Sebut Islam Bukan Bagian dari Jerman, Menteri Ini Dihujani Kritik Tajam

Menteri Dalam Negeri Jerman menuai kritik tajam setelah diketahui melontarkan pendapat kontra, tentang keberadaan komunitas Muslim di negeri pimpinan Kanselir Angela Merkel itu.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 19 Mar 2018, 06:54 WIB
Suasana dari luar Masjid Cologne saat Hari Masjid Terbuka di Cologne, Jerman, Selasa (3/10). Setiap tanggal 3 Oktober komunitas Muslim ingin warga Jerman lainnya mengenal islam dengan cara membuka semua masjid untuk umum. (AP Photo/Martin Meissner)

Liputan6.com, Berlin - Menteri Dalam Negeri Jerman, yang juga penentang keras kebijakan multikulturalisme gubahan Kanselir Angela Merkel, mengatakan bahwa Muslim bukan bagian dari negara yang beribukota di Berlin itu.

Pernyataan yang dimuat dalam sebuah hasil wawancara itu memicu ‘badai politik’, baik di kalangan sesama politisi, maupun kecaman dari pihak publik.

Horst Seehofer, nama Menteri Dalam Negeri itu, menjawab dengan tegas pertanyaan dari harian Bild tentang apakah Muslim telah menjadi bagian nyata dari Jerman atau tidak. Demikian dilansir dari situs The Journale pada Minggu (18/3/2018).

"Islam bukan bagian dari Jerman. Kekristenan telah membentuk Jerman, termasuk tentang hari Minggu sebagai hari istirahat, hari raya gereja, serta ritual seperti Paskah dan Natal, "katanya.

“Orang-orang Muslim yang tinggal di antara kita adalah bagian dari Jerman. Tapi itu tentu saja tidak berarti bahwa kita harus mengorbankan tradisi dan kebiasaan yang telah ada,” lanjutnya memprotes.

Komentar provokatif Seehofer muncul kurang dari 48 jam setelah Merkel dilantik untuk masa jabatan keempat memimpin Jerman, yang mengedepankan visi pemerintahan "koalisi koalisi kanan" baru.

Sementara itu, pernyataan serupa pernah pula dilontarkan oleh Wolfgang Schaeuble, yang beraliran konservatif, pada 2006 lalu.

Kala itu, ia adalah Menteri Dalam Negeri pada kabinet pertama Kanselir Angela Merkel, namun pendapat kontroversialnya tidak sampai menuai kritik luas.

Empat tahu berselang, seorang konservatif lainnya, mantan Presiden Christian Wulff, turut memicu isu panas terkait.

Tanpa basi-basi, ia sempat mengutarakan ketidaksetujuannya akan keterlibatan akar Yahudi dan Islam di tatanan masyarakat Jerman.

Wulff bahkan dengan teguh terus melakukan pembelaan sikapnya pada puncak arus masuk pengungsi pada medio 2014 hingga 2015.

Adapun Kanselir Jerman, melalui juru bicaranya Steffen Seibert, menegaskan tentang perlindungan konstitusi Jerman untuk kebebasan beragama, dan mengatakan bahwa pemerintah akan "memperluas" sebuah dialog kekeluargaan dengan komunitas Muslim setempat.

 

 Simak video tentang terpilihnya Angela Merkel sebagai Kanselir Jerman untuk keempat kalinya berikut: 


Populasi Komunitas Muslim Meningkat di Jerman

Para pengunjung berkumpul di salah satu sudut dalam Masjid Cologne saat berkunjung pada Hari Masjid Terbuka di Cologne, Jerman, Selasa (3/10). Ribuan masjid dibuka untuk umum termasuk non muslim untuk berkunjung ke dalamnya. (AP Photo/Martin Meissner)

Saat ini, komunitas Muslim di Jerman diperkirakan berjumlah sekitar 4,5 juta orang, di mana sekitar 1,8 juta di antaranya telah resmi menjadi warga negara Jerman.

Sebagian besar warga Muslim Jerman itu merupakan keturunan Turki, berjuluk ‘pekerja tamu’, yang diundang ke Jerman Barat pada medio 1960-an hingga 1970-an.  

Komposisi warga negara Jerman penganut Muslim meningkat beberapa kali lipat sejak 2015, yakni saat kedatangan lebih dari satu juta pencari suaka dari negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim yang dilanda perang, seperti Suriah dan Afghanistan.

Kepala Dewan Pusat Muslim, Aiman ​​Mazyek, mengatakan bahwa menteri yang bekerja dengan 'kurangnya solidaritas' terhadap minoritas, tidak seharusnya berada di tengah pemerintahan Jerman.

"Ia tidak bertanggung jawab dengan kesepakatan konstitusi tentang keberagaman komponen masyarakat Jerman," kritik Aiman.

Di lain kesempatan, Juergen Trittin, seorang tokoh oposisi Hijau, juga mengkritik tajam Seehofer.

Ia mengatakan bahwa peryataan tersebut akan menjadi 'bencana' bagi upaya integrasi, dan hanya menguntungkan anti-imigrasi, anti-Islam, dan kelompok konservatif lainnya.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya