Liputan6.com, Kupang - Kepolisian Daerah (Polda) Nusa Tenggara Timur menangkap dua perekrut tenaga kerja Indonesia atau TKI asal NTT, Mariance Kabu (34). TM dan PB saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka. Sementara salah satu pelaku, AT, hingga kini masih diburu polisi.
Menurut pengakuan para pelaku, mereka sebagai tenaga lapangan yang ditugaskan merekrut Mariance di kampungnya tanpa sepengetahuan keluarga. Identitas korban dipalsukan ketika tiba di Kupang.
Mereka juga mengaku mengimingi korban dengan gaji per bulan sebesar 800 Ringgit atau setara dengan 2 juta rupiah lebih.
"Saya hanya petugas lapangan yang bawa ke kantor PT Malindo. Saya punya surat tugas. Untuk meyakinkan korban, saya janjikan gaji 800 Ringgit Malaysia,” ucap pelaku TM kepada Liputan6.com, Jumat, 16 Maret 2018.
Baca Juga
Advertisement
Mereka ditangkap atas laporan warga, karena keduanya merekrut TKI atas nama Mariance Kabu, yang diduga disiksa majikan secara keji di Selangor, Malaysia. Korban disiksa dengan cara dipukul, hingga dipaksa meminum air kencingnya sendiri.
Para pelaku ini merekrut Mariance pada 2014 silam, tanpa sepengetahuan suami dan keluarga di Kecamatan Amanatun Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Korban baru diselamatkan berkat sebuah surat yang ditulis, lalu dibuang melalui jendela dan dibaca oleh warga India. Mariance baru dipulangkan pemerintah Indonesia pada 2016 lalu.
Atas perbuatannya, para pelaku dijerat Pasal 4 Pasal 10, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2017 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Ancaman hukumannya tiga hingga 15 tahun penjara.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Modus Baru Perekrutan
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTT, Kombes Yudi Sinlaeloe mengatakan bahwa saat ini para pelaku human trafficking atau perdagangan orang telah menggunakan modus operandi baru dalam menjalankan aksinya. Mereka mendapatkan beberapa korban, mengirim mereka ke beberapa kota di Indonesia, lalu membuatkan paspor sang korban di sana.
"Ini merupakan modus baru, tujuannya mengecoh polisi dalam pengusutani," ucap Yudi.
Dia mengatakan pula, biasanya pembuatan dokumen dan paspor korban dilakukan di Jakarta, Surabaya, atau Blitar.
"Jika pelaku sudah mendapatkan seorang korban, mereka mengirimnya ke beberapa kota, misalnya Jakarta, Surabaya, atau Blitar. Mereka tidak langsung membuat dokumen atau paspor sang korban di sini. Sampai di beberapa kota itu, baru dibuatkan paspornya," jelasnya.
Dia menerangkan, modus operandi yang dilakukan para pelaku human trafficking ini mulai terungkap, sewaktu pihaknya melakukan penggeledahan di kantor imigrasi.
Menurutnya, mereka (bagian imigrasi) kadang jarang mengecek ke kantor Dukcapil setempat, apakah data yang ada itu benar atau tidak. Yang penting ada, mereka langsung proses paspornya.
"Padahal KTP itu palsu. Kalau pada saat awal itu langsung dicek, berarti tidak akan ribet dan menimbulkan masalah. Untuk itu, kantor imigrasi sekarang harus lebih perketat pelayanannya," tegasnya.
Untuk itu, Sinlaeloe mengharapkan kerja sama dari semua pihak untuk bisa memberikan pencegahan terhadap kasus human trafficking ini.
"Tugas pencegahan menjadi tugas kita semua. Selama ini kami yang berada di hilirnya. Di hulunya tidak pernah berjalan dengan baik. Untuk itu diperlukan kepaduan kerja oleh semua pihak," imbuh Yudi.
Advertisement