberikan kritiknya terhadap kinerja anggota dan lembaga DPR. Adapun ekspresi yang berbeda-beda dalam memberikan kritiknya tidak boleh dipandang sebagai bentuk penistaan terhadap anggota dan lembaga DPR, apalagi sampai dijerat dengan hukum," ucap Ketua Umum PB PMII Agus Mulyono Herlambang, di lokasi, Rabu (7/3/2018).
Karena itu, pihaknya menggugat Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf k dan Pasal 245, dalam Perubahan UU MD3. Menurut dia, PMII sering kali mengkritik terhadap kebijakan-kebijakan DPR.
"Sehingga, dapat dikatakan bisa saja nanti PB PMII yang menjadi objek dari pemanggilan paksa yang dilakukan DPR," Agus menjelaskan.
Dia menuturkan, salah satu dalam pasal tersebut bisa saja membuat seseorang dikriminalisasi karena mengkritik keras DPR, sehingga menimbulkan diskriminasi terhadap rakyat.
"Menggunakan oknum kepolisian dalam memanggil paksa rakyat. Ini telah mengkriminaliasasi rakyat itu sendiri. UU MD3 ini lebih parah dari UU MD3 sebelumnya," tukas Agus.
Maka, kata dia, PB PMII meminta ketiga pasal revisi UU MD3 dibatalkan karena tidak sesuai dengan UUD 1945.
"Dan, meminta kepada Mahkamah untuk memutus seadil-adilnya serta melakukan kajian yang dalam untuk kepentingan rakyat," pungkas Agus. Bola Panas UU MD3 kini berada di tangan MK.
Advertisement
DPR dan MPR Jadwalkan Pelantikan
Dengan berlakunya Revisi UU MD3, DPR sudah menjadwalkan pelantikan pimpinan tambahan dari Fraksi PDIP pada Selasa, 20 Maret 2018. Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan akan mengirim surat ke fraksi PDI Perjuangan guna mengirimkan nama calon yang akan dilantik.
"Maka kami akan menunggu siapa yang akan dikirim oleh PDI Perjuangan untuk mengisi kursi yang kosong di Wakil Ketua DPR RI," kata Bamsoet di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (15/3/2018).
Penambahan satu pimpinan DPR merupakan bagian dari amanat UU MD3 yang baru. Dengan begitu, pimpinan di DPR akan berjumlah enam orang.
Kalau DPR mendapat tambahan satu pimpinan, MPR justru akan menambah tiga orang. Pelantikannya, menurut Ketua MPR Zulkifli Hasan, akan dilaksanakan pada pekan depan.
Namun, Zulkifli belum menyebutkan waktu pasti kapan pelantikan tiga pimpinan tambahan MPR dari PDI Perjuangan, Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
"Untuk DPR akan paripurna hari Selasa (20 Maret 2018). Saya MPR (kalau enggak) Selasa atau Rabu," ucap dia.
Sedangkan soal nama-nama ketiga calon pimpinan tersebut, Zulkifli mengaku belum menerima surat resminya dari setiap fraksi. Namun, dia yakin, sosok Wasekjen PDI Perjuangan Ahmad Basarah, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, dan Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani akan mengisi posisi tambahan itu.
"Mungkin satu, dua hari ini gabung rapat gabungan bisa langsung diserahkan (nama-namanya)," ucap Ketua MPR ini.