Liputan6.com, Jayapura - Empat buah ogoh-ogoh setinggi lebih dari 3 meter diarak sepanjang Jalan Ahmad Yani hingga Jalan Percetakan di Kota Jayapura, Provinsi Papua. Pemandangan ini menjadi tontonan bagi masyarakat setempat. Ada yang keheranan bahkan ada yang penasaran ingin memegang ogoh-ogoh raksasa itu.
"Ini pemandangan unik. Saya baru lihat pertama kali di Papua," kata Mama Endik Tabuni (35), salah satu pedagang asli Papua yang kebetulan arak-arakan ogoh-ogoh tersebut melewati Pasar Mama Papua yang berada di Jalan Percetakan.
Baca Juga
Advertisement
Upacara Tawur Agung Kasanga dan Festival ogoh-ogoh dipusatkan di Taman Imbi, Kota Jayapura. Prosesi doa ini dilakukan dalam rangka Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1940. Upacara Tawur Agung di Kota Jayapura, telah dilakukan tiga kali. Salah satunya saat terjadinya gerhana Bulan total, beberapa waktu lalu.
Ketua Parisada Hindu Kota Jayapura, Ida Bagus Sutakertia menyebutkan prosesi upacara ini biasa dilakukan sehari sebelum dilaksanakan perayaan Nyepi bagi umat Hindu.
"Jumlah umat Hindu di Papua sebanyak 3000-an orang dan 98 persen adalah pegawai. Sebagian umat Hindu juga memiliki mobilitas tinggi yang haya datang dan pergi di Papua," ujarnya, Jumat, 16 Maret 2018.
Keempat ogoh-ogoh yang ditampilkan berkarateristik cermin raksasa, buta kala. Arak-arakan ogoh-ogoh berkaitan tahun baru Saka 1940. Biasanya ada dua perayaan dalam perayaan tersebut, salah satunya adalah perayaan Hari Suci Saraswati sebagai simbol pengetahuan zaman dulu dan menuntut umat selalu berbuat darma.
"Arak-arakan ogoh-ogoh yang juga dapat diartikan membuang energi negatif atau simbol aura negarif dan diharapkan mendapatkan kehidupan harmoni yang seimbang antara hubungan antara Tuhan, sesama dan alam," ucapnya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Ogoh-Ogoh Daur Ulang
Dari keempat ogoh-ogoh yang ditampilkan, salah satunya adalah ogoh-ogoh berbahan daur ulang dari bahan plastik. Sejumlah mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Provinsi Papua sengaja membuat ogoh-ogoh itu dari 25 kilogram bahan dasar plastik, dedaunan, kertas, dan bahan daur ulang lainnya.
Yantu Prabawa, pemerhati seni dari Bali yang ikut membuat ogoh-ogoh dengan mahasiswa ISBI Papua menuturkan tema yang diambil adalah limbah plastik wujud buto kale jaman now.
"Limbah plastik adalah buto kale nyata yang ada di kehidupan kita sehari-hari. Limbah ini tak hancur selama bertahun-tahun. Dihirup pun berbahaya," kata Yantu.
Lewat seni tontonan dan tuntunan, ogoh-ogoh daur ulang ini mengingat masyarakat akan bahaya limbah plastik yang jika dibiarkan akan merusak ibu pertiwi. "Ini sama saja jika mama kita sakit, air susunya juga akan beracun dan tak akan bisa membuat anaknya sehat," jelasnya.
Ogoh-ogoh daur ulang bermuka tiga biasa disebut tri hita karana bisa juga diartikan tiga penyebab terciptanya kebahagiaan, yakni adanya sinergitas hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta.
"Jika manusia tak menghormati konsep ini, maka akan bahaya dan tidak adanya keseimbangan. Ini ang menyebabkan juga kita bisa menghormati aura organik, potensi alam yang berlimpah, pohon dedaunan bebatuan.
Sementara dalam doa khusus umat Hindu di Papua yang dipimpin Pendeta Hindu, Ida Pandita Sirempu berharap tanah Papua semakin maju dan semakin beradab dalam budaya lokal yang terus menerus perlu diangkat.
"Kehidupan umat jaman dulu, eksistensi diakui dunia karena budaya dan adat istiadat. Doa kami untuk Papua, agar alam semesta Papua damai, hidup rukun, tenteram, dan falsafah Pancasila serta Bhinneka Tunggal Ika untuk menjaga NKRI," katanya.
Advertisement