Liputan6.com, Banyumas - Terik benar-benar menjerang dan matahari baru bergeser sedikit ke barat dari batas ubun-ubun, siang itu. Kera-kera berlarian tak tentu arah di halaman Masjid Saka Tunggal, Cikakak, Wangon, Banyumas.
Juru kunci Masjid Saka Tunggal, Kiai Sulam (48), barangkali hendak tidur siang ketika Liputan6.com tiba di rumahnya. Tetapi, ia tetap menerima dengan antusias, meski lelah begitu tampak di wajahnya.
Sulam, adalah generasi ke-12 juru kunci Masjid Saka Tunggal yang diyakini sebagai masjid tertua di Banyumas. Diyakini, masjid ini dibangun di kisaran tahun 1500-an Masehi.
Baca Juga
Advertisement
Masjid ini dibangun di tengah komunitas masyarakat adat kejawen dan yang masih melestarikan budayanya. Mereka pun memiliki penanggalan sendiri, Alir Rebo Wage atau Aboge. Sebab itu, kerap salah kaprah disebut sebagai Islam Aboge.
“Kalau yang benar itu, disebut Islam yang menggunakan kalender Aboge,” Sulam menjelaskan, beberapa waktu lalu.
Rumah ibadah umat Muslim ini dinamai Masjid Saka Tunggal lantaran saka guru atau pilarnya yang hanya satu buah. Mafhumnya, saka guru berjumlah empat. Tiang utama yang tunggal adalah simbol Tuhan yang Esa.
Muasal Kutukan Santri Jadi Kera
Masjid ini terletak di Desa Cikakak Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas. Ditempuh dengan masuk ke jalan desa sekitar empat kilometer dari jalan Raya Wangon-Ajibarang. Kondisi jalan mulus, meski sempit.
Keunikan Masjid Saka Tunggal tak hanya terletak pada bangunannya. Ratusan kera yang hidup di sekitar Masjid pun menjadi daya tarik tersendiri. Mereka hidup berdampingan dengan masyarakat.
Ternyata, ada legenda menarik di balik keberadaan ratusan kera ini. Cerita ini tuturkan secara lisan, turun temurun di antara masyarakat Cikakak yang merupakan keluarga besar, bersaudara satu sama lain.
Alkisah, pada masa penyebaran Agama Islam, Kyai Mustholih mendirikan masjid dan mendirikan padepokan mengaji. Puluhan santri pun berdatangan dari berbagai daerah.
Suatu hari, tiba hari Jumat. Santri lelakinya pun berkewajiban menunaikan Salat Jum’at. Namun, ada beberapa santri yang melanggar. Mereka justru asyik mencari ikan di sekitar Masjid.
Ikan membutakan mata dan bikin tuli para santri sehingga mereka melupakan kewajibannya. Celakanya, mereka pun ribut sehingga mengganggu orang-orang yang tengah menjalankan Salat Jumat.
Advertisement
Pesan Mulia Dibalik Kisah Santri Dikutuk Jadi Kera
Kyai Mustholih pun marah. Seusai Salat Jumat, ia menghardik para santri yang telah kelewat batas. Saat itu ia sempat mengatakan kelakuan santrinya tak beda dengan kera yang nakal dan susah diatur.
Sebagaimana legenda kyai zaman kuno yang memiliki daya linuwih, ujaran itu menjadi kenyataan. Santri-santri nakal itu berubah menjadi kera.
Soal benar tidaknya legenda ini, ada pesan mulia di balik legenda santri yang dikutuk menjadi kera. Bahwa, yang membedakan manusia dengan hewan adalah perilakunya. Jika manusia tak memiliki kemanusiaan, akal dan hati, maka ia tak beda dengan kera.
Perilaku ratusan kera yang nakal, iseng dan susah diatur pun kerap dirasakan oleh peziarah atau wisatawan yang berkunjung ke kompleks Masjid Saka Tunggal. Seringkali, barang-barang mereka dijambret.
Penduduk setempat pun kerap dibuat repot oleh ulah kera yang menyerbu perumahan. Memorakporandakan genteng, mencuri makanan, dan menyerbu kebun penduduk. Biasanya, serbuan kawanan kera menjadi-jadi pada musim kemarau.
Isengnya Kera-Kera Masjid Saka Tunggal
Warga Cikakak, Karsini mengatakan kawanan kera ini bahkan bisa membuka jendela tak terkunci dan masuk mengambil apa saja yang ada di rumah. Kawanan kera juga kerap masuk ke warung untuk mengambil makanan apa saja.
“Mengganggu, wong kalau ada orangnya saja melompat ambil sayuran dan apa saja. Ya ada juga kacang dan goreng-gorengan juga diambil,” Karsini menuturkan.
Kawanan kera juga menyerang lahan pertanian warga. Petani sekitar hutan Cikakak hampir tidak pernah bisa memanen pisang, kelapa, rambutan dan sejumlah komoditi pertanian lain.
“Mas, sekarang menanam buah sekitar sini sudah percuma. Tidak mungkin sampai berbuah. Baru kembang saja sudah diambil kera,” ucap warga lainnya, Ruswanto.
Kera adalah analogi keserakahan hewan yang tak terkekang. Manusia, mestinya bisa mengekang hawa nafsu, dengan akal sehat dan hati nuraninya. Otak dan hati mesti seimbang agar manusia tak kehilangan kemanusiaannya.
"Kera-kera cerminan perilaku yang harus kita kekang,” Sulam menerangkan.
Sulam menyebut ada lima kelompok kera di yang hidup hutan sekitar Masjid Saka Tunggal. Lima kelompok itu cenderung tetap, dengan populasi sekitar 200 ekor.
Meski nakal, keberadaan kera-kera ini sudah dimaklumi oleh warga sekitar. Mereka tak segan memberi makanan sisa.
Mereka pun tak pernah bertindak buruk kepada kera. Kera telah menjadi bagian hidup sehari-hari warga Cikakak.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement